Senin, 28 Maret 2011

Kampung Batak Tempo Doeloe

Suasana huta Batak mulai terasa ketika suara gondang Batak sayup-sayup kedengaran saat menuju harbangan (gerbang) “Huta Batak” di Desa Pagar Batu, Balige. Di sisi gerbang ada pohon beringin (hariara) yang sengaja ditanam sebagai ciri huta orang Batak tempo dulu. Enam ruma Batak berdiri kokoh di atas pekarangan yang luas dihias rumput hijau yang tertata rapi. Salah satu ruma adalah rumah asli TB Silalahi. Rumah yang berusia 150 tahun ini adalah tempat tinggal TB Silalahi semasa kecil di Balige. Dalam perkampungan Batak ini ada dua jenis rumah adat; ruma dan sopo. Rumah itu dibagi dua bagian yang saling berhadapan. Di antara kedua deretan rumah terdapat halaman luas yang fungsinya tempat menjemur padi dan bermain anak-anak. Sama seperti huta Batak dahulu kala. Ada enam rumah asli Batak berusia 120 hingga 150 tahun di huta Batak TB Silalahi Center (TBSC). Rumah ini sumbangan dari keluarga (marga) Batak yang mencintai kebudayaan leluhur. Termasuk salah satu rumah pendiri TBSC. Rumah itu asli yang dipindahkan dari Pagar Batu ke kompleks TBSC. Huta di kompleks TBSC dikelilingi pohon bambu sama seperti huta orang Batak di masa lalu. Termasuk jalan masuk ke huta hanya satu gerbang (bahal) Biasanya di sisi bahal terdapat hariara (beringin) Nuansa kampung Batak tempo dulu dapat dirasakan di huta Batak Pagar Batu, Balige. Selain rumah Batak ada juga pangulubalang (patung) di perkampungan ini. Pangulublang merupakan peninggalan suku Batak ketika masih menganut anisme. Dahulu kala pangulubalang dianggap sebagi patung pelindung desa, khususnya saat penduduk desa sedang meninggalkan desa untuk berbagai kegiatan. Patung terbuat dari batu, tapi ada juga patung yang dibuat dari kayu. Peranan pangulubalang sangat penting khusus meyelesaikan perselisihan antarmarga atau antardesa. Konon, roh pangulubalang ditugasi pergi ke daerah musuh untuk menutup mata dan telinga musuh agar tidak mampu berperang lagi. Bagaimana “gaya hidup” orang Batak di masa lalu, juga dapat disaksikan di TBSC. Jejak orang Batak tempo dulu ada tersimpan di sebuah rumah besar yang disebut Ruma Bolon,berukuran sembilan setengah kali 15 meter. Dua kali lebih besar dari ukuran ruma Batak. Ciri khas Ruma Bolon adalah ukiran (gorga) yang sangat dominant pada dinding. Gorga ini memiliki nilai filosofi fan religi. Terdapat juga ukiran singa pada kayu yang ada di sisi kanan dan kiri ruma. Termasuk hiasan payudara sebagai lambang kesuburan (hagabeon) Demikian juga gambar kadal (boraspati) lambang kebijaksanaan dan kekayaan. Dapat juga disaksikan replika peradaban di masa lalu. Seperti pengobatan tradisional melalui bantuan datu (dukun) Peralatan pesta Batak zaman dulu serta alat rumah tangga dan alat berburu lengkap disimpan dalam Ruma Bolon. “Kalau pada musim liburan, biasanya ada pertunjukan tortor,” kata seorang pemandu TBSC. Tortor tersebut diadakan di bawah ruma, diiringi gondang yang dimainkan pargonsi yang ditempatkan di sokor (balkon) Pada bagian bawah Ruma Bolon terdapat tombara (kolong) yang digunakan sebagai kandang ternak, tempat menyimpan kayu dan tempat martonun. Ruma Batak pada umumnya tidak punya kamar (bilut) Ruangan dalam rumah terbuka tanpa sekat pembatas. Pada rungan utama berfungsi sebagai tempat tidur di situlah keluarga tidur beralaskan lage (tikar) seadanya. Lage jarang dilipat atau disimpan. Kalau tidur pada malam hari biasanya pakai bulusan (selimut) dari tikar karena udara dingin. Di bagian dapur terdapat