Rabu, 28 Desember 2011

Pendeta HKBP Kuasai Lapangan Bola Gelora Bung Karno

Semua mata tertuju ke lapangan bola di Stadion Utama Gelora Bung Karno, menyaksikan ratusan pendeta yang berbaris di lapangan. Para pendeta ini mendapat perhatian puluhan ribu umat HKBP yang berkumpul di Stadion Utama Gelora Bung Karno, saat merayakan Jubileum 150 Tahun HKBP. Peristiwa langka ini tidak disia-siakan sejumlah warga jemaat sambil mengabadikannya dengan camera dan handphone.

Hari itu benar-benar Lapangan Bola Gelora Bung Karno “dikuasai” para pendeta HKBP. Baru ini yang pertama kali terjadi setelah HKBP berusia 150 tahun, ratusan pendeta HKBP dari berbagai penjuru Nusantara turun ke lapangan hijau. Seluruh lapangan mereka “kuasai” dengan berbaris rapi di sisi lapangan bola sambil menghadap ke arah tribun.

Ketika para pendeta melewati lapangan hendak menuju tempat yang sudah ditentukan panitia di samping kiri dan kanan panggung utama, ada pendeta yang jatuh, lantaran jubahnya terinjak. Suara “wuuh” terdengar menyambut pendeta yang jatuh.

Ada juga pendeta menyempatkan diri berdiri persis di kotak pinalti. Melihat “gaya” pendeta yang satu ini, para hadirin yang berada di stadion tertawa geli. Pokoknya sore itu “lapangan hijau” Senayan seperti “milik” para pendeta HKBP.

Rasa kagum dan bangga tertangkap dari kesaksian warga jemaat yang hadir dalam perayaan jubileum ini. “Luar biasa, ruas HKBP kompak. Tak kusangka bisa berkumpul sebanyak itu warga HKBP di Senayan,” kata L Simanjuntak warga HKBP dari Cengkareng.

“Aku sampai merinding sewaktu bernyanyi saat kebaktian, seperti di surga rasanya. Suara jemaat bergemuruh di dalam stadion,” kata Helentina Simangunsong warga HKBP Cengkareng.

Sayang setelah usai kebaktian, pengeras suara tidak jelas kedengaran hampir di semua sektor. Tidak jelas apa yang disampaikan pembicara. Warga jemaat yang ada di tribun mulai tidak betah duduk berlama-lama. Mereka keluar dari tribun, duduk-duduk di luar sambil minum kopi. “Ai aha do didok amantai, ndang tarbege,” ujar salah satu jemaat yang duduk di sektor 8 dengan suara keras sehingga mengundang perhatian orang yang ada di sekitarnya.

Hampir semua sambutan dan termasuk pidato Presiden SBY tidak kedengaran dengan jelas. Rasa kecewa terlihat di wajah warga. “Acaranya terlalu fokus menyambut rombongan Presiden SBY. Unsur perayaan jadi kurang diperhatikan. Tapi tetap salut dan hormat kepada panitia jubileum bisa mengumpulkan warga HKBP sebanyak itu, “ kata St Nalom Sitorus dari Tanjung Priok.

Memang luar biasa perayaan jubileum di Stadion Gelora Bung Karno. Semua tempat duduk di tribun terisi dan penuh sesak manusia. Mereka ada yang hadir pukul 09.00 meskipun acara baru dimulai pukul 14.00. Satu per satu memasuki pintu stadion dengan tertib sesuai dengan tempat duduk yang tercantum di tanda pengenal yang sudah dibagikan panitia jauh hari di gereja masing-masing.

Yel-yel “Jubileum 150 Tahun HKBP”yang disampaikan Ephorus Pdt Bonar Napitupulu disambut jemaat dengan Horas, Horas, Horas. Suara tepuk tangan menggelegar di dalam stadion.

Di ujung acara digelar tortor konfigurasi yang didukung seribu remaja/naposobulung HKBP. Mereka membentuk berbagai format seperti; salib, Horas HKBP, jubileum 150. Cukup indah dan menawan. Menyaksikan pagelaran ini rasa kecewa warga sedikit terobati. Bahkan setiap ganti format, hadirin di stadion kembali menyambut dengan tepuk tangan yang bekepanjangan.

Yang luar biasa lagi, bis rombongan diparkir sampai ke ujung jembatan Slipi. Juga di seberang jalan berderet bis parkir di pinggir jalan. Bahkan semua jalan yang mengelilingi Senayan berderet bis rombongan diparkir di pinggir jalan. Hampir tidak ada jalan yang kosong, semua terisi dengan bis. “Ini baru pertama kali parkir mobil sampai ke Slipi,” kata Karno (38) penjaga parkir di Senayan.

Usai perayaan jubileum hujan turun mengguyur Senayan. Warga jemaat kocar-kacir mencari bis masing-masing yang tempat parkirnya tidak jelas berada di mana. “Baru pukul 24.00 rombongan kami sampai Depok,” kata Gultom yang membawa dua anaknya ke Senayan sambil ia menambahkan puas dan senang bisa menyaksikan perayan Jubileum 150 Tahun HKBP. bas

Setelah 150 Tahun HKBP

Darah Batak Masih Mengalir

Baharuddin Silaen

Setelah 150 tahun HKBP adakah yang berubah? Ada yang berubah dan ada pula yang tidak berubah sama sekali. Yang tidak berubah misalnya, sebutan “ompui” kepada ephorus tidak pernah berubah sejak Pdt IL Nommensen menjabat Ephorus Batakmission (1881-1918) hingga sekarang.

Apakah waktu itu, kepada istri Ephorus Nommensen dipanggil “ompung boru” juga?” Sayang tidak ada dokumen yang bisa dijadikan referensi? Yang pasti, sudah 13 orang ephorus selama 150 tahun gereja ini, namun sebutan “ompui” untuk Ephorus HKBP tak pernah berubah.

