Minggu, 25 Oktober 2009

Jangan Bawa Marga Suami

Pada edisi sebelumnya sudah pernah dibahas di majalah ini cara penulisan gelar, nama dan marga yang benar dalam media massa cetak. Namun tulisan (berita) yang dikirim ke Suara HKBP pada umumnya belum mengindahkan norma-norma penulisan yang benar berdasarkan kaidah jurnalistik yang berlaku. Sedihnya, kesalahan bukan saja dilakukan penulis pemula, tapi penulis yang sudah berpengalaman pun melakukan hal serupa. Tapi sejauh ini masih dapat dimaklumi, siapa tau memang belum pernah membacanya atau boleh jadi tidak tau sama sekali caranya seperti itu.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menulis identitas (nama dan marga) seseorang. Pertama, jangan merasa bersala kalau tidak menuliskan marga suami dari narasumber yang Anda tulis. Kedua, harus dimengerti—menulis berita untuk surat kabar dan majalah berbeda dengan menulis surat biasa. Menulis berita, ada aturan main yang sudah baku. Misalnya, tidak perlu menulis marga suami dari narasumber apabila tidak ada peranan langsung saat kejadian itu terjadi.
Kesalahan seperti inilah yang masih terus dijumpai dalam tulisan dan berita yang dikirim ke Suara HKBP. Penyelaras bahasa (editor) bukan saja jengkel tapi juga bingung saat mengoreksi tulisan tersebut. Sulit membedakan, manakah di antara nama dan marga yang ditulis yang berkompeten? Suamikah atau istri?
Contoh; “Ny Dermawan Siringoringo SH br Nainggolan mengatakan dalam sambutannya, hendaklah para orang tua menjadi teladan dalam rumah tangga.”
Coba simak, siapakah sebenarnya yang mengatakan pernyataan ini? Dermawan Siringoringo atau Boru Nainggolan? Kalau yang dimaksud adalah Boru Nainggolan, kenapa marga suaminya dibawa-bawa? Apa fungsi Dermawan Siringoringo dalam berita itu? Apakah karena sebagai suami dari Boru Nainggolan, atau supaya orang lain tau bahwa Boru Nainggolan sudah berkeluarga (Ompu si A) bukan anak gadis lagi? Atau supaya hormat dan sopan kepada suami? Atau ada keharusan mencantumkan marga suami di depan marga istri?
Menurut kalimat dalam tulisan ini yang berkompeten adalah Boru Nainggolan, tapi yang menonjol justru Dermawan Siringoringo. Inilah yang bikin bingung.
Kemudian, supaya jangan keliru, tulislah siapa nama Boru Nainggolan, tidak cukup hanya marganya. Boru Nainggolan kan banyak. Tapi siapa namanya? Pasti ada nama, tidak mungkin tidak ada namanya. Terlepas apakah namanya disingkat (R) atau utuh (Rustiana) Penulis berita itulah yang menanyakan nama yang memberikan sambutan itu. Tulislah nama Boru Nainggolan, sebab dialah yang terlibat langsung (berperan) pada saat kejadian itu, bukan suaminya. Jangan-jangan suaminya Dermawan Siringoringo malah tidak hadir ketika istrinya Boru Nainggolan memberikan sambutan. Anehnya, marga suami dibawa-bawa dalam berita.
Lalu, tulislah seperti ini, “Rustiana Boru Nainggolan, mengatakan dalam sambutannya, hendaklah para orang tua menjadi teladan dalam rumah tangga.” Inilah penulisan yang benar. Jelas, akurat dan tepat. Apa susahnya menulis seperti itu? Sopan? Sangat sopan! Dijamin tidak ada yang salah dalam penulisan tersebut.
Meskipun tidak dicantumkan nama dan marga suaminya bukan berarti Rustiana Nainggolan statusnya masih anak gadis. Harap diketahui, pencantuman marga suami dalam berita bukan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan sudah bersuami. Penulisan marga suami tidak ada sangkut pautnya dengan status seseorang apakah sudah punya suami atau tidak.
Persoalan, kenapa kalau marga suami yang ditulis tidak pernah disertakan marga istri? Apakah lantaran dia suami, kepala keluarga, lebih hebat dari istri, sehingga tidak perlu dicantumkan nama istri?
Lihat contoh; “Barita Sidauruk MBA, terpilih kembali menjadi camat periode 2009-2013.” Mengapa nama istrinya tidak dicantumkan? Mengapa kalau istri harus disertakan marga suami? Dapatkah kita pastikan Barita Sidauruk MBA masih status lajang, hanya karena marga istrinya tidak disebutkan?
Contoh lain yang salah; “Ny Bosar Rumahorbo br Harahap terpilih menjadi Ketua Punguan Parompuan se-Kota Medan.” Lucu, Boru Harahap yang terpilih menjadi ketua punguan parompuan, tapi nama suaminya Bosar Rumahorbo yang ditulis di depan nama istri. Padahal tidak ada sangkut paut Bosar Rumahorbo dengan jabatan Ketua Punguan Parompuan se-Kota Medan. Ketua Punguan Parompuan adalah Boru Harahap, kenapa nama dan marga suaminya dibawa-bawa?
Sangat baik, apabila dicantumkan nama lengkap dari sumber berita. Jangan hanya marga, sebab marga tidak mewakili identitas diri seseorang. Contoh; Hotnida Boru Siahaan. Boru harus ditulis dengan huruf besar, jangan disingkat (br) sebab boru adalah bagian dari identitas seseorang.
Sekali lagi, tulislah nama dan marga yang terlibat pada saat kejadian itu berlangsung. Hindari penulisan bapak, ibu, nyonya, tuan, beliau, yang dipertuan agung, paduka yang mulia. Sebab, bahasa yang digunakan pers adalah bahasa jurnalistik yang menjujung tinggi sikap netral.
Pers melihat status semua orang sama tidak ada yang distimewakan. Entah apa pun pangkat dan jabatannya, yang jelas di hadapan pers semua sama!

