Minggu, 27 Juli 2008

Penulisan nama dan gelar yang salah

Baharuddin Silaen


Menuliskan nama yang baik dan benar di media massa, ternyata tidak gampang. Buktinya, meskipun sudah berulangkali diperbaiki sesuai “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” tetap saja penulisan nama dan gelar kesarjanaan kacau-balau. Pengalaman sebagai penyelaras bahasa (editor) di majalah Suara HKBP acap menemukan kekeliruan seperti itu. Lucunya, yang bersangkutan malah marah karena namanya tidak seperti yang ditulisnya. Ngotot menyalahkan redaksi!
Dugaan penyebab kesalahan, boleh jadi lantaran tidak tau sama sekali kaidah menuliskan nama dan gelar yang baik dan benar dalam media massa. Kemungkinan lain, adalah faktor budaya (Batak?) yang masih kuat dalam diri yang bersangkutan. Seperti ada kewajiban mencantumkan nama dan marga suami di depan nama isteri?
Kesalahan yang sering dijumpai adalah penulisan nama dan gelar. Misal, “Ny dr Budi/Tiodor Boru Silaen menyampaikan sambutan pada pertemuan itu.” Penulisan nama dalam kalimat ini membingungkan. Siapa sebenarnya yang menyampaikan sambutan, dr Budi sebagai suamikah atau Tiodor Silaen? Kalau yang dimaksudkan adalah Tiodor Silaen, sebaiknya ditulis, “Tiodor Silaen menyampaikan kata sambutan pada pertemuan itu.” Tidak perlu dicantumkan nama dr Budi sebagai suami. Begitu juga gelar (dr) tidak perlu ditulis, sebab gelar kesarjanaan bukan milik bersama (suami dan isteri)
Lagi pula, apa hubungan Budi pada kata sambutan itu? Jangan-jangan suaminya, Budi pun tidak hadir pada acara tersebut. Apakah karena suami, lalu ditulis? Atau supaya orang lain tau dia istri dari Budi. Atau alasan lain, biar semua tau bahwa dia sudah bersuami (berkeluarga) “Kenapa nama saya ditulis seperti itu, tidak tercantum nama dan marga suami saya, dikira orang aku masih gadis, padahal sudah marpahompu (cucu)” komentar salah satu yang namanya pernah dimuat dalam berita di majalah ini. Sanggahan yang lain, “Apa kata marga dari suami saya, mereka bisa marah sama saya marga suamiku tidak ditulis?” Alasan itu mengada-ada, belum tentu marah? Formulasi penulisan nama seperti itu tidak jelas dari mana asal-usulnya? Hebatnya, malah dianggap benar dan paten.
Tetapi kalau perasaan bersalah atau takut menjadi alasan, lain soal. Mungkin saja faktor budaya masih kuat sehingga kebiasaan itu terbawa-bawa ke dalam penulisan nama. Alasan lain, karena takut dan merasa bersalah, apabila marga suami tidak disebut. Kenapa ketika Budi menyampaikan sambutan tidak menyebut nama dan marga istrinya? Apakah Budi karena suami, lebih berkuasa terhadap isteri? Tidak adil rasanya.
Pengalaman lain yang lucu, ketika ada acara penyerahan sertifikat kepada peserta kursus yang diselenggarakan gereja. Kembali saya geli, ketika peserta pria (ama) dipanggil, tidak ada disebutkan nama dan marga isteri, namun saat giliran peserta perempuan (ina) nama suami yang lebih awal dipanggil baru nama yang bersangkutan, “Ny St Horas Boru S.” Mudah-mudahan ini bukan bentuk diskriminasi yang tidak disadari terhadap perempuan? Yang ikut kursus siapa, yang tercantum namanya di sertifikat siapa? “Boru S” yang kursus, tapi Horas sang suami yang menonjol dalam sertifikat. Ini sertifikat milik berdua (two in one) Geli bukan?
Perlu dicamkan, bila tulisan (artikel) maupun berita ditulis oleh seorang perempuan (isteri) tidak perlu menuliskan nama dan marga suami. Langsung saja nama penulisnya, imbuhkan nama lengkap dan marga. Tidak ada yang marah kalau cara seperti itu yang Anda tempuh? Soalnya, bukan suami Anda yang menulis artikel tersebut. Begitu juga dalam menulis berita, tidak usah mencantumkan nama suami apabila tidak ada sangkut pautnya dengan kejadiaan saat itu.
Masih berkaitan dengan nama, pada kesempatan lain, saya diminta mendoakan warga gereja yang sakit, kebetulan ada perempuan (ina) yang sakit. Sebut saja nama-nama yang sakit; Ny Togar Boru N, Ny Burju Boru B dan Ny Parlin Boru M. Terus terang, saya bingung, siapa yang sebenarnya sakit, bagaimana menyebut nama mereka dalam doa. Sampai saat ini, bila menemukan hal seperti itu, selalu saya bertanya, “Ise do namarsahit, amanta i do manang inantai?” “Inantai do amang.” Jadi jelas siapa yang sakit. Jangan sampai salah mendoakannya. Saya pun berdoa tanpa menyebut nama dan marga suami yang sakit. Pertanyaan, kenapa kalau bapak (suami) yang sakit tidak mencantumkan nama dan marga isteri?
Kembali kepada penulisan nama di media massa. Tulislah nama yang bersangkutan (yang berperan saat itu) Tidak perlu mencantumkan nama dan marga suami. “Dewi Sibarani, pada perayaan Natal itu memberikan sambutan kepada anak-anak Sekolah Minggu” Ini yang betul. Sopan dan mengindahkan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Yakinlah, Anda tidak salah dalam penulisan seperti itu.
Ada lagi penulisan yang sering salah kaprah. Misal, Pdt Bahagia dan ibu hadir dalam pesta gereja itu. “Ibu” siapa yang dimaksud? Apakah ibu (orang tua) yang melahirkan Pdt Bahagia? Atau maksudnya istri dari Pdt Bahagia? Jikalau istri Pdt Bahagia yang dimaksud, tulis saja “Pdt Bahagia dan istri.” Jelas dan konkrit. Sopan? Sangat sopan dan lebih tepat, baik dan benar. Tetapi, kalau memang perlu disebutkan nama dan marga isteri, boleh saja, caranya, “Pdt Bahagia dan istri Siska Tambunan
Penulisan marga dalam tradisi masyarakat Batak sangat penting dan harus, apabila perempuan dicantumkan “boru.” Walaupun dari namanya sudah jelas-jelas perempuan tapi tetap diimbuhkan boru sebelum marganya. Natalia Boru Naingolan, misalnya. Natalia pastilah perempuan. Kalaupun ditulis “Natalia Nainggolan,” sebenarnya sudah benar (tanpa boru) Tapi, kalau harus dicantumkan boru, tulislah “Natalia Boru Nainggolan,” bukan disingkat “br.” Sebab “boru” adalah bagian dari identitas diri seseorang maka harus ditulis dengan huruf besar (Boru) Pertanyaan, kenapa kepada perempuan diimbuhakan “boru” dan kepada pria (baoa) bebas tanpa embel-embel? Ya, memang dari sananya udah begitu? Dalam banyak hal, posisi pria (ama) dalam tradisi Batak selalu diistimewakan. Apakah ini termasuk “keunikan” budaya Batak?
Memang ada beberapa nama tertentu yang menjadi nama babtis pria dan perempuan bagi warga Batak. Sebut misalnya, Hotma, Gokma, Tulus, Elisa, Lambok dan Parulian. Supaya jenis kelamin jelas, kadang dituliskan “boru” dalam namanya. Namun ada juga tidak perlu menuliskan boru walaupun yang punya nama adalah perempuan.
Kesalahan yang serupa masih ditemui pada penulisan gelar kesarjanaan dan sapaan kehormatan. Untuk gelar doktor (S3) penulisan yang benar adalah “Dr” dan inilah yang berlaku di seluruh Indonesia, bukan DR, dua-duanya ditulis huruf besar. Entah dia lulusan Amerika, Kanada, Australia, Jerman, Prancis, Belanda, Indonesia, maupun doktor kehormatan (HC) disingkat dengan Dr. Sedangkan dokter (S1) yang benar adalah “dr” dua-duanya huruf kecil.
Kalau selama ini kita menuliskan gelar kesarjanaan rancu, mulailah sekarang memperbaikinya. Bagi yang lain pun sangat membantu, tidak lagi mengira-ngira, apakah doktor (S3) atau dokter (S1)
Karena bahasa yang digunakan pers (mass media) adalah bahasa jurnalistik—sifatnya netral bukan paternalistik atau keningratan, sebab itu tidak mengenal sapaan bapak, ibu dan beliau dalam penulisan berita. Bapak Pdt Hidup menyerahkan kuci rumah yang baru. “Pdt Hidup menyerahkan…,” inilah yang benar. Presiden SBY hadir dalam perayaan Parolopolopon HKBP. Gubernur Rudolf Pardede. Ephorus HKBP dan Sekjed HKBP juga hadir di Senayan. Cara penulisan seperti itu cukup sopan dan santun.
Marilah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan.