Dulu, ketika Pdt Dr JR Hutauruk, terpilih menjadi Ephorus HKBP (1998-2004) sempat mengganti panggilan ompui menjadi amang kepada ephorus. Sangat sederhana alasannya, supaya tidak jauh “jarak” ephorus dengan sesama pendeta. “Kebetulan saya belum punya pahompu. Jadi, cukup dipanggal amang saja,” kata Pdt JR Hutauruk waktu itu.

Tapi respon warga kala itu tidak seragam. Ada yang memanggil “amang” dan ada juga memanggil “ompui.” Hanya sebentar Ephorus Hutauruk dipanggil “amang” dan selanjutnya kembali dipanggil “ompui” bahkan ada pula yang manggil ompung?

Ini suatu bukti, merubah kebiasaan tidaklah gampang. Apalagi sudah ratusan tahun lamanya panggilan “ompui” teman sehidup HKBP. Kalaupun gelar ompui dijadikan semacam “trade mark” atau ciri khas gereja ini, sah-sah saja?

Yang menarik, meskipun sudah berusia 150 tahun, tetap saja warga HKBP orang Batak. Tidak berubah. Masih bergaul dengan mempertahankan kekerabatan “Dalihan na Tolu.” Punya ulos, yang masih dipakai pada waktu tertentu. Memiliki uninguningan tradisionil. Begitu juga warganya, ada yang fasih bahasa Batak dan ada juga yang tidak bisa sama sekali. Mereka juga terikat dengan tarombo (silsilah) serta saling martutur (marga)

Di antara mereka ada yang tinggal di desa, dan juga di kota. Ada di luar negeri. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Ada yang dermawan dan ada juga siholit (pelit) Ada yang hidup sederhana dan ada pula yang mewah. Ada yang dapat jodoh melalui internet. Martandang (chatting) di internet dipasupasu di HKBP.

Dalam komunitas mereka masih kental mengalir “darah Batak.” Buktinya, mereka turun-temurun masih tetap berinteraksi di lingkungan kekerabatan “Somba marhulahula, manat mardongan tubu, elek marboru, tapi sekaligus Kristen dan HKBP pula?

Ketika mereka menyelenggarakan pesta pernikahan misalnya, selalu dibarengi “tudutudu ni sipanganon” atau “namargoar.” Entah apa pun jabatan orang tua pengantin namargoar pasti suatu yang penting. Tak ketinggalan berbagai jenis ulos tampil memeriahkan pesta adat na gok. Macam itulah Batak Kristen yang HKBP.

Meskipun tumbuh dari tradisi lokal ribuan tahun silam—tapi mereka lekas beradaptasi di wilayah multikultural. Termasuk garis keturunan sebagai suku bangsa (antropologis) tetap terpelihara dengan baik, maupun ketika mereka bersentuhan dengan dunia migran (etnodemografis) kultur Batak tetap terjaga. Basis ikatan sosial ternyata masih kukuh meskipun mereka berada di perkotaan.

Ikatan sosial ini, kian berkualitas setelah ajaran Injil 150 tahun silam menjadi pedoman hidup yang diterima dengan prinsip sukarela bukan terpaksa dan dipaksa. Rupanya, bangsa Batak yang homogen masih menjunjung tinggi nilai religius (Injil) serta nilai kebersamaan dalam berbagai kegiatan (marsiadapari) dan sekaligus tidak mengingkari dirinya sebagai orang Batak.

Misalnya, Batak yang sudah lama di Bandung, tradisi, bahasa, nilai dan norma telah mewarnai kesehariannya seperti orang Sunda. Begitu juga Batak yang sudah lahir di Jakarta, merasa tidak asing lagi dengan budaya Betawi. Batak di Surabaya dan Yogyakarta, bahasa dan norma diwarnai budaya Jawa. Batak yang sudah lama di Padang, perilaku kesehariannya sedikit banyak diwarnai nilai-nilai budaya setempat, yaitu suku Minang. Tapi mereka tetap orang Batak dan bergereja ke HKBP? Inilah bukti, darah Batak masih tetap mengalir.

Sayang, adakalanya terkesan terlalu percaya diri (over confidence) saat berada di tempat baru mereka. Ini pun bukan tanpa resiko—tapi justru acap harus dibayar dengan mahal—gara-gara kurang tanggap dengan nilai budaya setempat.

Potensi lain yang layak disebut adalah kaum intlektual Batak. Pernah saya bersilancar ke website beberapa universitas dan perguruan tinggi terkenal di Indonesia, hampir semua perguruan tersebut memiliki dosen orang Batak, bergelar S2 dan S3 serta beberapa profesor. Hasil penelurusan selanjutnya, tiga perempat dari jumlah mereka adalah warga HKBP. Kagum dan bangga!

Setelah 150 tahun

Harus diakui, berbagai perubahan telah terjadi setelah HKBP berusia 150 tahun. Meskipun tidak dapat disebutkan dengan angka absolut, tapi persentasi perubahan cukup signifikan hingga di usianya yang ke-150 tahun. Tapi jangan silap, perubahan ini pun tidak terjadi secara tunggal—sejumlah faktor turut berjasa menetaskannya.

Sebutlah perubahan paling tinggi persentasinya adalah perubahan pola pikir yang ditandai dengan sikap hormat terhadap orang yang berbeda pendapat. Bukan hanya di kalangan pelayan (pendeta) tapi juga dalam kehidupan sesama warga jemaat. Sikap ini tampaknya sangat diyakini akan menguntungkan serta menjajikan peluang terhadap kebersamaan warga gereja ini.

Data yang dihimpun dari berbagai dokumen seperti: notulen Rapat Pendeta, Sinode Godang, kotbah tahun baru yang ditulis ephorus di Almanak HKBP, sambutan (pidato) baik yang di distrik dengan kategori; pembicara, materi pembicaraan, isi pernyataan, jawaban yang disampaikan serta jumlah orang yang bertanya, ditemukan indikasi bahwa sikap menghargai perbedaan pendapat sangat kuat. Ditambah dengan fakta yang disaksikan langsung sewaktu mengikuti beberapa sinode dan rapat-rapat resmi di HKBP—sikap menghargai pendapat orang lain cukup tinggi nilainya.