tataring (tempat memasak) yang terbuat dari batu (dalihan) Tataring dilengkapi dengan parapara. Parapara befungsi sebagai tempat kayu bakar dan peralatan masak lainnya. Berkunjung ke TBSC banyak hal yang dapat disaksikan. Selain kampung Batak yang asri, pengunjung dimanjakan dengan panorama Danau Toba yang indah. Pengunjung bisa melepas lelah di kafe terbuka yang terdapat di bagian depan TBSC. Dari lantai dua kafe ini dapat menikmati pemandangan Danau Toba yang terhampar di ujung Desa Pagar Batu. Tidak terkecuali, jejak perjalanan TB Silalahi dapat dilihat di dalam TBSC. Mulai masa kecil, kegiatannya di milter dan di pemerintahan lengkap dipajang di museum ini. (baharuddin silaen)

Kalau Pendeta Kurang Membaca

Catatan harian saya, sudah lama terselip di antara tumpukan buku-buku, secara tidak sengaja kutemukan kembali sewaktu mencari buku di lemari buku. Setelah kubaca ulang, biasa-biasa saja, tidak ada yang layak diberikan nilai plus. Informasinya sangat minim, bahkan kering. Lama aku termenung, menerawang ke masa lampau, 29 tahun silam di sebuah desa kecil di Parausorat. Begini kisahnya. Saya diajak Pdt Prof Dr Adelbert A Sitompul (alm) menemaninya pada acara evangelisasi di HKBP Sipirok (1980) ketika itu aku masih pendeta praktek di HKBP Pangaloan. AA Sitompul saat itu baru bertugas di Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, setelah pulang dari Geneva. Meskipun hanya dua hari kami menjelajah pelosok Sipirok, banyak hal yang didapat. Di perjalanan, aku bertanya kepada AA Sitompul, kenapa bukan yang lain diajak menemaninya, kenapa saya? “Kamu sering menulis di surat kabar, tulislah nanti perjalanan kita ke Parausorat,” jawab Sitompul waktu itu. Terus terang saya senang mendapat kesempatan menemaninya, karena sewaktu mahasiswa, Pdt AA Sitompul adalah dosen yang saya kagumi. “Petualangan” kami itu dimuat di “Sinar Indonesia Baru” Medan. Pagi-pagi kami menuju Parausorat setelah lebih dulu menjelajahi Bungabondar. Kami sempat mengunjungi beberapa gereja tua serta makam para misionaris yang pernah melayani di Sipirok. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Parausorat. Di tempat ini bertemu dengan beberapa warga Kristen yang masih tetap pengikut Kristus. Mereka tinggal dekat gereja yang di Parausorat, yang warganya waktu itu hanya tinggal enam kepala keluarga. Gereja ini tidak jauh dari bekas Sekolah Guru yang didirikan 1868. Bangunan sekolah ini tidak ada lagi, habis ditelan waktu, hanya ada bekas tiang tertancap (1980) itu pun sudah lapuk dan tinggal 30 sentimeter dari permukaan tanah. Di dalam gereja berukuran lima kali delapan meter tergantung foto Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, inilah orang Batak pertama masuk Kristen. Waktu itu kami dipandu Pdt Sabar P Simanungkalit, Pendeta Resort HKBP Spirok waktu itu. Sekarang Pendeta Resort HKBP Kernolong, Jakarta. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan, tapi kali ini “petualangan” dari rumah ke rumah penduduk. Rupanya, ada misi lain yang baru belakangan diberitahu AA Sitompul kepada saya, dia mau menulis buku tentang orang-orang Batak yang pertama masuk Kristen. “Buku seperti ini belum pernah ada yang tulis,” ujar AA Sitompul bersemangat. Sudah lupa saya berapa rumah kami kunjungi waktu itu, tapi yang jelas dari tiap rumah yang kami kunjungi, pasti ada buku yang dibawa pulang. Dengan perjanjian kepada pemilik buku, “pinjam” dan akan dikembalikan. Buku-buku yang kami pinjam itu, hampir semuanya ditulis tangan oleh