Penulis pengajar di Fisipol UKI, mengampu mata kuliah Bahasa Jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkan menghubungi email: baharuddinsilaen@yahoo.com

Konglomerat jadi hamba Tuhan

Baharuddin Silaen


Apakah kolongmerat (orang kaya) boleh jadi penginjil? Boleh! Sah-sah saja kolongmerat jadi penginjil atau hamba Tuhan. Yang menggelitik, mengapa orang rame-rame putar haluan dan kepingin jadi “hamba Tuhan?”
Memang, fenomena itu sudah diprediksi bakal terjadi oleh peramal kaliber dunia, John Naisbitt, penulis “Megatrends 2000.” Ia juga bernubuat tentang kebangkitan agama, orang yang tadinya “menolak” ke gereja, malah berbondong-bondong memadati rumah Tuhan. Hebatnya, tidak sedikit dari antara mereka “menyodorkan” diri jadi evangelis (penginjil) kendati kehidupan mereka rata-rata sudah mapan dengan latar belakang dunia sekuler yang gemerlapan.
Ketidakpastian serta merasa tidak menemukan ketenangan jiwa, adalah pendorong utama bergerilya ke dunia religius—dari businessman, politikus, pengusaha, akademis—mendadak menjadi hamba Tuhan (pendeta) Anehnya, justru pendeta berlomba beralih profesi, jadi politikus—mengurusi partai politik dan pengusaha?
Biasanya, mereka ini lebih bangga dipanggil hamba Tuhan ketimbang pendeta. Sebutan hamba Tuhan barangkali lebih Alkitabiah, sedangkan pendeta cenderung sekuler? Tapi tidak semua pendeta “senang” dipanggil hamba Tuhan, cukup pendeta saja. Hamba Tuhan, bahasa Bataknya “na poso ni Debata.” (doulos tou Theos, Yunani)
Seiring dengan trend itu, sapaan syalom pun turut menghias pembuka pembicaraan antara sesama komunitas. Bahkan, kata syalom belakangan ini menjadi trend bagi “anak-anak Tuhan” masa kini. Tidak lagi hanya sapaan di tempat khsusus seperti gereja, tetapi sudah hampir di semua tempat dan kapan saja. Dulu, syalom masih terbatas pada surat menyurat, tidak pernah diucapkan secara lisan dalam pertemuan misalnya. Diperkirakan ucapan salom ini populer di awal 2000 terbawa arus maraknya gerakan kharismatik. Sapaan ini lama kelamaan berubah menjadi kewajiban, ketika bertemu atau saat masuk ke dalam rumah baik pada pertemuan setengah resmi maupun yang formal. Malah, sebelum berbicara didahului syalom dan setelah selesai ditutup pula dengan syalom. Anehnya, pendeta yang menyampaikan firman Tuhan, kalau tidak mengucapkan syalom, dianggap sekuler. Kaget bukan main, saya pernah ditegur karena tidak mengucapkan syalom.
Terus terang, belum pernah saya mengucapkan syalom di kala berkotbah, atau ketika berbicara di depan komunitas Krsiten. Tidak habis pikir, kenapa musti didahului dengan syalom? Apakah kata ini lebih sorgawi daripada kata Horas atau salam sejahtera? Atau merasa pengikut Kristus yang setia kalau menyebut syalom? Sambutan kita luar biasa ketika seorang Muslim mengucapkan syalom. Tepuk tangan bergemuruh.
Memang, kata syalom, dari kata syalom atau salaam—Ibrani. Salam (berkat) yang disampaikan kepada seseorang (2 Raja 4:29) Ucapan ini juga berkaitan dengan seruan perdamaian dalam tradisi Ibrani—sya’al l e’syalom. Atau “selamat” dari pertempuran—perang (1 Samuel 17:22) Salom adalah ucapan salam dalam bahasa Ibrani dan juga Arab—asalamualaikum. Yunani, salem—aman, damai. Kalau memang kata “salam damai” ini yang hendak diucapkan, kenapa harus pakai bahasa Ibrani, syalom, ucapkan saja dalam bahasa Indonesia “salam sejahtera.” Ingat, syalom bebas diterjemahkan, ia bukan milik bangsa tertentu yang memiliki otoritas mutlak. Jangan-jangan kita ikut-ikutan latah. Takutnya, lama-kelamaan di pintu rumah pun ada tulisan berbunyi “Sebelum masuk ke dalam rumah ini, ucapkan lebih dahulu syalom.” Bukan main!