Jangan pula lupa—suasana “aman” berbeda pendapat ini, kian kokoh serta mendapat angin segar sejak pascarekonsiliasi HKBP (1998) masa Ephorus Pdt JR Hutauruk dan Sekretaris Jenderal Pdt Willem TP Simarmata. Mungkin belajar dari masa lalu yang “pahit” yang pernah dialami gereja ini. Betul, dari peristiwa itu diperoleh pelajaran yang sangat mahal harganya.

Hal itu juga tidak lepas dari genderang reformasi yang bertalu-talu di seantero negeri ini (1998) Pada zaman reformasi masyarakat cenderung lebih berani menyampaikan pendapat meskipun berbeda—dibanding era Presiden Soeharto. Orang takut berbeda pendapat apalagi dengan penguasa. Pada rezim Soeharto semua harus seragam sesuai patron yang dirancang penguasa.

Pendukung lain adalah faktor gender. Faktanya, pendeta HKBP tidak lagi hanya pria (baoa) Sejak Pdt Norce P Lumbatoruan STh ditabalkan jadi pendeta perempuan yang pertama di HKBP (27 Juli 1986) sekarang sudah banyak pendeta HKBP perempuan. Demikian halnya dengan sintua ina tak terhitung lagi jumlahnya yang ikut melayani di gereja. Pastilah ada pengaruhnya dalam pelayanan, percakapan maupun saat mengambil keputusan akan terasa.

Selain itu, pendeta HKBP yang memperdalam ilmu teologi tidak lagi hanya sekolah ke Jerman. Tapi juga ke negara lain seperti Amerika, Australia, Singapore, Philipina dan Hongkong. Begitu juga disiplin ilmu yang dipilih tidak lagi hanya teologi, tapi sudah bervariasi. Ini pun sangat mempengaruhi sikap anggota komunitas dalam wawasan perbedaan. Termasuk pola pergaulan banyak berubah yang diduga pengaruh derasnya arus informasi, budaya, agama, politik, ekonomi lintas dunia (globalisasi)—diyakini turut mempercepat arus perubahan dalam masyarakat dunia.

Sangat diyakini pula, HKBP setelah berumur 150 tahun, pasti bisa—bahkan harus pionir serta contoh untuk diteladani di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan beragama terhadap pemikiran yang berbeda. Mengingat gereja yang senantiasa bersumber pada Injil berdasarkan ajaran Kristus yang tidak pernah membedakan orang dan senatiasa berada di atas semua kepentingan dan kelompok.

Memang, sudah sejak lama gereja menghargai dan menghormati hak individu berdasarkan kasih. Bahkan sejak awal, gereja selalu berdiri di depan mengawal perjalanan kesetaraan, toleransi dan perbedaan. Hal yang sama, yakni otoritas Injil yang dibangun di atas landasan firman Tuhan yang direfleksikan ke dalam kebersamaan, kepeduliaan, penghargaan terhadap sesama umat manusia, sekaligus menjadi ciri yang tetap dirawat dengan baik. Ciri-ciri Injil ini dikemudian hari diterjemahkan menjadi “demokrasi.”

Hasil penelitian Samuel P Huntington yang dituangkan dalam bukunya “Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia,” menguraikan, umat Kristen sejak dini sudah terbiasa hidup saling menghormati dan menghargai orang lain. Mereka belajar menghargai perbedaan itu justru dari Injil yang diajarkan Yesus Kristus. Sebab itu negara yang penduduknya mayoritas Kristen, di negara itu demokrasi akan tumbuh subur.

Harap dimaklumi pula—ke depan—sangat sulit diterima tipe pemimpin yang otoriter dan diktator yang alergi terhadap pendapat yang berbeda. Apalagi dalam suatu lembaga keagamaan (gereja) sangat diyakini tidak ada tempat bagi pemimpin otoriter dan diktator. Lihatlah negara-negara yang dipimpin para pemimpin penguasa otoriter (Mesir, Libya) yang tidak rela menerima perubahan—satu per satu terhempas, runtuh dan hancur oleh rakyatnya sendiri.

Lalu, setelah HKBP 150 tahun, gereja ini pun tetap terpanggil menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan, penglihatan kepada orang buta dan membebaskan orang tertindas. (Lukas 4: 18-19)

Selamat Tahun Baru. Horas

Selasa, 27 Desember 2011

Memperingati 400 Tahun Alkitab King James

Diminati Banyak Orang

Berbagai acara diselenggarakan di Inggris pada 2011 lalu, untuk merayakan peringatan 400 tahun Alkitab King James, yang juga dikenal sebagai Authorized Version. Acara itu juga dapat disaksikan dalam program dokumenter di TV dan radio, konferensi, ceramah dan seminar.

Pangeran Charles mengetuai acara untuk merayakan “harta nasional” yang menyandang nama Raja James I dari Inggris ini. Namun, bagaimana King James Version (KJV) yang terbit pada Mei 1611, mendapat tempat yang istimewa di hati orang-orang yang berbahasa Inggris?

Pada pertengahan abad ke-16, kerinduan akan pengetahuan tentang ajaran Alkitab mulai melanda Eropa. Hampir dua abad sebelumnya, sekitar 1380, John Wycliffe telah membangkitkan selera para penutur bahasa Inggris dengan terjemahan Alkitab dari bahasa Latin. Selama dua abad berikutnya, para pengikutnya yaitu kaum Lollard, menyebarluaskan naskah Alkitab tulisan tangan ke seantero Inggris.