para misionaris dan penggantinya. Tulisannya sangat rapi dan jelas. Ada yang sebagian sudah dimakan rayap, ada yang sobek dan ada yang kena air sehingga tulisan tidak terbaca lagi. “Jangan ada yang tertinggal, bawa semua, ” Sitompul berulangkali mengingatkan saya. Saya ditugasi waktu itu mencatat setiap buku, alamat dan nama pemilik buku. Lumayan juga bundelan yang kami angkut hasil petualangan mencari buku/catatan para misionaris. Waktu itu Sitompul bilang kepada saya, namamu akan saya tulis dalam buku yang akan diterbitkan. “Nunga dohot ho loja mandongani au mandiori angka catatan ni parbarita na uli parjalo tu Sipirok, husurathon pe goramu di buku i,” Sitompul berjanji. Selang beberapa tahun kemudian buku terbit berjudul “Sitotas Nambur Hakristenon.” “Hebat juga Pdt AA Sitompul, jadi juga terbit buku yang menarik yang mengisahkan perjalanan orang Batak masuk Kristen,” kata saya dalam hati. Walaupun nama saya tidak tercantum seperti dijanjikan, saya tidak kecewa. Mungkin dia lupa. Saya tetap bangga kepada Pdt Adelbert A Sitompul, di sela-sela kesibukannya dia masih sempat menulis buku yang sekaligus memperkaya karya-karya yang bermanfaat bagi warga HKBP dan yang membacanya. Sayang, ketika dia meninggal, sebulan kemudian saya baru dapat informasi. Padahal sama-sama di Jakarta. Hanya penesalan yang terlontar. Saya terlalu cuek ketika mendengar dia dirawat. Tidak menjenguknya ketika dia terbaring sakit. Pada kesempatan lain, saya pernah mewancarainya, ia mengatakan; pendeta harus rajin membaca, jangan karena di desa membaca dianggap tidak perlu. Kalau pendeta malas membaca, khotbahnya pun jadi “pollung tubu” (apa yang muncul saat itu-pen) Nasehat AA Sitompul ini terngiang kembali, ketika ada yang mengeluh mengenai kotbah pendeta dari itu ke itu, bolak-balik—sudah pernah dikotbahkan diulang lagi. “Pendeta kami kurang membaca, khotbahnya tidak menarik. Mulak-ulak. Tidak ada persiapan,” komentar salah satu warga gereja. Ada juga benarnya komentar warga gereja ini. Apalagi pendeta yang melayani di kota besar seperti Medan, Bandung, Jakarta, buku dan membaca adalah kebutuhan yang harus dipelihara. Bayangkan, seorang pendeta lima tahun melayani pada satu gereja (resort) berapa kali dia berkotbah dalam satu minggu, belum lagi ke kategorial, punguan, partangiangan. Bagaimanapun “hebatnya” pendeta berkotbah suatu saat pasti mengalami kejenuhan—habis kamus. Tahun pertama, kedua dan ketiga kotbahnya masih menarik, maklum masih banyak stok. Tahun keempat dan kelima mulai kalang kabut. Mengatasinya, tidak ada jalan lain kecuali banyak membaca buku, majalah, surat kabar, rajin bersilancar di dunia maya. Pokoknya harus senantiasa mengaktualisasikan diri sehingga bisa berdampingan dengan kehebatan teknologi komunikasi masa kini. Bukan mengada-ada, soalnya, warga gereja yang dialayani sudah terbiasa dengan website, internet, bayangkan kalau pendeta membuka email pun susah. Orang sudah terbiasa membuka Alkitab Elektronik, pendetanya boro-boro membuka, melihat pun belum pernah? Betul, tidak jaminan menguasai website, internet lebih hebat, tapi paling tidak menambah wawasan dan percaya diri. Kebutuhan buku bagi pelayaan gereja sudah keharusan apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Tak heran, beberapa gereja di Jakarta sudah menyisihkan dana untuk pos pemebelian buku dan internet pelayaan (pendeta) Ini langkah maju yang perlu dicontoh. Menarik cerita Pdt Dr Richard M Daulay, Sekretaris Umum PGI, bagaimana dia mempersiapkan