Yang tak kalah serunya, cara para hamba Tuhan meluapkan kesaksian di hadapan warga. “Setelah saya dipenuhi kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru, saya bertambah sehat. Tadinya saya sempat susah jalan, bahkan mata saya tidak bisa melihat, tapi sekarang setelah mengenal Yesus dan menjadi hamba Tuhan, saya dapat melihat dengan terang, walaupun usia saya sudah 76 tahun.” Begitulah isi kesaksian yang mengaku hamba Tuhan itu. Kesaksian itu disambut tepuk tangan yang meriah. “Saudara-saudara, tepuk tangan untuk Tuhan Yesus,” ujar yang lain penuh semangat.
Luar biasa! Apalagi kalau kesaksian itu benar-benar terjadi (true testimony) Tetapi, bila kesaksian itu hanya rekayasa sekedar menuai rasa kagum sekaligus memposisikan diri untuk meraih ketenaran dengan mengatasnamakan kuasa Roh Kudus, agaknya ini pun menarik direnungkan? Puji Tuhan, kalau hal itu benar, tapi bayangkan seandaianya itu bohong-bohongan?
Tidak jarang terjadi “kesaksian palsu” dengan cara menjelek-jelekkan bahkan menghakimi kelompok lain. Mempopulerkan diri sambil “ngomingin” tetatangga. “Dulu saya sewaktu di gereja Anu tidak pernah merasakan kuasa Roh Kudus. Gereja saya dulu hanya sibuk mengurusi hal duniawi, sering ribut gara-gara duit. Setelah saya pindah gereja, barulah aku menemukan kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru.”
Kejadian di atas pengalaman seorang pendeta, yang langsung mendengar “nubuat” hamba Tuhan itu. Tentulah sang pendeta tersinggung, karena yang disebut-sebut hamba Tuhan itu adalah gereja pendeta tersebut. Rupanya sang hamba Tuhan yang berkotbah, tidak sadar bahwa di antara yang hadir itu ada sejumlah pendeta dari berbagai denominasi gereja. Usai ibadah, hamba Tuhan yang kotbah ditemui. “Kamu menyampaikan firman Tuhan kenapa seperti itu, nekad kamu menghakimi orang lain dari atas mimbar, menjelek-jelekkan gereja lain supaya kamu hebat. Dari mana kamu belajar etika berkotbah?” Perdebatan itu masih panjang, tapi kurang lebih seperti itulah inti percakapan pendeta terhadap hamba Tuhan tersebut. Ngeri juga, kalau kualitas materi kotbah hamba Tuhan seperti itu.
Selain kesaksian, ada beberapa sebutan yang sedang populer, yaitu; bertobat, lahir hidup baru, memenangkan jiwa, anak-anak Tuhan dan hamba Tuhan. Istilah ini sangat dominan mewarnai percakapan yang kadang kala sebagai “identitas” komunitas, sehingga dari sebutan itu sekaligus petunjuk bahwa kita sedang berada dalam wilayah kawanan “anak-anak Tuhan.” Bagi sebagian kelompok (gereja) istilah tersebut nyaris tidak populer, bahkan sama sekali kurang berminat menggunakannya.
Terus terang, tidak ada yang salah dari istilah itu. Istilah itu suatu bentuk ekspresi simbolik religius yang sedang bergelora. Perasaan bangga yang tak terbendung dari pengalaman rohani seseorang yang diikuti perasaan senang akan terpenuhi ketika orang lain tau bahwa dia punya pengalaman baru tentang apa yang diimaninya. Yang tidak perlu terjadi, ekspresi atau lakon rohani berlebihan, yang justru menyeret ke dalam keangkuhan rohani dan faith conceits (kesombongan iman—fistis en heautois)
Menuduh atau menghakimi orang lain dengan tergesa-gesa, suatu bentuk kesombongan iman. Umpamanya, orang lain dituduh belum bertobat, karena merokok. Orang lain belum lahir hidup baru karena tidak mau melayani. Orang lain bukan anak-anak Tuhan, karena tidak masuk persekutuan. Pendeta si Anu tidak dikuasai Roh Kudus, karena doanya tidak bisa menyembuhkan orang sakit. Gereja si A kurang rohani, karena tidak jalan persembahan persepuluhan? Gereja si B najis karena warganya pakai ulos.
Bayangkan, bila sentimen rohani seperti itu yang diangkat jadi topik kotbah di hadapan warga gereja atau di suatu KKR, betapa celakanya umat gara-gara ulah hamba Tuhan yang suka memplintir firman Tuhan sebagai topeng berbulu domba. Takutnya, yang terjadi malah bukan pencerdasan iman tetapi pembodohan dan pembusukan rohani—gemar menuduh, menjelekkan, melecehkan dan menghakimi orang lain. Pintar “mengulas” kelemahan orang lain, tapi tidak mau mengakui kekurangan sendiri.
“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Matius 7:5)