Baharuddin Silaen, pengajar di Fisipol UKI, Jakarta mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik.
Satu Menit di Ranah Minang

Baharuddin Silaen

Lindu berkekuatan 7,6 skala Richter menggoyang ranah Minang. Ribuan rumah dan gedung luluh-lantak, ratusan orang dilaporkan hilang serta ratusan korban terkubur ditindih puing-puing bangunan. Hanya dalam tempo satu menit bumi menggeliat, kota-kota di pinggir pantai selatan Sumatera Barat porak-poranda diterjang gempa tektonik. Tidak satu pun penduduk Padang yang mengetahui datangnya gempa dan memang sampai kapan pun tidak akan pernah orang tau kapan waktunya gempa datang. Hingga saat ini, alam masih merahasikan waktu dan kekuatan gempa. Para ahli pun hanya bisa membuat perkiraan ilmiah waktu gempa ulangan dengan periodisasi 100 tahun dengan plus-minus 20 tahun.
Menurut teori benua terapung—bumi ini sebenarnya tidak diam, tapi bergerak dan kadang menggeliat. Ada kalanya gerakan itu tidak terasa karena skalanya kecil. Hanya pada alat pencatat gempa bumi (seismograph) gerakan-gerakan kecil seperti itu terekam.
Bahkan gempa bisa melanda daerah mana saja di negeri ini. Contoh, gempa yang mengguncang Tasikmalaya belum sepenuhnya ditanggulangi, sudah datang lagi menerjang Padang dan Pariaman. Lalu di kawasan mana lagi gempa akan menggeliat? Tinggal menunggu waktu. Memang, secara geologis, Indonesia terletak di antara pertemuan tektonik lempeng Eurasia, lempeng Australia, lempeng Pasafik dan lempeng Oseanik Filipina. Karakter lempeng tersebut tidak pernah diam tapi bergerak terus bahkan bisa bertuburukan. Gempa Sumatera-Andaman, 2004, yang diikuti tsunami di Aceh serta pantai-pantai selatan Asia. Gempa Mentawi-Bengkulu 2007 adalah akibat pergerakan lempeng-lempeng itu. Secara teoritis hanya Kalimantan yang relatif aman dari serangan gempa.
Sudah sejak lama diketahui bahwa kawasan Indonesia berpontensi gempa sebab diapit sabuk gempa yang membentang dari ujung Sumatera hingga berujung di lautan dekat Ujung Kulon—pertemuan dua lempeng besar Indo-Austalia dan Eurasia. Bahkan pada peta gempa yang dibikin lembaga asing, pemerintah dan peneliti gempa, sengaja dikasi tanda warna merah membara di wilayah barat Sumatera. Tanda ini sekaligus sebagai rambu-rambu rawan gempa yang harus tetap diwaspadai.
Apakah kita hanya pasrah menerima takdir, bahwa negeri ini berada pada arus lalu-lintas gempa paling sibuk di belahan bumi ini? Tentulah tidak! Banyak hal yang dapat dilakukan. Seperti menjelaskan kepada masyarakat tentang jalur gempa yang tidak layak dijadikan tempat pemukiman. Harus dijelaskan dengan bijak, tempat itu sangat berbahaya karena dilalui sabuk gempa. Upaya lain, memindahkan penduduk yang terlanjur bermukim di wilayah rawan gempa ke daerah yang lebih aman.
Kalaupun sulit memindahkan penduduk, langkah lain adalah memberi contoh bangunan tahan gempa. Seperti rumah tahan gempa yang dibangun Java Reconstruction Fund (JRF) di Bantul dan Klaten. Paling tidak bangunan yang memperkecil resiko. Misalnya bahannya dominan dari kayu. Beban berat sebaiknya dikurangi, apalagi kalau hanya hiasan interior atau eksterior.
Bukan hanya itu, pendidikan mengenai gempa adalah sangat perlu di sekolah-sekolah. Selain biaya murah juga sangat efektif seluk-beluk gempa diajarkan di sekolah. Jangan hanya berlomba pintar matematika, tapi bencana gempa yang mengintai di sekitarnya tidak pernah digubris. Sekolah-sekolah yang berada pada lempeng-lempeng gempa, hendaknya pelajaran geologi (gempa) dimasukkan dalam kurikulum sekolah, seperti yang dilakukan Jepang. Pembelajaran seperti ini sangat penting dalam upaya mitigasi bencana di kemudian hari. Daripada membeli alat-alat mahal belum tentu efektif, lebih baik investasi pada pendidikan. Pengaruhnya sangat bermanfaat bagai masyarakat.
Penting juga sosialisasi cara menyelamatkan diri dari berbagai jenis bencana: banjir, gunung meletus, gempa bumi dan tsunami. Pencegahan kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih besar perlu dilakukan. Misalnya, izin mendirikan bangunan sudah harus memasukkan faktor keselamatan bangunan dari bencana gempa sebagai salah satu syarat. Gedung bertingkat serta fasilatas umum dan sosial perlu dikenai syarat ini. Kejadian dari Padang kita bisa belajar—banyak korban tewas di tempat umum seperti rumah sakit dan sekolah.
Dibutuhkan juga cadangan alokasi dari anggaran negara untuk penanganan bencana. Termasuk sukarelawan yang terlatih dan terampil menangani bencana—menyelamatkan korban di bawah reruntuhan gedung. Semua itu perlu dan sangat dibutuhkan—mengingat negeri ini rentan terhadap bencana alam—sebab itu jauh-jauh hari harus betul-betul dipersiapkan dengan mengikuti prosedur yang benar, tenaga terlatih yang didukung peralatan penyelamatan modern.
Kita bangga, setiap terjadi bencana melanda negeri ini, masyarakat saling bahu membahu dan berlomba memberikan sumbangan kepada korban. Semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama masih kokoh berdiri menopang kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika tsunami melanda Aceh, gempa Yogyakarta, Tasikmalaya dan daerah lain yang terkena bencana alam, masyarakat saling bahu-membahu, ini adalah suatu bukti bahwa bangsa kita masih tinggi jiwa sosialnya.
Peduli sesama perlu terus dipelihara bukan saja ketika terjadi bencana, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hendaknya mewarnai kehidupan kita.
Oh, Malaysia

