Sabtu, 02 Agustus 2008

Mepertanggungjawabkan tanggung jawab

Penulisan kata gabung di beberapa media cetak masih sering dijumpai kesalahan, seharusnya digabung malah dipisah dan semestinya dipisah malah digabung. Sebetulnya, dalam buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” cukup jelas diuraikan cara penulisan kata gabung tersebut. Kesalahan seperti itu dapat dimaklumi. Pasalnya, belum tentu pemakai bahasa menguasai pedoman umum ejaan baru tersebut atau jangan-jangan melihat bukunya pun belum pernah?
Harap diingat, kata gabung harus ditulis terpisah sebagai dua kata. Demikian pula kata gabung yang diberi awalan atau akhiran dituliskan terpisah sebagai dua patah kata, tetapi apabila kata gabung itu diapit oleh awalan dan akhiran sekaligus, maka kata gabung itu dituliskan serangkai.
Contoh kata gabung yang dipisah; tanggung jawab, bertanggung jawab—hanya mendapat awalan. Tetapi kalau kata gabung tersebut (tanggung jawab) diapit oleh awalan dan akhiran, maka harus ditulis serangkai—mempertanggungjawabkan, dipertanggungjawabkan, pertanggungjawaban.
Contoh lain; beri tahu, diberi tahu, beri tahukan. Apabila mendapat awalan dan akhiran harus ditulis padu—memberitahukan, diberitahukan, pemberitahuan.
“Jangan beri tahu dia sebelum persoalannya jelas.” “Pemerintah memberitahukan kenaikana harga BBM sebulan lalu.” “Saya mendukung permintaan Gus Dur agar pimpinan PKB mepertanggungjwabkan seluruh dana yang diterima,” kata Hetty Koes Endang.
Ada gabungan kata, lazim disebut kata majemuk yang harus ditulis terpisah. Misal; duta besar, meja tulis, orang tua, kambing hitam, mata pelajaran, rumah sakit umum, kereta api cepat luar biasa.
“Jangan cari “kambing hitam” dalam persoalan itu?” “Tidak tepat “mengambinghitamkan” kemiskinan pemicu kejahatan.” Para orang tua murid memorotes kenaikan harga buku. Rumah sakit umum di kota itu memiliki dokter spesialis anak.
Gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata harus ditulis serangkai atau padu. Misal; bismilah, barangkali, padahal, daripada, kepada, apabila, bilamana, bagaimana, manakala, matahari, bumiputra, syahbandar, peribahasa, belasungkawa, olahraga, sediakala, segitiga, sekalipun, meskipun, walaupun, sukacita, sukarela, sukaria, saputangan, saripati, dukacita, darmawisata, kacamata, kasatmata, acapkali, adakalanya.
Ada juga unsur bahasa berkombinasi dengan unsur lain, ini pun harus ditulis padu. Misal; amoral, antarkota, caturtunggal, mahasiswa, prasangka, nonkolaborasi, poligami, semiprofesional, swadaya, ultramodern, biokimia, infrastruktur, inkonvensional, mancanegara, swadaya, telepon, panteisme, narapidana, tritunggal, multilateral.
Inilah penulisan kata “antar” yang benar. “Sopir bis antarkota sudah tiga hari mogok.” “Belum lama ini terjadi tawuran antarpelajar.” Kata antar dengan kata yang mengikutinya harus ditulis padu. Tetapi, hati-hati dengan penulisan kata “antara.” “Jarak antara kota dengan desa sekitar lima kilometer.” Kata antara dituliskan terpisah dengan kata di depannya.
Apabila kata yang dilekatinya itu berhuruf awal kapital, maka diberi garis tanda hubung—non-Indonesia, non-Kristen.
Selain penulisan yang salah, sering juga dijumpai pelafalan kata yang salah. Misal; TV (televisi), dibaca “tivi.” Seharusnya “teve” sesuai lafal huruf ‘t” dieja “te” bukan “ti,” begitu juga huruf ‘v’ dieja “ve” bukan “vi.” Mana ada “tilivisi” yang benar adalah “televisi.”
Kesalahan serupa terjadi pada pelafalan “apotek,” sering disebutkan “apotik.” Padahal tidak ada kata “apotiker” yang betul adalah “apoteker.” Dari sinilah asal kata apotek—rumah obat (tempat menjual obat-obatan) apoteker—ahli obat
Demikian juga Indonesia, dilafalkan “Endonesia.” Cobalah simak saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan, “Endonesia Raya” bukan Indonesia Raya. Huruf ‘i’ dilafalkan menjadi ‘e.’ Kenapa huruf ‘i’ bunyinya menjadi ‘e’? Peraturan itu dari mana dan siapa yang memulai kesalahan itu? Lalu bagaimana menyebutkan “Indosat, Indomie, India, indah, induk, injak, apakah juga dilafalkan dengan ‘e,’ “Endosat,” “Endomie,” “Endia,” “endah,” “enduk,” “enjak.”
Ada-ada aja. Bukan main seronoknya bahasa kita.

Baharuddin Silaen, pengajar di Fisipol UKI, Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang tertarik dengan jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@yahoo.com.