kotbahnya. “Saya tidak berani berkotbah kalau saya tidak mempersiapkan materi kotbah dengan benar. Kadang harus saya ke toko buku membeli buku dua sampai tiga di luar buku-buku tafsir, “ ucap Richard. Begitu juga Pdt Dr Einar M Sitompul, yang sering diundang ceramah dan berkotbah di berbagai gereja, selalu mempersiapkan kotbahnya dan banyak membaca. Pendeta ini sejak mahasiswa sampai sekarang kebiasaan membeli buku secara teratur masih terus dilakoninya. Tiada hari tanpa membaca. Ke mana saja dia selalu membawa buku dan tentu membacanya. Ketika pendeta di Bandung, hampir semua tempat penjualan buku bekas dijelajahinya. Sekarang pun kegemaran itu masih terus ditekuninya, jangan heran kalau suatu ketika ketemu Einar Sitompul di tempat penjualan buku bekas di Pasar Senen, Jakarta. “Tidak harus baru kan, yang bekas pun masih bagus, yang penting isinya,” kata Einar sewaktu kami sama-sama di Bandung yang pernah menghadiahkan saya buku “Speaker’s Sourcebook” karya Eleanor Doan. Memang repot kalau pendeta kurang membaca! bas

HKBP Harus Jelas Jati Dirinya

Menjelang 150 tahun HKBP pada 2011, Ephorus Pdt Dr Bonar Napitupulu di hadapan 1300 pendeta kembali menegaskan, HKBP perlu semakin jelas dan tegas akan jati diri sebagai suatu gereja yang hidup dan berkembang di dunia ini. Identitas inilah yang sekaligus membedakan HKBP dengan gereja lainnya. “Pernyataan HKBP adalah HKBP adalah juga sikap konsisten gereja ini terhadap jati dirinya. Dia punya ciri khas yang jelas yang dituangkan dalam Aturan dan Peraturan, Konfesi, RPP dan Agenda HKBP, “ kata Bonar Napitupulu saat menyampaikan bimbingan pastoral pada Rapat Pendeta di Sipoholon baru-baru ini. Begitu juga mengenai tohonan (jabatan) Ephorus Napitupulu menjelaskan, tohonan, bukan jenjang karier, tetapi merupakan panggilan yang dikelola secara profesional. Ia juga menyinggung pemahaman HKBP berkaitan dengan pelaksanaan perjamuan kudus, khusus mengenai roti, ditegaskan supaya seragam dan memperhatikan konteks berlakunya. Misalnya tentang roti yang diponggoli (dipecah). Selain teologi, ia pun mengingatkan pendeta HKBP supaya menghayati jati diri pelayanan yang holistik termasuk pembagian tugas pelayanan pendeta. Hal yang sama dilontarkan Ketua Rapat Pendeta Pdt Dr Jamilin Sirait, pimpinan HKBP bersama Ketua Rapat Pendeta (KRP) perlu menunjukkan sikap pada situasi yang sedang berkembang atau isu-isu yang hangat. Ke depan, menurut Jamilin Sirait, KRP sebaiknya dijabat pendeta yang berkualitas dan mampu mengayomi semua pendeta HKBP. Bahkan mengenai figur dan posisi KRP termasuk yang dibahas dalam kelompok. Kelompok mengusulkan, KRP dilembagakan dan berkantor di Kantor Pusat HKBP. Komisi-komisi yang ada di HKBP supaya bernaung di bawah KRP. KRP mengikuti dan menentukan jadwal Rapat Pendeta Distrik HKBP. Rapat pendeta juga membahas tentang persembahan dan liturgi. Persepuluhan yang kurang populer di kalangan warga HKBP salah satu topik yang dibahas. Persepuluhan adalah bentuk persembahan yang juga bisa dilakukan warga HKBP. Agar pemahaman persepuluhan ini seragam, perlu dibuat dokumen teologisnya dan menjadi dokumen resmi HKBP. Kelompok mengusulkan supaya dibuat tata ibadah “Tohonan Evangelis.” Sedangkan mengenai Konfesi dan RPP ada sejumlah topik yang ditambahkan. Seperti gereja dan negara/pemerintah, manusia dan kesetaraan gender, iman dan Iptek, pernikan, kekerasan, hak asasi manusia, keadilan sosial dan hubungan kekristenan dengan adat. Begtiu juga isu pemanasan global, homoseks dan