New Testament oleh pakar Alkitab William Tyndale adalah tonggak sejarah lainnya. Kitab ini diterjemahkan dari bahasa Yunai asli ke dalam bahasa Inggris pada 1525. Tidak lama setelah itu, pada 1535, Miles Coverdale menerbitkan Alkitab lengkapnya dalam bahasa Inggris. Satu tahun sebelumnya, Henry VIII memutuskan hubungan dengan Katolik Roma serta membuat manuver politik. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai kepala gereja Inggris, Henry VIII, menegaskan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Inggris, yang dikenal sebagai Great Bible. Alkitab yang dicetak pada 1539 ini berukuran besar dengan bentuk huruf Gotik yang rumit.

Kaum Puritan dan umat Protestan pelarian lainnya dari berbagai penjuru Eropa menetap di Jenewa, Swiss. Pada 1560, diterbitkanlah Geneva Bible, Alkitab bahasa Inggris pertama dengan jenis huruf yang mudah dibaca dan pasal yang dibagi ke dalam ayat-ayat. Alkitab ini dimpor ke Inggris dari Eropa daratan dan segera menjadi populer. Akhrinya, 1576, Geneva Bible pun dicetak di Inggris. Peta dan catatan pinggir turut memperjelas maksud ayat-ayatnya. Tetapi, ada pembaca yang tidak menyukai catatan pinggir ini karena isinya menentang kepausan.

Karena Great Bible tidak diterima secara luas dan Geneva Bible memuat catatan kaki yang kontroversial, diputuskanlah agar dibuat Alkitab yang direvisi. Great Bible dipilih sebagai dasarnya. Tugas ini dipercayakan kepada para uskup gereja Inggris, dan pada 1568, Bishops’ Bible pun diterbitkan. Alkitab ini berukuran besar dan penuh ukiran. Tetapi, kaum Calvinis, yang tidak mengakui gelar keagamaan, tidak menyukai kata “bishops” atau uskup. Bishops’ Bible pun tidak diterima khalayak ramai di Inggris.

Setelah bertakhta sebagai raja Inggris pada 1603, Raja James I menyetujui penerjemahan Alkitab yang baru. Ia menetapkan agar catatan atau komentar apa pun yang tidak mengenakan disingkirkan.

Raja James mendukung proyek itu. Akhirnya, enam kelompok yang terdiri dari 47 pakar di seantero negeri menyiapkan bagian-bagian naskahnya. Para pakar Alkitab ini pada hakikatnya merevisi Bishops‘ Bible dengan memanfaatkan karya Tyndale dan Coverdale. Mereka juga memanfaatkan Geneva Bible dan New Testament Rheims Katoloik Roma edisi 1582.

James sendiri adalah pakar Alkitab yang disegani dan sebagai pengakuan atas prakarsanya, terjemahan ini didekasikan untuk “yang mahatinggi dan pangeran perkasa, James.” Sebagia kepala gereja Inggris, apa yang dilakukan James ini dianggap sebagai upaya mempersatukan bangsanya.

Mahakarya sastra

Para klerus senang menerima Alkitab dari raja mereka yang “wajib dibacakan di gereja-gereja.” Tetapi, pertanyaannya masih sama, apa tanggapan bangsa itu terhadap terjemahan Alkitab yang baru ini?

Para penerjemah, dalam prakata asli mereka yang panjang, mengungkapkan kekhawatiran mereka kalau-kalau terjemahan baru ini tidak diterima. Tetapi, King James Version (KJV) cukup berhasil, walau butuh waktu sekitar 30 tahun sampai Alkitab ini menggantikan Geneva Bible dan mendapat tempat di hati masyarakat.

Buku The Bible and the Angola-Saxon People mengatakan, Authorized Version pada akhirnya diterima secara luas karena mutunya yang sangat bagus. The Cambridge History of the Bible menyimpulkan bahwa banyak umat Kristen berbahasa Inggris memandang terjemahan ini sangat kudus, hampir-hampir dianggap sebagai suara Allah sendiri. Maka mereka menganggap bahwa kata-kata dalam King James Version tidak boleh dikritik atau diubah.

Para pemukim masa awal dari Inggris yang mendarat di Amerika Utara membawa serta Geneva Bible. Namun belakangan, KJV lebih diterima secara luas di Amerika. Seraya Imperium Inggris berkembang ke seluruh dunia, para misionaris Protestan menyebarluaskan Alkitab ini. Mengingat banyak penerjemah Alkitab kurang memahami bahasa Ibrani dan Yunani dalam Alkitab, King James Version dalam bahasa Inggrislah yang dijadikan dasar penerjemahan ke dalam bahasa-bahasa lain.

Dewasa ini, menurut British Library, Alkitab King James, atau Authorized Version, tetap menjadi publikasi berbahasa Inggris yang paling luas perederannya. Ada yang memperkirakan bahwa oplah KJV telah mencapai lebih dari satu miliar di seluruh dunia!

Selama berabad-abad, banyak orang percaya bahwa KJV adalah satu-satunya Alkitab yang “benar.” Pada 1870, dimulailah tevisi menyeluruh atas Alkitab ini di Inggris. Belakangan, hasil revisi itu, yakni English Revised Version, mengalami sedikit revisi lagi di Amerika dan diterbitkan sebagai American Standard Version.

Dalam revisi yang lebih belakangan, 1982, prakata untuk Revised Authorized Version, mengatakan bahwa upaya telah dibuat untuk mempertahankan pilihan kata yang indah yang sangat dijunjung tinggi dalam Authorized Version edisi 1611.