Bukan Orang Kristen?

Baharuddin Silaen


Hampir semua tulisan (opini) maupun berita yang dikirim ke redaksi majalah ini sering dijumpai pilihan kata yang tidak tepat. Bukan hanya di majalah ini, di media cetak dan media elektronik pun kesalahan serupa juga ditemukan. Memang, pilihan kata (diksi)yang tepat dalam penulisan sangat penting, supaya pembaca tidak menduga-duga atau menafsirkan sendiri makna kata tersebut. Sebaiknya harus konkrit dan jelas serta tidak bermakna ganda.
Ketepatan pilihan kata, menurut Gorys Keraf, kesanggupan kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. (Diksi dan Gaya Bahasa, hal 87)
Apa yang terbayang ketika membaca kata “orang?” Pastilah manusia, bukan hewan atau mahluk lain. Orang adalah kata ganti dari manusia. “Kamu orang apa?” Orang Batak, Jawa, Sunda, Minang, Ambon, Betawi, Bugis, Madura, Toraja. “Kamu manusia apa?” Maknanya sudah lain, sebab pilihan kata kurang pas.
Ada 10 pengertian “orang” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. Orang artinya; manusia, sesuatu manusia, diri sendiri, penolong bilangan bagi manusia, anak buah, rakyat, suku, orang lain, karena (sebenarnya) dan manusia yang mempunyai sifat (orang kaya)
Dari kesepuluh pengertian tersebut tidak satu pun yang menyinggung keyakinan, kepercayaan maupun yang berkaitan dengan agama. Itu berarti, kata orang tidak tepat dipergunakan menyebutkan agama yang dianut seseorang. Contoh; orang Kristen, orang Islam, orang Katolik, orang Budda, orang Hindu.
Kata orang yang dipakai di awal sebutan agama ini, tidak tepat dan salah kaprah. Pilihan katanya ngaur, tentu maknanya pun jadi berantakan. Yang benar adalah agama Kristen, bukan orang Kristen? Tidak ada orang Kristen. “Dia orang Batak agamanya Kristen.” Ini yang benar dan jelas.
Sedangkan untuk menjelaskan orang yang memeluk agama tersebut, disebut “umat” (jemaat) bukan “orang.” Misal, “perayaan Paskah dihadiri ribuan umat Kristen yang datang dari Jabodetabek. “Umat Kristen di dunia memperingati kematian Yesus Kritus pada Jumat Agung.” Umat beragama harus saling mengasihi. Bukan orang beragama? Bukan orang Kristiani, tetapi umat Kristiani.
Kata Kristiani, belakangan ini sering dipergunakan baik dalam tulisan maupun lisan. Kata ini dipungut secara utuh dari bahasa Inggris, Christianity—agama Kristen atau yang berhubungan dengan kekristenan.
Pilihan kata yang tidak tepat, juga dijumpai pada pemakaian kata “jemaat” dan “gereja.” Contoh, “penjelasan mengenai program tahun marturia diharapkan meningkatkan kepedulian jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini bisa diartikan ganda oleh pembaca, yaitu; warga gereja, atau gereja (gedung) itu sendiri. Soalnya, kata jemaat kadang kala diartikan dengan gereja. Inilah membuat bingung. “Resort ini punya lima jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini apakah gerejanya (gedung) atau anggota gerejanya?
Supaya jangan membingungkan, tulislah “jemaat atau warga gereja,” apabila yang dimaksud adalah warganya (ruas) Apabila yang dimaksud adalah gereja (lembaga, gedung) tulislah gereja, bukan jemaat. “Resort ini punya lima gereja,” bukan “resort ini punya lima jemaat.” Soalnya, tidak masuk akal satu resort hanya punya lima anggota jemaat (orang)
Contoh pilihan kata yang benar; “Beberapa rumah jemaat HKBP di Jakarta teredam banjir.” “Sampai saat ini surat izin membangun gereja belum diperoleh.” Ingat, bukan surat izin membangun jemaat.
Sebenarnya, dari etimologi (asal-usul) katanya pun sudah jelas perbedaan arti antara gereja dengan jemaat. Kata jemaat berasal dari kata “jama’a” (Arab) dalam bahasa Ibrani disebut qahal, assembly—Inggris, ekklesia—Yunani. Kata ekklesia sering dipergunakan dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan dengan jemaat. Dalam Kisah 7:38 diterjemahkan “sidang jemaah” (gathering) Ekklesia juga diterjemahkan “sidang rakyat” (Kisah 19: 39) Dalam Matius 16:18, ekklesia, diterjemahkan “jemaat.” Atau kumpulan orang yang dipanggil keluar (out of to call) Berdasarkan penjelasan ini, kata jemaat adalah sebutan khusus kepada warga/umat penganut suatu agama (Kristen)
Lain halnya dengan gereja, berasal dari kata igreja, Portugis, church, Inggris, kerk, Belanda, kirche, Jerman, gareja (huria) Batak. Kata ekklesia kadang diterjemahkan gereja. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, gereja adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen. Orang yang datang berkumpul ke gereja, itulah yang disebut jemaat.
Cermatlah memilih kata, agar pesan yang disampaikan dapat dipahami pembaca (pendengar) sebagaimana yang diinginkan. Kata-kata berikut ini mempunyai makna tersendiri; melihat, memandang, menatap, melirik, menengok, melongok, mengintip, jelilah memilihnya. Pilihan kata yang tepat bukan saja enak dibaca tetapi juga menjadikan kata-katanya komunikatif. Cobalah!

Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran mengenai jurnalistik, silahkan menghubungi Baharuddinsilaen @ yahoo.com

Praeses tulis huruf besar?

Baharuddin Silaen


Sewaktu sosialisasi Aturan Peraturan HKBP 2002, saya salah satu anggota dari tim yang ada di Jakarta. Tim terdiri dari delapan orang, saya paling muda di antara kami. Saya dipercayakan mengetik kembali naskah serta mengetik semua hasil diskusi dengan perbaikan di sana-sini.
Setiap diskusi, tim kami benar-benar serius membahas pasal demi pasal AP yang disampaikan panitia pusat. Percakapan kadang alot dan hangat. Pokoknya, personel tim memiliki kompetensi yang cukup baik menurut penilain saya.
Ada hal yang selalu saya ingat dari percakapan tim kami. Salah satu teman yang selalu duduk di samping saya, rajin mengingatkan supaya nama jabatan praeses yang tercantum dalam naskah ditulis dengan huruf besar. “Jangan lupa menuliskan huruf besar pada jabatan praeses. Praeses nanti marah kalau ditulis huruf kecil,” katanya waktu itu.
Terus terang tidak pernah mengomentari saran itu. Bahkan tanpa sepengetahuannya tetap saya tulis dengan huruf kecil sesuai kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kapan ditulis huruf besar dan kapan huruf kecil tentu ada aturan mainnya. Bukan mentang-mentang praeses lantas ditulis huruf besar, kapan saja dan di mana saja?
Rupanya pola pikirnya lebih tunduk kepada perasaan daripada logika berbahasa Indonesia yang benar dan baik. Sulit memang menyampaikan fakta ketika perasaan dipergunakan sebagai patokan kebenaran. Padahal, antara perasaan dan logika kerap berseberangan, ibarat langit dengan bumi. Apa menurut logika benar, belum tentu “enak” dalam perasaan. Celakanya, kalau perasaan yang selalu mendahului logika di situlah sering terjadi kesimpulan yang mengada-ada. Ia berasumsi praeses marah kalau nama jabatannya ditulis dengan huruf kecil. Tidak logis? Makanya, mengukur perasaan itu ruwetnya bukan main?
Padahal persoalannya cukup sederhana dan tidak perlu pusing kalau mau berpatokan kepada “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.” Dalam pedoman tersebut jelas diuraikan, pemakaian huruf besar dipergunakan sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan dan keagamaan yang diikuti nama orang. Misal; Nabi Ibrahim, Haji Nurdin, Pendeta Lambe, Praeses Sangap Ginting.
Apabila tidak diikuti nama orang, harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Sudah tiga tahun ia menjadi pendeta. Tahun lalu dia diangkat jadi praeses. Belum lama pangkatnya naik jadi jenderal. Foto calon gubernur dipajang sepanjang jalan.
Semua jabatan di bawah ini harus ditulis dengan huruf kecil, kalau tidak diikuti nama orang. Misal; ephorus, sekretaris jenderal, praeses, pendeta, guru huria, sintua, evangelis, diakones, bibelvrouw. Jabatan apa pun jikalau tidak diikuti nama yang bersangkutan maupun nama instansi jangan ragu menuliskannya dengan huruf kecil.
Lantas, kapan saja huruf besar dipakai? Huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi atau nama tempat. Misal; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sumatera Utara, Ephorus HKBP, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Kapolri Jenderal Sutanto. Rektor Universitas HKBP Nommensen. Kepala Dewan Diakonia HKBP Pdt Nelson F Siregar.
Kalau tidak diikuti nama orang, nama instansi atau nama tempat harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Direncanakan presiden akan ke Bali. Masyarakat menyambut kunjungan gubernur. Para petani sudah lama menunggu janji menteri. Tahun ini HKBP melaksanakan pemilihan ephorus. Inilah yang logis, baik dan benar sesuai pedoman yang berlaku di seluruh penjuru Indonesia.
Ketika membaca AP-HKBP yang berlaku 2004 itu, terngiang kembali apa yang pernah diucapkan teman satu tim, “jabatan praeses ditulis huruf besar” kendatipun tidak pada tempatnya. Wah, ini namanya penulisan berdasarkan selera dan perasaan? Setelah sadar, saya berkomentar pada diri sendiri, rupanya pedoman bahasa Indonesia tidak berlaku dalam penulisan AP-HKBP?

Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah Bahasa Jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkah menghubungi email: Baharuddinsilaen@ Yahoo.Com.

Mengejar ketinggalan sampai kiamat

Baharuddin Silaen

Menurut kaidah bahasa, kalimat ialah gabungan kata yang mengandung arti. Terdiri dari pokok kalimat, sebutan dan keterangan. Atau boleh juga disebutkan, kalimat ialah huruf, kata, gabungan beberapa kata, teratur, dilengkapi tanda baca dan mengandung pernyataan lengkap. Kurang lebih seperti itulah defenisinya.
Persoalannya, apakah kalimat yang teratur dan benar menurut kaidah bahasa otomatis logis? Belum tentu? Coba perhatikan kebiasaan warga Jakarta ketika mau turun dari bis atau angkot, dibilang “kiri” untuk stop. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, kiri adalah lawan kanan. Tidak ada disebutkan kiri artinya stop atau berhenti. Hanya bagi warga Jakarta “kiri” artinya stop. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama malah dianggap benar, tetapi tidak logis dan masuk akal.
Kesalahan serupa dijumpai juga dalam tulisan di media cetak maupun dalam percakapan resmi. Susunan kalimat sudah benar, baik bahkan enak dibaca tapi tidak logis. Memang, tidak gampang mengetahui apakah kalimat itu logis atau tidak? Soalnya, ketika dibaca tidak ada yang mengganggu, lancar dan mengalir begitu saja.
Seperti apakah kalimat yang tidak logis itu? Tidak logis artinya tidak masuk akal? Contoh kalimat tidak logis. “Pendeta resort yang kami hormati, kami undang ke depan untuk memberikan kata sambutan, waktu dan tempa kami persilahkan.” Di mana letak ketidaklogisan kalimat ini? Yang diminta memberikan sambutan adalah pendeta resort, tetapi yang dipersilahkan “waktu” dan “tempat.” Tidak logis! Memangnya waktu dan tempat bisa memberi kata sambutan? Tidak mungkin. Yang benar dan logis ialah, “pendeta resort yang terhormat kami undang untuk memberi kata sambutan.” Mengapa harus mempersilahkan waktu dan tempat?
Tapi jangan kaget, cobalah perhatikan baik-baik ketika mengikuti acara resmi apakah itu di kantor atau di gereja, saat kata sambutan, protokol sering melakukan kesalahan seperti itu?
Cotoh lain yang tidak logis. “Mari kita berlomba mengejar ketinggalan di bidang teknologi pada masa lampau.” Letak tidak logisnya di mana? Mengejar ketinggalan pada masa lampau. Bagaimana mungkin mengejar ketinggalan di masa lampau. Tidak mungkin ketemu. Sebab, mengejar pastilah ke depan, sedangkan ketinggalan di masa lampau sudah jelas posisinya jauh di belakang. Sudah pasti tidak ketemu, sampai kiamat pun tidak bakal ketemu. Sebaiknya, kalimat itu ditulis seperti ini, “kita harus berupaya dan kerja keras supaya kita jangan ketinggalan di bidang teknologi seperti di masa lampau.”
Berikut ini contoh kalimat yang tidak logis yang dimuat di media cetak. “Aktor Sophan Sophian meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Apa benar bisa seseorang meninggal karena dalam perjalanan menuju rumah sakit? Sangat tidak masuk akal. Yang benar, Sophan Sophian meninggal akibat kecelakaan, jatuh dari motor.yang dikendarainya. Kemudian dibawa ke rumah sakit, tapi dalam perjalanan menuju rumah sakit nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ini fakta di lapangan.
Ada lagi kalimat yang tidak logis, bahkan sering tidak disadari kesalahan tersebut. “Dia menghubungi aku kemarin dengan telepon” Kalimat ini benar dan baik, tidak ada yang mengganggu, lancar dan teratur. Tapi jangan terkecoh, ada yang tidak logis dalam kalimat ini. Pemakaian kata “dengan” dalam kalimat ini tidak logis. Menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia kata “dengan” artinya; beserta, bersama-sama, keselaran, kesesuaian. Coba ganti dengan kata sinonimnya, kalimat itu bunyinya, “dia menghubungi aku kemarin bersama telepon.”
Kata yang tepat adalah “melalui” atau lewat telepon bukan “dengan” telepon. Makna kata melalui dalam kalimat ini ialah jalan yang ditempuh atau yang digunakan. Dalam ilmu komunikasi disebut media (perantara) Media (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Supaya pesan itu sampai kepada orang lain (receiver) digunakanlah media. Saluran yang dilalui/dilewati pesan tersebut, itulah yang disebut media. Media itu bermacam-macam; telepon, radio, surat kabar, televisi, film, vcd, vd, cassette, buku, spanduk, poster dan handphone
Gunakanlah media sesuai kebutuhan agar pesan sampai kepada tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Penulis, pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@ yahoo.com.