Baharuddin Silaen

Belakangan ini kebencian warga Indonesia terhadap negara jiran Malaysia terus memanas. Pasalnya, mereka tidak terima sikap Malaysia yang mencaplok karya anak bangsa, bahkan memanfaatkan produk budaya Indonesia demi kepentingan parawisata. Gara-gara ulah itu, caci maki pun berhamburan yang diikuti pembakaran bedera Malaysia. Luapan kekecewaan tidak berhenti sampai di situ, tapi masih terus berlanjut hingga merazia warga Malaysia.
Dapat dimaklumi, sikap Malaysia mungkin mengecewakan sebagian masyarakat Indonesia. Ulah negara tetangga ini sudah tidak ketulungan, menzalimi produk budaya Indonesia, termasuk “menyatroni” batik, lagu “Rasa Sayang,” reog Ponorogo dan tari Pendet dari Bali. Tetapi, kuranglah tepat apabila rasa jengkel itu dilampiaskan dengan melakukan razia tehadap warga Malaysia. Apalagi kejadian itu tidak lepas dari keteledoran kita selama ini. Maklum, kita tidak pernah serius melindungi seni budaya bangsa. Kita terlalu santai, seolah-olah tidak akan pernah terjadi apa-apa. Begitu ada yang mengklaim produk budaya kita hasil karya Malaysia, barulah kita kalang kabut dan saling menyalahkan.
Baik direnungkan, aksi yang dilakukan seperti Benteng Demokrasi Rakyat di Jakarta, merazia warga Malaysia hanya memperparah hubungan Indonesia dengan Malaysia. Dampaknya, ketertiban umum terganggu bahkan bangsa ini akan dituding kurang beradab. Bangsa yang terkenal ramah dan beradab ini boleh jadi mendadak kurang populer di mata dunia, lantaran menyelesaikan persolan terkesan berlebihan (overacting)
Sebab itu, pemerintah harus bersikap tegas terhadap kelompok yang bertopeng nasionalisme tapi justru keluar dari koridor peraturan yang berlaku. Razia jelas melanggar ketertiban, soalnya warga negara Malaysia yang tinggal di Indonesia dilindungi oleh hukum. Mereka datang ke negeri ini tentu seizin pemerintah Indonesia. Tidak boleh tidak, keselamatan mereka pun harus dijamin pemerintah.
Bayangkan, kalau terjadi aksi balas dendam terhadap pekerja Indonesia di Malaysia. Harap diingat, ada 1,8 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri itu. Apakah mereka tidak cemas jika warga Malaysia membalasnya dengan perlakuan serupa?
Sangat disayangkan, aksi yang tidak pantas terus-terusan kita pamerkan kepada dunia setiap menyelesaikan masalah. Bukan hanya Benteng Demokrasi Rakyat yang demo, mahasiswa pun tidak mau ketinggalan. Lihat saja misalnya, demontrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Mereka meminta mahasiswa Malaysia keluar dari kampus.
Jangan dianggap aksi itu tidak berbahaya. Dunia pendidikan akan terkena imbas, mahasiswa asing jadi takut kuliah di negeri ini. Begitu pula ekses lain akan terasa pada dunia parawisata. Terus terang, kejadian ini menjadi preseden buruk bagi dunia pariwisata yang tengah dibenahi pemerintah saat ini. Parawisata kita yang sempat ditinggalkan wisata asing, sedang dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia setelah bangsa ini beberapa kali dirundung tragedi yang mengerikan termasuk bom Juli di Hotel Marriott, Jakarta.
Banyak cara yang santun dan beradab bisa dilakukan terhadap Malaysia yang mengaku produk seni budaya kita milik mereka. Tidak musti merazia, masih tersedia jalur lain yang bisa ditempuh. Jangan dianggap menolak razia terhadap warga Malaysia tidak nasinalistik. Bukan pula, kita rela produk budaya kita “diembat” pihak lain. Kita memang kecewa, tapi rasa kecewa itu bisa disalurkan dengan berbagai upaya seperti merawat dan melindungi seni budaya Indonesia. Bahkan untuk menyelesaikan sengketa budaya sudah ada wadah yaitu Eminent Person Group, dibentuk atas persetujuan Indonesia dan Malaysia.
Tentulah sikap pemerintah memperjuangkan karya budaya seni bangsa melalui forum maupun lembaga internasional sangat penting, sehingga karya budaya tradisional mendapat perlindungan hak cipta. Hal ini sekaligus mencegah negara atau pihak lain tidak sewenang-wenang memanfaatkannya demi kepentingan mereka.
Tidak musti merazia bukan?
Jumat Hitam 17 Juli

Bom itu tidak saja mengejutkan, tapi membuat kita marah, sedih, bahkan beberapa orang menangis ketika dua ledakan dalam tempo 10 menit menewaskan sembilan orang serta melukai 62 orang lainnya di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriott di Jakarta. Tapi siapa tau ada orang yang riang gembira menyaksikan tragedi itu karena tujuan mereka berhasil membuat kekacauan di negeri ini?
Presiden Susilo Bambang Yudhono pun ikut berang atas pengeboman itu. “Memang ada segelintir orang di negeri ini yang tertawa puas, bersorak dalam hati, disertai nafsu amarah dan keangkaramurkaan,” kata SBY dalam pidatonya.
Memang, teror bom sudah lama menghantui negeri ini. Sejak tahun 2000 sudah 10 kali terjadi pengeboman. Yang terbesar adalah bom Bali, Oktober 2002 yang merenggut nyawa 202 orang. Sedangkan Hotel JW Marriott sudah dua kali dihantam bom. Pertama 2003 yang menewaskan 11 orang.
Betul, polisi tidak henti-hentinya melancarkan operasi termasuk penangkapan teroris terus dilakukan. Begitu juga eksekusi mati atas pelaku bom Bali seperti Amrozi dan Imam Samudra cs. Meskipun otak pengeboman Noor M Top sampai saat ini belum tertangkap.
Direktur International Crisis Group Sidney Jones mengatakan kuat dugaan bom bunuh diri dilakukan oleh teroris kelompok lama di sekitar Noor Din M Top. Ia yakin ledakan di Marriott dan Ritz-Carlton di Mega Kuningan, Jakarta adalah kelakuan warga Negara Malaysia yang jadi buron. “Polanya sama, bunuh diri dan yang jadi target hotel,” katanya.
Karena ini bom bunuh diri, hampir bisa dipastikan kelompok ekstremis Islam dan “kandidat” paling mungkin adalah kelompok yang ada di sekitar Noor Din M Top. “Bukan berarti ini satu-satunya kemungkinan, tapi yang jelas ini paling kuat,” katanya kepada Tempo.
Namun bekas tokoh Jamaah Islamiyah, Abu Rusdan (48) mengatakan, kecil kemungkinan Noor Din terlibat. Soalnya, Noor Din kini dalam keadaan sulit setelah jaringan dipotong polisi melalui sejumlah penangkapan. Gerakan Noor Din saat ini makin sempit dan tak terkendali. Kelompok ini sejak empat tahun lalu sulit mendapatkan pemimpin yang sudi bertanggung jawab atas aksi-aksinya.
Tragedi Jumat hitam 17 Juli ini susah dipahami, apakah bermuatan politik, agama, persaingan bisnis? Meskipun sulit dimengerti, tapi yakinlah, aksi teroror itu dikecam semua pihak, termasuk kalangan umat Islam. Buktinya, Ketua Umum Majelis Silahturahmi Kiai dan Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, KH Noor Iskandar SQ menegaskan, Islam melarang aksi kekerasan terorisme. Larangan itu tertuang dalam Al-Quran dan Al-Hadist, umat Islam dilarang membunuh sesama manusia. Bahkan melukai dan membunuh diri sendiri, seperti pada bom bunih diri, Islam juga dengan tegas melarangnya.
KH Noor Iskandar SQ menambahkan, melakukan jihad bukan dengan seperti itu caranya. Ulama sepakat, umat Islam dapat berjihad jika diusir dari negaranya dan kita wajib melakukan perlawanan atau berjihad memerangi kebodohan dan kemiskinan. Apa yang dilakukan para teroris jauh dari maksud jihad. “Saya menilai, makna dan maksud jihad telah diartikan secara sempit oleh mereka,” kata Noor Iskandar kepada Batak Pos.
Menurut Noor Iskandar, dalam bermasyarakat perlu saling komunikasi, tidak hanya hubungan komunikasi kepada Tuhan, namun juga kepada manusia. Saling mengingatkan jika ada saudara-saudara yang melanggar ketentuan dengan melaporkannya kepada yang berwenang. Termasuk juga peran kiai dan ulama untuk bersama-sama menjaga umat agar tidak menyimpang dari ajaran Al-Quran dan Hadist.
Selain saling mengingatkan, kita harus terus menerus mempromosikan nilai-nilai solidaritas, kesetiakawanan, dialog, persahabatan dan silahturahmi. Sebab, hakekat kesetiakawanan adalah kawan setia tanpa memandang agama, nasionalitas, status sosial dan suku.
Selama ini kita terlalu sering mempertontonkan kebencian, kekerasan dan nyaris tidak suka kepada hal-hal yang berbeda. Berbeda agama, suku, politik langsung mengganggap musuh yang harus dilenyapkan. Bahkan matipun rela, dengan cara bom bunuh diri seperti tragedi Jumat hitam 17 Juli di Marriott dan Ritz-Carlton. Aneh bin tolol. (baharuddin silaen)
Provinsi Tapanuli Tercemar Sebelum Mekar