Meskipun Alkitab tetap menjadi buku yang paling laris di dunia—dan KJV yang paling disukai—Profesor Richard G Moulton mengamati, hampir segala upaya telah kami lakukan berkenan dengan tulisan-tulisan Ibrani dan Yunani. Kami telah menerjemahkannya (dan) merevisi berbagai terjemahannya. “Tinggal satu hal yang perlu dilakukan sehubungan dengan Alkitab: membacanya,” kata Richard

Tidak diragukan, KJV adalah mahakarya sastra, dihargai dan dijunjung tinggi karena keindahan ungkapan-ungkapanya yang tiada duanya. Tetapi, bagaimana dengan nilai beritanya? Tulisan-tulisan terilhami dalam Alkitab menyingkapkan jalan keluar yang langgeng bagi berbagai problem di zaman kita yang kritis ini. bas/sumber: sedarlah

Perayaan Jubileum 150 Tahun HKBP Distrik Jawa Kalimantan

Tidur Nyenyak Tidak Bisa Dibeli dengan Uang

“Somba ma Jahowa Debatanta: Amen Haleluya

Sigomgom langit tano on rodi isina: Amen Haleluya

Beta hita lao marsinggang tu joloNa: Amen Haleluya

Na songkal jala na badia do Jahowa: Amen Haleluya

Endehon: Amen Haleluya, endehon Amen Haleluya

Endehon: Amen Haleluya, endehon Amen Haleluya”

Lagu dari Buku Ende No 585 ini membahana di dalam Gedung Tennis Indoor Senayaan. Ribuan warga HKBP Distrik VIII Jawa Kalimantan, tua dan muda serta anak Sekolah Minggu dengan riang gembira menyanyikan lagu “Somba ma Jahowa”yang aslinya “Taridemidem” lagu rakyat Batak Toba ini.

Selama kebaktian diselingi koor dari: Ina Hanna Distrik, Sekolah Minggu, Gabungan, Punguan Parompuan Distrik dan koor Pardihuta ni pandita.

Kebaktian yang dirancang singkat dan padat ini dipimpin Praeses Distrik Jawa Kalimantan, Pdt Mori Sihombing MTh. Dalam tata ibadah ditulis juga sejarah perjalanan HKBP selama 150 tahun yang dibacakan bergantian.

Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu saat kotbah menyerukan, agar HKBP kembali ke jati dirinya yaitu kepada Yesus Kristus. HKBP harus bersumber kepada Alkitab, terus-menerus beribadah dan harus mampu mencerdaskan seluruh warganya. Harus juga bersaki, bersekutu dan melayani di tengah masyarakat yang holistik serta mandiri di bidang teologi, daya dan dana.

Di hadapan warga HKBP Distrik VIII, Pdt Bonar Napitupulu mengatakan, agar senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat yang diberikan. Uang bisa membeli peralatan rumah tangga yang mahal, tapi uang tidak bisa membeli rumah tangga yang baik. “Uang bisa membeli tempat tidur yang paling mahal, tapi uang tidak bisa membeli tidur yang nyenyak,” ujar Bonar Napitupulu.

Ketua Panitia Jubileum Distrik Jawa Kalimantan, St Patar Pandapotan Situmeang, dalam sambutan menjelaskan sikap mental negatif yang perlu dirubah. Seperti; elat, teal dan late. Contoh lain, “Batak Uber Alles” yaitu menyamakan dirinya dengan orang Korea/Jepang, Jerman dan bahkan orang Yahudi (Israel) “Sikap mental seperti ini apabila tidak didukung pengembangan yang realistis, sulit mencapai kemajuan seperti yang mereka raih,” ucap Patar.

Istilah Medan, mental yang sudah bobrok itu disebut mental “dangadanga” (ikan pari yang sudah busuk) Penyebabnya adalah karena mental konsumerisme (boros-Red) hedonisme (kenikmatan duniawi) minuman keras, penyalahgunaan narkoba, judi togel dan penyakit sosial lainya. Sebab itu menurut St Patar, konsep diri “ai ise songon au” (I am everything) sebaiknya ditanggalkan. Lebih baik “low profile” dengan konsep diri “I am nothing” (saya tidak ada apa-apanya)

Pada kesempatan yang sama, Pdt Mori Sihombing menguraikan makna jubileum khususnya bagi HKBP. HKBP untuk ketiga kalinya merayakan jubileum. Dahulu kala, sebelum Injil Kristus masuk di Tanah Batak, nenek moyang kita hidup dalam kegelapan, kebodohan dan peperangan, bahkan tertinggal dari etnis lainnya. Tetapi berkat Injil, orang Batak berangsur-angsur memasuki peradaban baru, pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf hidup.

Kini, kata Mori Sihombing, kita diperkenankan Tuhan merayakan jubileum yang ketiga. Artinya, Tuhan mempersiapkan kita mengemban tugas menuju zaman baru, yakni jubileum keempat, tepatnya 2061 mendatang. Supaya dapat melangkah dengan mantap, maka kita; “Harus tetap hidup di dalam Kristus Yesus, berakar, dibangun dan bertumbuh di dalam Dia” (kolose 2: 6-7) Karena dalam pertumbuhan itulah kita dapat mengembangkan jati diri HKBP sebagai organisasi yang hidup di tengah-tengah gereja, masyarakat dan bangsa.

Tak lupa Praeses Mori Sihombing menyampaikan terima kasih kepada panitia jubileum distrik yang dengan sabar dan ulet mempersiapkan dan menyelenggarakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan Jubileum 150 Tahun HKBP. Ia juga mengucapkan terima kasih kepada pendeta, sintua dan warga HKBP Distrik VIII atas dukungan doa dan materi yang diberikan.

Pada perayaan jubileum ini, gereja-gereja yang ada di Distrik Jawa Kalimantan menyerahkan hasil celengan kepada Panitia Jubileum Distrik VIII. Masing-masing gereja membawa hasil celengan yang di antar ke atas panggung.

Pada perayaan hadir Menteri Agung Laksono dan Gubernur DKI yang diwakili staf gubernur.