HKBP pada kilometer 2008

Baharuddin Silaen

Tersebutlah Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar orang pertama dari orang Batak yang masuk Kristen. Mereka berdua dibabtis Pdt van Asselt, 147 tahun silam, tepatnya 31 Maret 1861, di Sipirok. Pdt van Asselt kala itu ditugaskan ke Tapanuli Selatan atas referensi Pdt Witteven dari Ermelo, Holland.
Sayang, tidak banyak dokumen yang mencatat profil Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Bagaimana awalnya mereka tertarik masuk Kristen. Catatan mengenai mereka berdua sangat minim, bahkan boleh dikatakan nyaris tidak ada. Kendati demikian, pada mulanya dari dua orang Batak yang bersedia menjadi pengikut Kristus, kini berlimpah menjadi lima juta jiwa setelah 147 tahun tonggak kekristenan ditancapkan di Tanah Batak yang sekaligus cikal bakal lahirnya HKBP.
Tentulah berkat Tuhan yang harus disyukuri, dari dua orang menjadi lima juta jiwa, bukanlah jumlah yang sedikit bagi suatu komunitas keagamaan seperti HKBP. Ditambah resort yang tersebar di mana-mana, meliputi 2619 resort, terdiri atas 26 distrik dilayani sekitar 1300 pendeta bergelar S1, S2 dan S3, lulusan dalam dan luar negeri. Gerejanya ada di Singapura, Malaysia, Denver, California dan New York—Amerika Serikat. Ini pulalah mengangkat popularitas HKBP sampai ke tingkat dunia dan bahkan disebut-sebut gereja terbesar di Asia Tenggara. Gereja ini pun dijuluki “HKBP na Bolon i.” Bukan hanya itu predikat yang disandangnya, Pdt Justin Sihombing pun dengan bangga menobatkan “HKBP do HKBP.”
Adakah yang salah dari julukan itu? Tidak! Bukan pula sikap angkuh atau “besar kepala” yang menonjol dari balik sebutan itu. Kalaupun disebut HKBP na Bolon i, maupun HKBP gereja terbesar di Asia Tenggara dan HKBP do HKBP, memang itu adalah fakta, bukan berita fiktif yang dikarang-karang. Memang besar dan pihak lain pun mengakui, HKBP itu besar.
Hanya saja, seperti pernah dilontarkan Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu, HKBP memang besar (bolon) tapi “kaki” dan “tangannya” pendek, sehingga tidak mampu menjangkau semua lini pelayanan. Ini pun betul dan benar sekali.
Karena itu, memahami HKBP dengan atribut-atribut yang disandang, haruslah dengan rasional, bukan emosional. Dengan berpikir rasional dan positif, prasangka buruk dapat ditepis dari sebutan HKBP na bolon i, sehingga nama besar yang melekat bukan sebatas basa-basi atau semboyan kosong, tetapi lebih dari itu. Saoalnya, nama besar yang dianugerahkan kepada HKBP adalah juga sebagai bukti kemampuan gereja ini menerima perbedaan pendapat, entah itu komentar ataupun kritikan yang menyakitkan. Kalau HKBP merasa dirinya besar (memang besar) itu artinya tidak langsung lunglai ketika dikritik, atau linglung ketika terjadi beda pendapat. Tetapi justru sebaliknya, tangguh menghadapi dinamika yang berkembang, itulah karakter yang menonjol dari suatu gereja besar seperti HKBP. Betul, tidak gampang mempertahankan nama besar, apalagi memelihara dan melestarikannya. Nama besar bisa sirna, apalagi kalau tidak ditopang sumber daya manusia yang kuat dan berakhlak mulia.
Lalu, bagaimana dengan sebutan “HKBP do HKBP?” Sama dengan sebutan lain, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam hal ini, apalagi kalau dipahami dengan positif, bukan dengan sinis, yakinlah tidak ada makna miring dalam hal ini. Kendatipun sampai saat ini perdebatan seputar identitas belum tuntas dibicarakan. Apakah HKBP menganut sinodal, presbiterial atau episkopal? Tapi jangan silap, apabila disebutkan HKBP do HKBP justru yang tertangkap adalah unsur mempertahankan identitas atau jati diri. Apalah artinya nama besar, tetapi tidak punya jati diri? Apa artinya gereja besar jemaatnya berjubel, tapi tidak punya ciri khas. Itu sama dengan gereja abal-abal.
Perlu diketahui, ciri khas suatu gereja adalah juga membedakannya dengan gereja lain. HKBP do HKBP adalah menunjukkan ciri khas, identitas yang tidak dimiliki gereja lain. Artinya, hanya di HKBP-lah “keunikan” itu dijumpai. Apa yang dimiliki HKBP belum tentu dimiliki gereja lain, atau sebaliknya. Keunikan itulah membuat warga HKBP menyatu dengan gerejanya. Ia menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian membentuk suatu pengalaman rohani umatnya. Justru kekhasan itulah membawa HKBP tetap kokoh berdampingan dengan gereja lain hingga di usianya yang ke-147 tahun. Bahkan ke depan harus menjadi suri teladan terhadap gereja lain.