Luar biasa, hampir semua media cetak dan elektronik secara terus-menerus memberitakan tragedi Medan yang menewaskan Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara. Inilah berita politik terheboh yang menyedot perhatian—mulai dari presiden sampai orang-orang di lapo tuak. Maklum, nilai beritanya (news value) cukup tinggi—tidak tanggung-tanggung, seorang ketua dewan tewas di antara himpitan demonstran yang kecewa setelah tujuh tahun tidak ada jawaban pasti akan nasib pemekaran provinsi yang mereka perjuangkan. Mereka bergerak dan terus merangsek diselingi teriakan dan kepalan tinju yang diarahkan kepada Azis, sang ketua pun lunglai, tidak sadarkan diri dan akhirnya tewas. Apa pun penyebab kematian Aziz, kita prihatin—demonstrasi brutal mengakibatkan nyawa melayang.
Komentar pun mengalir deras terkait tewasnya Ketua DPRD, termasuk komentar pemerhati politik yang ditayangkan live, tidak terkecuali tanggapan pemirsa yang semuanya bernada miring dan mengutuk unjuk rasa pemekaran provinsi Tapanuli yang berakhir anakis. Sialnya, insiden ini membawa komunitas Batak ikut terkena getahnya.
Wajar, soalnya tersangka yang diduga dalang kericuhan hampir semua orang Batak, korban pun sebenarnya orang Batak juga—dari subetnik Papak. Angkat adalah marga Pakpak. Sayang, nalar orang terlanjur digiring ke suatu argumen kurang lengkap, orang Batak identik dengan kekerasan. Padahal, semua suku berpotensi melakukan tindak kekerasan.
Tidak berhenti di situ, beberapa nama disebut-sebut orang Jakarta sebagai otak intelektual kerusuhan. Ketika Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan diwancarai tv-one pada “Berita Petang” (11/2) Luhut membantah, tidak ada aktor intelektual di belakang tragedi pemekaran provinsi Tapanuli. “Yang ngomong itu, kampungan,” kata Luhut menjawab pertanyaan presenter TV One.
Selain sifat Batak yang dianggap keras, potensi anarkisme politik dalam kerumunan tidak boleh dikesampingkan—sebenarnya ini yang mendesak ditelisik. Kenapa tindak melawan hukum sering terjadi pada massa yang berkerumun? Entah itu pemilihan kepala daerah, pemekaran kabupaten, provinsi dan pembebasan tanah, kerap kali berujung ricuh dan anarkis.
Karena itu, kurang sportif kalau hanya menyalahkan permintaan daerah otonomi sebagai pemicu insiden itu. Pemekaran wilayah merupakan wujud keinginan rakyat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik. Betul sekali, tak semua ide pemisahan daerah didasari niat luhur menyejahterakan masyarakat desa. Ada juga didasari keinginan beberapa pemrakarsanya bercita-cita menjadi kepala daerah atau kesempatan mencari proyek.
Entah apa pun itu, para sosiolog seperti Emile Durkheim dan Gustave Lebon (1841-1931) mengakui, “siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa dan bertindak serupa. Kekuatan emosional dan irasional berkecamuk. Begitu juga nafsu barbarian bergerak liar menyerabas. Identitas sosial individu tercabik-cabik oleh kekuatan homogenitas kerumunan.” Asal tau, hal serupa akan terjadi pada bentuk kerumunan di daerah mana pun dan suku apa pun, bukan hanya di Medan dan orang Batak.
Kerumunan (crowd) menurut sosiologi disebut juga kelompok sosial yang tidak teratur. Kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik—tidak terorganisasi. Akan segera mati, setelah orang-orang bubar. Sifatnya pun sementara (temporer) Interaksi spontan dan tidak terduga. Seorang politikus misalnya; guru, mahasiswa, pegawai, saudagar, dokter, wartawan, tukang becak dan tukang sayur sama-sama menunggu kereta api—mereka mempunya kedudukan yang sama. Siapa pun yang ada dalam kerumunan gampang tersulut dan mudah meniru tingkah laku orang lain. Satu orang berteriak, yang lain akan meniru karena didorong perasaan satu nasib dan terjalin sifat saling mendukung.
Pada dasarnya, tiap kerumunan rentan terhadap kerusuhan. Soalnya individu yang berkumpul gampang kehilangan jati diri—anonimitas. Dalam momen kerumunan individu-individu tercerabut dari personalitasnya. Kerumunan cepat menularkan kekerasan. Ketika satu orang memukul, yang lain mengikutinya.
Tipe kerumunan pun berbeda, ada kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs) Tipe ini diwarnai perlawanan norma hukum (lawless) Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob—kerumunan yang emosional serta irasional yang berbuntut aksi destruksi. Aksi seperti ini bisa terjadi ketika ada pihak yang dianggap menghambat dan menghalang-halangi niat orang-orang dalam kerumunan. Atau karena hak-hak mereka diinjak-injak atau lantaran ketidakadilan. Kerumunan akan bertambah beringas dan agresif menyerang siapa yang dianggap penghalang keinginan mereka—dipukul atau dihajar rame-rame dan dikeroyok. Tipe kerumunan seperti itulah yang terjadi pada Ketua DPRD Sumatera Utara, Azis Angkat.
Betul, tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kehancuran. Literatur ilmu sosiologi membagi empat tipe kerumunan. Seperti kerumunan tidak tetap (casual crowd) Keberadaanya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan. Misal, orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan. Kerumunan konvensional (convensional crowd) Tipe ini terjadi secara terencana dan berperilaku teratur. Contoh, penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola. Kerumunan bertindak (acting crowd) keterlibatannya didasari pada permusahan atau aktivitas destruktif. Misal, mob yang melakukan pembantaian. Kerumunan ekspresif (expressive crowd) muncul melampiaskan emosi dan ketegangan. Umpama, para penonton konser musik rock.
Sialnya, kalau kerumunan berada di wilayah politik, yang kerap terjadi adalah anarkisme. Anarkisme suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan. Situasi bisa berubah mendadak menjadi brutal, apalagi di lokasi kerumunan tidak ada pihak keamanan yang memadai. Bisa saja polisi kalah kuat dengan gelombang demonstran yang kecewa dan prustrasi. Sketsa anarkisme politik kerumunan seperti inilah yang terjadi di Medan.
Kita hanya bisa beradai-andai—seandainya pengamanan dilakukan maksimal, barangkali korban tewas bisa dihindarkan.
Apa pun itu, provinsi Tapanuli sudah tercemar sebelum mekar. Amang tahe!