Selama acara diselang-selingi hiburan oleh artis yang pada umumnya warga HKBP. Seperti Putri Ayu Silaen (runner up IMB, warga HKBP Tanjung Sari Medan) Ya’maro Sitompul (artis dan pencipta lagu warga HKBP Bekasi) Tobar Simanungkalit dan Demak Situmorang (Sekolah Minggu HKBP Petukangan) Dea, Nasya, Ola, Echa (HKBP Kebayoran Baru) Lamser Simanungkalit (HKBP Ciledug) “Panitia memang sengaja menampilkan mereka yang masih muda-muda, sebagai generasi penerus HKBP masa mendatang,” kata Pdt Enig S Aritonang MTh. bas

Sinode Distrik Jawa Kalimantan

Tim Doa di Huria Digalakkan

Salah satu dari sekian banyak yang dibicarakan pada Sinode Distrik 8 HKBP Jawa Kalimantan adalah meningkatkan serta menggalakkan tim-tim doa di huria. Dalam percakapan diakui bahwa HKBP pada umumnya belum memaksimalkan tim doa, bahkan masih ada beberapa gereja yang belum punya tim doa. Meskipun sejumlah gereja (HKBP) sudah mempunyai tim doa yang mapan dengan jadwal yang teratur.

Praeses Pdt Mori Sihombing, saat merespon pernyataan itu, ia menguraikan kehebatan kuasa doa bagi umat percaya. Kita mengakui bahwa kuasa doa itu sangat kuat dan nyata. Doa adalah napas orang beriman. Sering kita katakan, berdoa adalah setengah dari pekerjaan. “Mari galakkan tim-tim doa di gereja kita masing-masing, untuk mendukung pelayanan kita,” kata Mori Sihombing.

Sionode yang diselenggarakan di Pontianak ini juga membahas pentingnya diadakan penelitian-penelitian di tingkat resort yang berkaitan dengan penurunan jumlah warga yang beribadah ke HKBP belakangan ini, khususnya di Jabodetabek.

Penurunan itu menurut pemantaun Praeses Mori Sihombing, hampir di semua kategorial, seperti Sekolah Minggu, remaja, naposobulung. Apa yang menjadi penyebab penurunan ini? Kenapa warga HKBP yang datang kebaktian menurun? “Ini perlu diteliti dengan serius sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan,” kata Mori.

Dalam pembahasan kelompok disepakti perlu ada tim yang kualifaid untuk penelitian ini, agar hasilnya akurat dan dapat dipercaya. Benarkah jumlah warga yang kebaktian di HKBP menurun? Kalau benar, apa penyebabnya? “Jangan-jangan hal itu sengaja dilontarkan orang-orang yang tidak senang kepada pelayanan pendeta HKBP,” ujar salah satu pendeta senior dalam diskusi.

Selain itu, dalam rapat pleno dan dalam diskusi kelompok, disinggung juga kualitas kotbah pendeta yang mendapat respon yang kurang baik dari warga HKBP. Sebab itu, sinode menyetujui agar diadakan pelatihan yang intensif bagi pendeta dan partohonan yang lain.

Pdt Mori mengatakan, soal dasar berkotbah (hemouletik) baik teologi, dogma, bahasa biblika, pendeta HKBP sangat bagus. Fundasi teologi kita kokoh, tapi, ketika menyampaikan ini dari atas mimbar, kurang menarik bahkan membosankan. Padahal materi kotbahnya, benar-benar dipersiapkan dengan baik. Tapi begitu tiba di atas mimbar, tidak nyambung dan warga jemaat tidak mendengar, malah mereka berbisik-bisik selama kita berkotbah. “Saya pikir, kita para pendeta perlu intropeksi diri. Perlu belajar banyak dan harus membaca banyak buku,” ucap Mori.

Mengingat 2012 adalah “Tahun Penelitian dan Pengembangan HKBP” maka percakapan dalam sidang juga banyak membahas penelitian dan pengembangan. Bahkan untuk membahas soal peneletian dan pengembangan (litbang) sengaja diundang pembicara; St Meiran Panggabean, warga HKBP Pontianak yang juga dosen di Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Dalam laporan praeses juga disinggung mengenai Sekolah Minggu. Dalam laporan itu dikatakan; kita selalu menuntut agar anak-anak Sekolah Minggu diajari bahasa Batak, padahal guru-guru Sekolah Minggu pun tidak fasih bahasa Batak. Bahkan banyak anak-anak HKBP, bersekolah Minggu di gereja lain. Lalu bagaimana regenerasi HKBP ke masa depan?

Pada kesempatan yang sama ketiga bidang menyampaikan laporan di hadapan perserta sinode. Kepala Bidang Koinonia, Pdt PH Nainggolan MTh, Kepala Bidang Marturia, Pdt Colan Pakpahan MTh dan Kepala Bidang Diakonia, Pdt Enig Soneta Aritonang MTh. Termasuk keadaan keuangan distrik dilaporkan St M Nababan SE.

Sinode Distrik 8 tahun ini, tuan rumah adalah HKBP Pontianak. Ketua Panitia Pdt W Ben Parhusip, Wakil Ketua L Simanjutak SH, Sekretaris; JH Sitorus SKM, MKes, Bendahara: E Panggabean SE dan didukung seksi-seksi. bas

Pontianak:

Bumi Khatulistiwa yang Rukun

Sebutan lain untuk Pontianak adalah “Bumi Khatulistiwa.” Julukan itu bukanlah mengada-ada, itu adalah berdasarkan fakta. Soalnya, kota ini memang dilalui garis ekuator. Bahkan di Pontianak berdiri tugu lintasan garis ekuator yang banyak dikungjungi wisatawan domestik dan luar negeri. Tugu itu berada di seberang Sungai Kapuas, sekitar 15 kilometer ke sebelah timur Kota Pontianak.

Pada 1938, tugu asli dibangun kembali oleh arsitek Ferdinad Silaban dengan beberapa tambahan. Konstruksi dan bangunan Tugu Khatulistiwa yang aslinya masih dapat disaksikan, yang saat ini disimpan di dalam kubah tugu yang baru.

Bangunan duplikat tugu dan kubah yang baru, diresmikan Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryokusumo, 21 Spetmebr 1991.

Pada garis ekuator, sering terjadi fenomena alam, seperti hujan zenithal dan juga pembelokan arah angin dari arah semula akibat rotasi bumi. Pada garis ekuator, yaitu tengah hari setiap tahunnya, tepatnya pada 21-23 Maret dan 23 September benda-benda tegak lainnya yang berada di sekitar Tugu Khatulistiwa tidak ada bayangan sama sekali. Inilah sebagai bukti bahwa Tugu Khatulistiwa terletak tepat pada garis lintang nol derajat.