Sekali lagi, tidak ada kesan negatif kalau dikatakan HKBP do HKBP. Bukan pula identik dengan sikap menutup diri terhadap dunia luar. HKBP do HKBP tidaklah pantas diterjemahkan sebagai tanda kesombongan, tidak peduli, kaku memahami tuntutan dunia sekitar.
Perlu diingat, gereja ini acap dituding kurang terbuka, kaku, monoton dan tidak dinamis, termasuk kotbah pendeta tidak menarik sehingga jemaat pindah gereja dan meninggalkan HKBP. Betul dan harus diakui ada warga yang pindah, namun hingga saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan korelasi perpindahan warga jemaat dengan sikap HKBP yang monoton dan kaku tersebut. Harap diketahui, persentasi penyebab perpindahan jemaat HKBP ke gereja lain belum pernah diukur melalui data-data di lapangan hingga saat ini. Sayang, sudah terlanjur beredar informasi sepihak dan malah diyakini pula warga HKBP pindah gereja gara-gara pelayanan maupun liturgi monoton, kaku dan tidak bergairah. Apakah betul hal itu penyebabnya? Barangkali HKBP sudah harus segera melakukan survei tentang kontraversi tersebut dan mengumumkan hasilnya secara terbuka kepada publik.
Sebab itu, jangan tergesa-gesa merubah tata ibadah yang sudah ratusan tahun berakar dan bertubuh dalam tubuh HKBP hanya untuk memenuhi nikmat sesaat. Jangan pula hanya untuk kesenagan orang tertentu fundasi yang sudah kukuh luluh-lantak dan dikorbakan. Banyak suara, entah itu dari jemaat, majelis dan pendeta mengatakan supaya liturgi HKBP diganti dan disesuaikan dengan selera warga masa kini. Sangatlah naif, menempuh jalan dengan merubah tata ibadah hanya untuk menjaga warga jangan pindah gereja. Kekhawatiran itu sangat mengada-ada, tidak masuk akal bahkan emosional. Ingat, tidak jaminan, liturgi suatu gereja membuat warganya betah dan tidak mau pindah gereja. Sehebat apa pun tata ibadah tidak jaminan bahwa warganya tidak akan pindah ke gereja lain. Terlepas, apakah gereja tersebut ikut ibadah aliran klasik, pop, hura-hura dan ibadah aliran alternatif.Yang penting, jangan sampai ada ibadah, tetapi Tuhan tidak hadir di sana (Menghindari Ibadah Tanpa Tuhan, Suara HKBP, Juli 2008)
Kembali ke HKBP. Oktober mendatang gereja ini berumur 147 tahun. Selama itu pula gereja ini tidak henti-hentinya menorehkan pelbagai pengalaman bergereja, bermasyarakat dan berbangsa serta secara terus-menerus membina warganya sebagai umat Tuhan yang cinta damai, bermoral, memiliki akal budi yang luhur dan pengharapan yang abadi.
Ibarat suatu perjalanan, HKBP saat ini berada pada kilometer 2008. Rute perjalanan yang amat melelahkan, berliku, mendaki, menurun dan berkelok-kelok namun dapat ditempuh dengan selamat selama 147 tahun. Badai dan angin kencang tak luput mengiringi perjalanan gereja ini dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali kemelut yang berkepanjangan pernah melilit gereja ini. Namun HKBP tetap HKBP, berdiri kokoh mengibarkan panji kebesaran Tuhan dan mengumandangkan hari kemenangan Tuhan di dunia ini. Puji Tuhan!
Setelah berada pada kilometer 2008, apa yang harus dilakukan HKBP? Ibarat mobil, perlu dicek mesin serta semua indikator. Siapa tau sudah ada yang harus diganti. Apalagi perjalanan masih jauh. Perlu persiapan matang. Selain berdoa juga dibutuhkan kerja keras. Sebab medan perjalanan HKBP ke depan tidak selalu mulus, rintangan pun diperkiran cukup banyak. Sebab itu berhentilah sejenak pada kilometer 2008 untuk menyatukan pendapat yang simpang-siur agar rintangan yang menghadang dapat dilalui dengan selamat. Berhentilah dan mengaso menjernihkan pikiran di kilometer ini untuk mempersiapkan siapa yang memimpin perjalanan selanjutnya?
Siapa pun yang memimpin HKBP ke depan sangat dibutuhkan pribadi yang arif dan konsisten terhadap jati diri HKBP. Apalagi pada era teknologi komunikasi yang canggih seperti sekarang ini, mampu merubah gaya hidup dalam tempo singkat. Pada saat bersamaan itulah sangat penting jati diri dilindungi dan dijaga, jangan sampai tercabut dari akarnya. Hal itu dapat terwujud melalui sentuhan tangan seorang pemimpin yang memahami perangkat tugas pelayanan seperti Confessi, Aturan dan Peraturan, Agenda HKBP secara benar dan baik. Kita tunggu hasilnya!

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan semua isinya tanggung jawab penulis. Email: baharuddinsilaen@yahoo.com