Penulis, Baharuddin Silaen staf pengajar sosiologi di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercua Buana, Jakarta.

Oprah Inspirasi Peduli Terhadap Sesama

Oprah Inspirasi Peduli Terhadap Sesama

Dari judulnya pun sudah dapat ditangkap apa yang diulas dalam buku “Injil Menurut Oprah.” Marcia Z Nelson penulis buku ini menguraikan “kesaksian” Injil dalam dunia riil dengan bahasa yang cantik. Kasih yang diajarkan Yesus serta dicatat dalam Injil kemudian diterjemahkan Marcia dengan bahasa duniawi yang amat mencengangkan.
Termasuk sosok Oprah Winfrey perempuan kulit hitam yang posisinya terangkat ke papan atas bahkan terpopuler dewasa ini di dunia entertainment di Amerika. Hampir semu sudut kehidupan Oprah mulai sisi gelap dan penuh berkat dikupas dalam buku ini, lalu diolah dengan sumber akurat membuat buku terbitan PT BPK Jakarta ini bernilai plus dan menyejukkan.
Program Oprah menjadi tontonan bermutu yang diilhami nilai-nilai surgawi dan mampu menggugah orang lain berbuat bahkan menjadi dermawan terhadap sesama yang tidak jauh dari pintu pagar rumah kita. Tayangan Oprah yang banyak digemari sampai saat ini masih dapat disaksikan di Metero TV. Oprah menjadi inspirasi kepedulian terhadap sesama umat manusia.
Oprah mengajarkan banyak apa yang terdapat dalam Injil, meskipun tidak mengutip ayat-ayat dari Mateus, Markus, Lukas dan Johannes, tapi semua materi yang disuguhkan Oprah adalah dimensi spiritual yang layak dicontoh umat manusia masa kini.
Bahkan kedermawanan Oprah paling sering diperbincangkan para pengagumnya. Memberi adalah tema yang konsisten dalam pertunjukkan, majalah maupun situs webnya. Bukan hanya itu, menyumbang dan bekerja secara sukarela sangat dianjurkan. Tak heran kalau disebutkan, Oprah adalah donor dan promotor kegiatan sosial, terutama yang berhubungan dengan keluarga dan pendidikan.
Mengenai “kabar baik” versi Oprah, rasa syukur adalah penghargaan terhadap kelimpahan, suatu pengakuan terhadap berkat. Terdapat cukup banyak berkat untuk dibagikan dan mendapatkan sebagian akan membangkitkan rasa syukur. Rasa syukur mengukur jarak antara yang tidak punya dan yang berpunya serta mengingatkan orang pada perjalanan yang dapat diteladani dari kehidupan Oprah sendiri. (hal 81)
Tema penderitaan adalah agenda Oprah yang membuat orang lain ikut iba dan meneteskan air mata. Meskipun Oprah tidak berbicara dari atas mimbar gereja tapi apa yang dia ceritakan sangat Alkitabiah berpedoman pada hakekat kasih yang tulus. Ia tidak canggung menceritakan ulang pengalaman pahit yang pernah menimpanya, ketika kerabatnya memperkosa Oprah Winfrey semasa kecil. Itupulah yang diulasnya melalui “The Oprah Winfrey Show” tanpa perlu menyembunyikan trauma yang melilit masa lalunya, termasuk pelecehan dalam keluarga terutama pelecehan seksual terhadap anak.
Penulis buku ini bersaksi, tentang kehebatan Oprah mengusung penderitaan ke dalam media TV, sekaligus mendekatkan tragedi pelecehan itu persis di depan mata penonton yang berada di rumah maupun yang hadir di studio.Televisi dimanfaatkan Oprah menjadi salah satu sumber paling penting bagi siapa saja yang merasa sendirian ketika sahabat meninggalkannya. Karena media ini menjadi sahabat Oprah memiliki kekuatan besar untuk bergerak dan menjangkau ke seluruh dunia, ia bisa memanfaatkannya untuk menunjukkan penderitaan, mengajarkan arti penderitaan dan yang lebih penting, menunjukkan cara menanggapi penderitaan. (hal 39)
Marcia Z Nelson penulis masalah keagamaan dan spritualitas ini memaparkan, The Oprah Winfrey Show terkenal sebagai tempat pengakuan. Oprah juga membicarakan kesalahan masa lalunya sendiri. Para tamu menceritakan kisah kehidupan mereka guna menginspirasi orang atau menawarkan kisah agar orang lain waspada. Oprah sebagai pendengar yang terbuka dan tidak bersikap menghakimi sementera ia mendengarkan penuturan para tamunya yang beragam.
Pengampunan adalah tema menarik dari karya Oprah. Pengampunan berungkali dijadikan topik, malah senantiasa mendorong, mengejutkan dan emosional. Tak lupa para korban “dijemput” dan ikut tampil di studio. Beberapa dari antara mereka telah memilih mengampuni orang-orang yang telah bersalah kepada mereka. Melalui pengampunan, orang yang mendapat perlakuan buruk itu tidak lagi menjadi korban.
“Injil Menurut Oprah” yang judul aslinya “The Gosphel According to Oprah” memang menarik dan layak dibaca sebagai illustrasi khotbah pada masa kini. Baharuddin S