Pontianak juga populer dengan julukan kota “Seribu Parit.” Maklum kota ini memang banyak paritnya, termasuk di jalan portokol seperti Jalan Gajah Mada, Jalan Ahmad Yani, Jalan Tanjungpura, Jalan Sultan Muhammad dan Jalan Veteran. Wajarlah di mana-mana ditemukan parit, apalagi di daerah ini terdapat Sungai Kapuas, sepanjang 1.369 kilometer yang membentang membelah kota Pontianak.

Ketika penulis berada di Pontianak, awal musim hujan (November-Desember) dan sempat menyaksikan air parit di sepanjang Jalan Gajah Mada naik hingga menggenangi jalan protokol dan pekarangan rumah penduduk. Curah hujan di Kalimantan Barat memang termasuk tinggi. Tak heran, hampir tiap tahun banjir adalah ancaman bagi penduduk Pontianak.

Pengamat tata kota Prof Abdul Hamid MEng, menilai, drainase Kota Pontianak menjadi salah satu di antara masalah yang tak terselesaikan dengan baik sejauh ini. Akibatnya sejumlah kawasan kerap tergenang air, baik pada saat curah hujan tinggi, maupun ketika pasang terjadi. Abdul Hamid juga meneliti, ternyata sudah banyak parit yang hilang dan berubah fungsi. “Dampaknya terhadap pendistribusian air menjadi terganggu dan air tidak lagi mengalir dengan cepat,” kata Abdul Hamid, seperti dikutip “Tribune Pontianak.”

Belum lagi letak Kota Pontianak yang landai, berada pada ketinggian 0,2 hingga satu setengah meter di atas permukaan laut, ini juga turut memperparah keadaan, ketika pasang naik dan musim hujan tiba, misalnya.

Namun, ada hal yang menarik dan pantas dicontoh dari budaya masyarakat Pontianak. Masyakatnya terbuka dan hidup rukun. Penduduk yang berjumlah empat setengah juta ini, mampu hidup rukun berdampingan dengan orang lain yang berbeda suku dan agama. Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Kartius, memaparkan hal itu di hadapan peserta Sinode Distrik Jawa Kalimantan, saat memberi sambutan mewakili Gubernur Kalimantan Barat.

Kartius menjelaskan, siapa pun orangnya dan apa pun suku dan agamanya, kalau memamang dia mampu, kami masyarakat Pontianak sangat mendukung. Masyarakat Kalimantan Barat sangat terbuka dan menghargai perbedaan. “Berbagai suku ada di Pontianak, termasuk orang Batak,” ujar Kartius warga gereja Katolik Pontianak ini sambil menambahkan di Pontianak tidak pernah terjadi konflik antarumat beragama.

Penjelasan Kartius memang betul adanya. Suasana rukun beragama itu dapat disaksikan di sepanjang jalan di Pontianak, berbagai rumah ibadah berdiri megah bahkan saling berdekatan. Ini adalah juga salah satu indikasi bahwa di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia ini memiliki nilai toleransi beragama yang tinggi. Hal ini patut dicontoh daerah lain. “Orang Dayak sangat menjunjung tinggi kehidupan bersama. Terbuka dan tidak hanya mementingkan kelompoknya,” ucap Sekda Kartius yang asli Dayak Pontianak.

Betul yang disampaikan Kartius, buktinya di Kalimantan Barat saja, ada lima HKBP (resort) yaitu di Pontianak, Sanggau Kapuas, Sintang, Singkawang dan Soparnak. Ditambah pagaran HKBP Pontianak; Jeruju, Teluk, Siantan dan Kuala Dua. Pagaran HKBP Sanggau Kapuas: Gunung Meliau dan Balai Karangan. Pagaran HKBP Sintang: Belitang dan Naga Pinoh. Pagaran HKBP Singkawang: Mempawah. Pagaran HKBP Soparnak; Perindu dan Kolompu-Kembayan.

Selain terkenal rukun, juga hasil bumi Pontianak sangat mendukung kehidupan penduduknya. Seperti; padi, ubi kayu, kelapa, lada, tengkawang, cengkeh, sereh wangi, kayu, rotan dan damar. Barang ekspor; kayu log, minyak kelapa, lada dan biji tengkawang. Tak terkecuali jeruk Pontianak yang terkenal manis. Hampir semua sudut kota dijumpai pedagang buah termasuk jeruk di antaranya. Begitu juga dodol lidah buaya dan jus lidah buaya yang gurih rasanya.

Kalimantan Barat terkenal penghasil: emas, intan, minyak bumi, uranium dan kaolin. Hasil penelitian bijih uranium Kalimantan Barat oleh Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) di Jakarta, kadar uranium 0,3 sampai satu persen. Berarti cukup tinggi dan dapat dipakai sebagai cadangan devisa, jika persediaannya cukup banyak. baharuddin silaen

Natal dan Wajah Kita

Langkah Ramses tergopoh-gopoh sambil menjinjing tas berisi sandal, payung dan sepatu. Sejurus ditatapnya langit, cuaca hari itu cerah. Tidak ada awan hitam menggelayut di langit. Satu per satu isi tas dikeluarkan, lalu disusun dengan rapi di atas plastik yang sudah digelar di trotoar jembatan. Sudah bertahun-tahun di jembatan ini ia mengais rezeki. Bagi Ramses jembatan ini adalah lahannya mencari nafkah.

Tidak selamanya nasib Ramses di jembatan itu mulus. Kadang ia harus pulang tanpa membawa uang, karena tidak bisa jualan. Lantaran hujan. Atau lantaran Satpol PP berjaga-jaga di sepanjang jembatan. Memang para pedagang di tempat ini sering menjadi sumber kemacetan. Ramses juga harus sigap dan gesit di kala pihak keamanan dan ketertiban kota mendadak mucul. Ia harus cepat berlari sambil dan mengusung dagangannnya.