Kalau Pendeta Kurang Membaca

Catatan harian saya, sudah lama terselip di antara tumpukan buku-buku, secara tidak sengaja kutemukan kembali sewaktu mencari buku di lemari buku. Setelah kubaca ulang, biasa-biasa saja, tidak ada yang layak diberikan nilai plus. Informasinya sangat minim, bahkan kering. Lama aku termenung, menerawang ke masa lampau, 29 tahun silam di sebuah desa kecil di Parausorat. Begini kisahnya.
Saya diajak Pdt Prof Dr Adelbert A Sitompul (alm) menemaninya pada acara evangelisasi di HKBP Sipirok (1980) ketika itu aku masih pendeta praktek di HKBP Pangaloan. AA Sitompul saat itu baru bertugas di Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, setelah pulang dari Geneva. Meskipun hanya dua hari kami menjelajah pelosok Sipirok, banyak hal yang didapat.
Di perjalanan, aku bertanya kepada AA Sitompul, kenapa bukan yang lain diajak menemaninya, kenapa saya? “Kamu sering menulis di surat kabar, tulislah nanti perjalanan kita ke Parausorat,” jawab Sitompul waktu itu. Terus terang saya senang mendapat kesempatan menemaninya, karena sewaktu mahasiswa, Pdt AA Sitompul adalah dosen yang saya kagumi. “Petualangan” kami itu dimuat di “Sinar Indonesia Baru” Medan.
Pagi-pagi kami menuju Parausorat setelah lebih dulu menjelajahi Bungabondar. Kami sempat mengunjungi beberapa gereja tua serta makam para misionaris yang pernah melayani di Sipirok. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Parausorat. Di tempat ini bertemu dengan beberapa warga Kristen yang masih tetap pengikut Kristus. Mereka tinggal dekat gereja yang di Parausorat, yang warganya waktu itu hanya tinggal enam kepala keluarga. Gereja ini tidak jauh dari bekas Sekolah Guru yang didirikan 1868. Bangunan sekolah ini tidak ada lagi, habis ditelan waktu, hanya ada bekas tiang tertancap (1980) itu pun sudah lapuk dan tinggal 30 sentimeter dari permukaan tanah. Di dalam gereja berukuran lima kali delapan meter tergantung foto Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, inilah orang Batak pertama masuk Kristen. Waktu itu kami dipandu Pdt Sabar P Simanungkalit, Pendeta Resort HKBP Spirok waktu itu. Sekarang Pendeta Resort HKBP Kernolong, Jakarta.
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan, tapi kali ini “petualangan” dari rumah ke rumah penduduk. Rupanya, ada misi lain yang baru belakangan diberitahu AA Sitompul kepada saya, dia mau menulis buku tentang orang-orang Batak yang pertama masuk Kristen. “Buku seperti ini belum pernah ada yang tulis,” ujar AA Sitompul bersemangat.
Sudah lupa saya berapa rumah kami kunjungi waktu itu, tapi yang jelas dari tiap rumah yang kami kunjungi, pasti ada buku yang dibawa pulang. Dengan perjanjian kepada pemilik buku, “pinjam” dan akan dikembalikan. Buku-buku yang kami pinjam itu, hampir semuanya ditulis tangan oleh para misionaris dan penggantinya. Tulisannya sangat rapi dan jelas. Ada yang sebagian sudah dimakan rayap, ada yang sobek dan ada yang kena air sehingga tulisan tidak terbaca lagi. “Jangan ada yang tertinggal, bawa semua, ” Sitompul berulangkali mengingatkan saya.
Saya ditugasi waktu itu mencatat setiap buku, alamat dan nama pemilik buku. Lumayan juga bundelan yang kami angkut hasil petualangan mencari buku/catatan para misionaris. Waktu itu Sitompul bilang kepada saya, namamu akan saya tulis dalam buku yang akan diterbitkan. “Nunga dohot ho loja mandongani au mandiori angka catatan ni parbarita na uli parjalo tu Sipirok, husurathon pe goramu di buku i,” Sitompul berjanji.
Selang beberapa tahun kemudian buku terbit berjudul “Sitotas Nambur Hakristenon.” “Hebat juga Pdt AA Sitompul, jadi juga terbit buku yang menarik yang mengisahkan perjalanan orang Batak masuk Kristen,” kata saya dalam hati. Walaupun nama saya tidak tercantum seperti dijanjikan, saya tidak kecewa. Mungkin dia lupa. Saya tetap bangga kepada Pdt Adelbert A Sitompul, di sela-sela kesibukannya dia masih sempat menulis buku yang sekaligus memperkaya karya-karya yang bermanfaat bagi warga HKBP dan yang membacanya.
Sayang, ketika dia meninggal, sebulan kemudian saya baru dapat informasi. Padahal sama-sama di Jakarta. Hanya penesalan yang terlontar. Saya terlalu cuek ketika mendengar dia dirawat. Tidak menjenguknya ketika dia terbaring sakit.
Pada kesempatan lain, saya pernah mewancarainya, ia mengatakan; pendeta harus rajin membaca, jangan karena di desa membaca dianggap tidak perlu. Kalau pendeta malas membaca, khotbahnya pun jadi “pollung tubu” (apa yang muncul saat itu-pen)
Nasehat AA Sitompul ini terngiang kembali, ketika ada yang mengeluh mengenai kotbah pendeta dari itu ke itu, bolak-balik—sudah pernah dikotbahkan diulang lagi. “Pendeta kami kurang membaca, khotbahnya tidak menarik. Mulak-ulak. Tidak ada persiapan,” komentar salah satu warga gereja.
Ada juga benarnya komentar warga gereja ini. Apalagi pendeta yang melayani di kota besar seperti Medan, Bandung, Jakarta, buku dan membaca adalah kebutuhan yang harus dipelihara. Bayangkan, seorang pendeta lima tahun melayani pada satu gereja (resort) berapa kali dia berkotbah dalam satu minggu, belum lagi ke kategorial, punguan, partangiangan. Bagaimanapun “hebatnya” pendeta berkotbah suatu saat pasti mengalami kejenuhan—habis kamus. Tahun pertama, kedua dan ketiga kotbahnya masih menarik, maklum masih banyak stok. Tahun keempat dan kelima mulai kalang kabut.
Mengatasinya, tidak ada jalan lain kecuali banyak membaca buku, majalah, surat kabar, rajin bersilancar di dunia maya. Pokoknya harus senantiasa mengaktualisasikan diri sehingga bisa berdampingan dengan kehebatan teknologi komunikasi masa kini. Bukan mengada-ada, soalnya, warga gereja yang dialayani sudah terbiasa dengan website, internet, bayangkan kalau pendeta membuka email pun susah. Orang sudah terbiasa membuka Alkitab Elektronik, pendetanya boro-boro membuka, melihat pun belum pernah? Betul, tidak jaminan menguasai website, internet lebih hebat, tapi paling tidak menambah wawasan dan percaya diri.
Kebutuhan buku bagi pelayaan gereja sudah keharusan apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Tak heran, beberapa gereja di Jakarta sudah menyisihkan dana untuk pos pemebelian buku dan internet pelayaan (pendeta) Ini langkah maju yang perlu dicontoh.
Menarik cerita Pdt Dr Richard M Daulay, Sekretaris Umum PGI, bagaimana dia mempersiapkan kotbahnya. “Saya tidak berani berkotbah kalau saya tidak mempersiapkan materi kotbah dengan benar. Kadang harus saya ke toko buku membeli buku dua sampai tiga di luar buku-buku tafsir, “ ucap Richard.
Begitu juga Pdt Dr Einar M Sitompul, yang sering diundang ceramah dan berkotbah di berbagai gereja, selalu mempersiapkan kotbahnya dan banyak membaca. Pendeta ini sejak mahasiswa sampai sekarang kebiasaan membeli buku secara teratur masih terus dilakoninya. Tiada hari tanpa membaca. Ke mana saja dia selalu membawa buku dan tentu membacanya.
Ketika pendeta di Bandung, hampir semua tempat penjualan buku bekas dijelajahinya. Sekarang pun kegemaran itu masih terus ditekuninya, jangan heran kalau suatu ketika ketemu Einar Sitompul di tempat penjualan buku bekas di Pasar Senen, Jakarta. “Tidak harus baru kan, yang bekas pun masih bagus, yang penting isinya,” kata Einar sewaktu kami sama-sama di Bandung yang pernah menghadiahkan saya buku “Speaker’s Sourcebook” karya Eleanor Doan.
Memang repot kalau pendeta kurang membaca!

Agama Merestui Pembunuhan Adalah Keliru

Memahami Pidato Obama di Kairo
Agama Merestui Pembunuhan Adalah Keliru

Baharuddin Silaen

Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama mengajak warga Timur Tengah serta dunia Islam bersama-sama membuka babak hubungan baru. Ajakan itu ia lontarkan di depan sekitar 3000 hadirin yang memadati Auditorium Universitas Kairo, Mesir belum lama ini. Aplaus berkali-kali membahana tatkala Obama empat kali menyetir Al-Quran dalam pidato yang dibuka dengan sapaan assalamualaikum.

Sekitar satu jam dia berdiri di podium dengan sikap percaya diri, berupaya membentangkan benang kusut—hubungan Amerika dan dunia Islam—yang kadang kala terperosok ke dalam lorong gelap. Dalam pidatonya yang mempesona dia mepertegas—Islam sejatinya bagian dari Amerika. Sayang, deretan panjang pertikaian telah meretakkan, bahkan tidak jarang harus memutuskan tali silaturahmi Amerika Serikat dengan para sohib di timur jauh.
Satu per satu, pertikaian itu dipaparkannya; mulai tragedi 11 September yang membunuh 3000 orang lebih warga Amerika, perang Irak dan perang Afganistan, peristiwa berdarah Palestina Israel, penjara Guantanamo yang menyekap sebagian besar warga Muslim dan senjata nuklir Iran. Memang Obama sendiri tak menyangkal keakraban Israel-Amerika yang mustahil dipisahkan. Tapi dia mengingatkan Israel, hak hidup bangsa Palestina adalah kemustahilan. Ia pun memohon permukiman Yahudi di tanah Palestina harus diakhiri. Tepuk tangan pun bergemuruh, ada 25 kali aplaus memeriahkan pidato Obama dan ucapan I love you dialamatkan kepada sang kampiun asal Kenya, Afrika itu.
“Saya datang mencari awal baru bagi Amerika Serikat dan umat muslimin di seluruh dunia. Maka segala permusuhan sebaiknya disudahi saja, ” ujar Obama yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta. Tidak lupa ia mengusulkan kepentingan mitra setara yang saling menghormati agar menjadi landasan kokoh terhadap hubungan baru Amerika-Islam.
Obama dalam pidatonya menyinggung tujuh pokok penting yang ditawarkan kepada dunia Islam untuk dihadapi bersama: terorisme, konflik Israel-Palestina, senjata nulkir, demokrasi, kebebesan beragama, hak-hak wania dan pembangunan ekonomi. Khusus sikap Amerika terhadap teroris, Obama menyerukan kepada dunia Islam dari Kairo, “Amerika tidak akan pernah memerangi Islam.” Kemudian dia mengutip Quran untuk melukiskan bahwa Islam sesungguhnya menolak kekerasan. Kembali tepuk tangan bergemuruh di dalam Auditorium Universitas Kairo yang dihadiri pejabat tinggi Mesir dan Amerika, petinggi militer, akademisi, wartawan dan tokoh oposisi utama dari Ikhwanul Muslim.
Pidatonya di Kairo seolah-olah mengetuk pintu dunia Islam, lalu mencoba meruntuhkan hegemoni kaum Republikan (George W Bush) yang dianggap menelorkan banyak masalah di kawasan Timur Tengah. Sebutlah misalnya; invasi ke Irak pada 2003, skandal penyiksaan dan penghinaan para tahanan Muslim di penjara Abu Gharib di Irak, embargo ekonomi dan senjata hingga pendudukan tak berdasar terhadap negara lain. Begitu pula Iran, yang ikut babak-belur dilindas embargo ekonomi karena urusan senjata nuklir.
Namun, pidato Obama di Kairo, ternyata tidak semua pihak menerimanya dengan senang hati. Buktinya, komentar mengalir dari sejumlah musuh lama Amerika. Salah satu Ayman Taha, juru bicara Hamas dalam wawancara dengan kantor berita Inggris BBC mengeritik Obama. “Pidato Obama yang memerangi ekstrimis dan melontarkan isu dua Negara Palestina-Israel tak ada bedanya dengan kebijakan Bush,” ujarnya. “Dunia Islam tak membutuhkan khotbah. Yang kami perlukan adalah perubahan fundamental sikap Amerika terhadap Israel yang mengagresi Libanon dan Palestina,” kata Hassan Fadlallah, tokoh penting Hizbullah Libanon.
Selepas berpidato Obama menyampaikan pernyataan kepada wartawan. Obama mengakui, dia adalah penganut Nasrani—juga pendukung kuat demokrasi dan hak asasi manusia. Karena itu ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari segala upaya memperjuangkan masyarakat pluralistik dapat hidup bersama. Ia yakin bahwa apa yang diyakinya dapat hidup di dunia yang interdependen sekarang ini. Tempat berbagai keyakinan yang berbeda harus hidup bersama. “Kita membutuhkan keyakinan yang dewasa—saya sangat meyakini keyakinan saya, tapi saya menghormati kenyataan bahwa bahwa orang lain juga dapat meyakini keyakinannya yang berbeda.”