Selain Ramses ada juga Rustam, nasib mereka sama—jualan di pinggir jalan. Bedanya, Rustam, jualan CD dan VCD. Sekitar pukul 16.00, ia baru bisa menggelar jualannya di lapak. Soalnya, sepanjang jalan ini dilarang berjualan sebelum pukul 16.00. Sesekali terdengar lagu Natal dari tempat Rustam jualan. Juga lagu pop Batak terdengar dari speaker dengan suara keras.

Di ujung jalan tidak jauh dari jembatan ada Piter, penambal ban. Ia duduk di samping compressor satu-satunya miliknya yang paling berharga. Ia sengaja memilih tempatnya dekat pohon di pinggir jalan agar bisa berteduh dari terik matahari. Terkena razia sudah bagian dari hidupnya. Tapi Piter tak pernah menyerah meskipun sudah berulang kali barang-barangnya diangkut pihak ketertiban kota. Dia sangat sadar, itu adalah resiko penambal ban pinggir jalan. Ia sama dengan yang lain, tetap semangat dan berharap akan masa depan yang lebih baik. Siapa tahu, suatu saat nanti ia kedangatangan tamu dari Senayan—anggota dewan—menambal ban mobilnya Lexus RX 270 yang seharga Rp 2 miliar.

Di dalam terminal ada Rospita, perempuan setengah baya ini berjualan kopi keliling dengan bermodalkan satu termos besar. Langganannya adalah sopir dan kernet di terminal. Pagi-pagi Rospita sudah ada di terminal bersama termos dan beberapa bungkus kopi seduh dan menjelang sore ia baru pulang. Jual kopi keliling sudah beberapa tahun dilakoninya setelah keluar dari tempat kerjanya dari salah satu pabrik.

Mereka yang disebutkan adalah hanya beberapa dari sekian banyak yang mengadu nasib di pinggir jalan. Sebut saja pedagang sayur, ikan, buah, es, koran, bakso, gorengan dan rokok. Mereka adalah riil dan benar-benar ada di antara kita. Saudara dan sahabat dan mungkin sering bersama-sama kita ke gereja? Mereka adalah bagian dari wajah kita juga.

Adakah yang pantas diteladani dari mereka? Semangat dan ketegaran agaknya perlu dicontoh. Tidak tergantung kepada orang lain. Berani dan punya tekad yang kokoh. Tidak cengeng dan merengek-rengek, meminta-mita ke sana kemari. Hidup apa adanya dan menikmati hidup seadanya. Itulah kesan berharga yang dapat ditangkap dari kehidupan mereka. Layak ditiru bahkan perlu diteladani.

Bahkan, rutinitas mereka tidak terganggu dengan berita heboh para koruptor. Di benak mereka hanya satu; bagaimana agar hari ini bisa jualan dengan aman. Pikiran mereka sangat jauh dari cara mengembat duit miliaran rupiah dari jalan yang salah. Apalagi merampok uang negara—bukanlah tipe mereka. Mereka tidak pintar dan tidak pernah tahu bermain kong-kalikong dengan bagian anggaran proyek.

Berita bekas Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menyilep uang proyek Wisma Atlet senilai Rp 191 miliar tak membuat semangat mereka surut untuk berjualan di pinggir jalan. Berita Gayus Tambunan pun tak mampu mengalihkan perhatian mereka dari kaki lima dan pinggir jalan. Meskipun saban hari disiarkan di televisi dan tiap hari diterbitkan di surat kabar, mereka tak ambil pusing dengan berita itu. Bagi mereka yang penting, bagaimana hari ini mendapat rezeki dari jalan yang benar, dengan kerja keras dan doa.

Jangankan ikut demo ke KPK, menyaksikan Melinda yang menangis terisak-isak di televisi pun tak sempat. Sebab, waktu mereka sangat terbatas—menjajakan jualan di pinggir jalan sambil merayu orang yang lewat untuk sudi membelinya. Mereka, tidak punya waktu membahas dan mendiskusikan kasus koruptor yang menggurita di negeri ini.

Tapi mereka perlu diperhatikan. Dicontoh dan dihargai. Bagaimana mereka berusaha dan berjuang untuk bisa hidup layak. Mereka yang banting tulang dan kerja keras, tidak cengeng dan merengek-rengek, masih banyak ditemukan di negeri ini. Mereka yang bergelut di pinggir jalan, di jalanan, pasar, pabrik, kantor, sekolah, kampus, rumah sakit, sawah, laut dan di pantai, puluhan juta jumlahnya. Mereka adalah bagian dari wajah kita. Mereka adalah anak bangsa yang punya budi pekerti yang luhur. Patutlah kita bangga sebagai anak bangsa, bahwa masih banyak di antara kita yang berpegang teguh terhadap kebenaran, hidup jujur, kerja keras serta melakukan apa yang diajarkan agama yang dianutnya dengan benar.

Mungkin saja, di antara mereka ada yang warga Kristen dan warga HKBP. Ketika Natal tiba, mereka juga turut merayakannya, sama seperti kita. Mungkin, saat di gereja Ramses berdoa dalam hati; “Ampunilah aku Tuhan, kalau hanya pada Natal ini aku datang ke rumahMu.”

Si Rustam, Piter dan Rospita, juga ada di antara barisan orang yang akan menerima Perjamuan Kudus di gereja. Meskipun mencari nafkah di pinggir jalan, tapi mereka sadar—begitu berada di gereja apalagi di hadapan Tuhan, semua umat manusia sama! Sebab, tidak ada orang yang istimewa di hadapan Tuhan. Semua umat manusia yang berada di kolong matahari adalah sama di hadapan Tuhan. Mereka adalah wajah kita juga.

“Jangan takut, sebab sesungguhnya akau memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” Lukas 2: 10-11.

Selamat Natal. baharuddin silaen