Agar kerinduan hidup bersama itu dapat dirasakan, menurut Obama, harus ada kesepakatan mengenai satu sistem politik yang menghasilkan aturan tentang bagaimana hubungan bersama dilakukan. “Saya tidak bisa memaksakan ketentuan agama saya berlaku pada orang lain. Tidak boleh memobilisasi pihak mayoritas mendiskriminasi kalangan minoritas. Saya tidak bisa mengambil aturan dalam suatu agama dan menerapkannya kepada penganut agama lain,” ujar Obama.
Tapi jangan silap, tambah Obama, bukan berarti saya tidak dapat melontarkan argumen berdasarkan keyakinan saya. Contoh, sebagai penganut Nasrani, saya percaya perintah Tuhan tentang larangan tidak boleh membunuh. Sebagai politikus saya mengupayakan undang-undang yang melarang orang membunuh. “Ini bukan berarti saya memaksakan keyakinan agama saya, melainkan memperjuangkan nilai moral yang mungkin diterima juga pihak lain karena bersifat universal,” jelasnya.
Dalam wancara itu, Obama meminta umat Islam merenungkan soal keyakikan secara benar dan tepat. Misalnya, tentang syariah. Ia menyadari tidak semua agama punya pandangan sama tentang bagian mana dalam ajarannya yang layak diterapkan pada hukum sekuler. Tetapi, kalau ada yang memaksakan ajarannya harus dijalankan oleh penganut agama atau kelompok lain, ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi. Boleh jadi menyebabkan terjadinya instabilitas, bahkan perilaku destruktif di tengah masyarakat.”Ini adalah hal penting yang perlu diperdebatkan secara internal di kalangan penganut Islam,” ucapnya.
Dari pernyataan Obama yang perlu dipahami dan direnungkan saat ini, apabila ada yang merasa dibenarkan oleh agamanya untuk membunuh orang lain, pasti ia telah keliru memahami ajaran agamanya. “Saya kira ini adalah persoalan yang perdebatannya sudah selesai bagi kebanyakan orang, tapi masih ada kelompok kecil yang berpotensi desrtruktif.”
Memang sulit dimengerti, kenapa agama merestui pembunuhan terhadap orang lain, bahkan dipermaklumkan karena dianggap di jalan Tuhan. Beberapa buku yang ditulis pemikir Barat seperti Samuel P Huntington, “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Orde” dan Mark Juergensmeyer, “Terror in The Mind of God” membeberkan latar belakang pandangan yang keliru itu. (Kedua buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia)
Samuel P Huntington misalnya, mengurai hubungan Amerika-Islam yang hingga saat ini belum akur, ia melihat akar persoalan—Islam merasa khawatir dan takut akan kekuatan Barat serta ancaman yang ditujukan kepada masyarakat dan keyakinan (agama) mereka. Mereka menggangap, kebudayaan Barat bersifat materialistik, korup, dekaden dan immoral. Mereka juga melihat sebagai kebudayaan yang sangat memikat, sehingga mereka melakukan pelbagai upaya agar tidak berpengaruh terhadap way of life mereka.
Serangan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap Barat, menurut Samuel, bukan menyerang sesuatu yang tidak sempurna, agama sesat, yang dipandang bukan sebagai “agama kitab” tetapi menyerang seluruh agama. Karena, di mata umat Islam, sekularisme Barat, irreligiusitas dan immoralitas merupakan kejahatan-kejahatan” yang diajarkan Kristen Barat.
Tidak jauh beda dengan pandangan Mark Juergensmeyer, malah lebih terbuka menilai “perang ilahi” yang melekat pada semua agama baik Islam, Kristen maupun Hindu, Budha dan Yahudi. Dari contoh-contoh kekerasan agama yang diangkat Mark, kecenderungan kekeliruan itu terletak pada penafsiran yang salah atas ayat-ayat kitab suci, baik oleh pemimpin agama maupun para pengikutnya. Bukan tidak mungkin pelaku teror merasa aman berlindung di balik otoritas kitab suci, seolah-olah kekerasan yang dilakukan adalah mandat dari Tuhan, sehingga mati pun rela demi membela agama Tuhan. “Dalam banyak kasus, gambaran-gambaran ini bukanlah hal baru, tapi merupakan bagian dari warisan tradisi keagamaan yang membentang ke masa lalu. Banyak contoh-contoh peperangan yang dapat ditemukan dalam teks-teks suci,” tulis Mark Juergensmeyer.
Memang, menafsirkan ayat-ayat kitab suci dibutuhkan kejernihan berpikir di atas segala-galanya. Mahir melihatnya dari berbagai asfek kehidupan termasuk dimensi tempat, ruang dan waktu.
Penulis pengajar di Fisipol UKI dan Fikom Universita Mercu Buana Jakarta. Email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Alamat Blog dan Facebook: baharuddin silaen