lesbian, pembangunan rumah ibadah, penjualan manusia (human trafficking) aborsi, bayi tabung, NAPZA, HIV/AIDS dan terorisme. Termasuk Komisi Teologi agar merumuskan ajaran Kristen yang menjadi pegangan warga HKBP. Misalnya mengenai: doa, ibadah, pernikahan dan persembahan. Dokumen lain yang dibahas dan termasuk yang baru dalam pendeta HKBP adalah Kode Etik Kependetaan HKBP. Kode etik ini sebagai pedoman praktis bagi pendeta HKBP saat menjalankan tugas kependetaannya. Salah satu pasal menyebutkan, “Pendeta HKBP sebaiknya tidak membawa persoalan HKBP ke luar HKBP. Pedenta HKBP harus senantiasa berusaha mengatasi persoalan dalam jemaat/unit pelayanan. Jika seorang pendeta tidak mempu menyelesaikan konflik/persolan dalam pelayanan, maka dia harus mengakui secara jujur kepada pimpinan. “Pendeta HKBP yang terbukti sengaja menciptakan persolan (konflik) dalam tugas pelayanan, sebaiknya keluar dari pendeta HKBP.” Mengenai pendeta yang aktif dalam politik juga diatur dalam Pasal 11 ayat tujuh, “ Pendeta HKBP yang aktif berpolitik praktis, menjadi anggota legislatif, pengurus partai, aktivis LSM dan bekerja di lembaga di luar HKBP yang memperoleh rekomendasi dari Ephorus HKBP, tetap terhitung sebagai pendeta HKBP yang melayani di luar HKBP.” Kode etik ini juga mengatur pemakaian baju toga (baju tohonan). “Pendeta HKBP tidak diperbolehkan memakai baju toga untuk kegiatan demonstrasi, pengadilan, kampanye dan kegiatan politis lainnya.” Namun kelompok yang merumuskan Kode Etik Kependetaan HKBP mengusulkan, dokumen ini masih perlu diperbaiki khusus redaksional dan sebaiknya melibatkan beberapa ahli yang berkaitan dengan isi kode etik tersebut. Meskipun rapat ini diwarnai interupsi pada hari pertama saat sesi orientasi, namun semua acara berjalan dengan baik dan berhasil memilih Ketua Rapat Pendeta HKBP yang baru periode 2009-2013. Pdt Willem TP Simarmata MA terpilih menjadi KRP HKBP. (bas)

Empati

Empati, suatu sikap humanis (nilai-nilai kemanusiaan) yang termasuk disenangi beberapa sarjana komunikasi saat proses komunikasi, termasuk pada tingkat komunikasi antarpribadi. Sebut misalnya, Yoseph DeVito yang menempatkan empati dalam tabel perspektif humanistis. Stephen W Littlejohn dan Karen A Maros, keduanya adalah profesor di Univercity of New Mexico termasuk di antara sarjana tersebut. Paparan kedua profesor ini dituangkan dalam buku “Theories of Human Communication.” Sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, 2009. Empati adalah suatu sikap yang dimiliki seseorang yang senantiasa berorientasi pada posisi orang lain. Hanya saja, memposisikan diri terhadap peranan orang lain bukanlah hal gampang. Soalnya, memahami orang lain atau kelompok yang ada di di luar kelompok kita dibutuhkan kerelaan berkorban yang terkait dengan status—pangkat, jabatan dan kekuasaan. Pada tahap berkorban seperti inilah kesulitan serta benturan kepentingan kerap muncul membayangi rasa empati seseorang. Biasanya yang tampil kepermukaan adalah sifat egoistis dan kemudian sifat ini berupaya menghalangi sikap empati menjadi sebatas simpati saja. Hanya sebatas ucapan, lips service. Aduh kasihan! Apalagi kalau status sosialnya jauh lebih tinggi daripada orang yang ada di sekitarnya—ada kesulitan menanggalkan status (pangkat, jabatan, kekuasaan) yang disandangnya. Jangankan melepaskan atribut sosial, melepas gelar yang disandang pun kadang kala susahnya minta ampun. Lucunya, marah-marah ketika gelarnya tidak dicantumkan di depan namanya. Padahal, tidak selalu gelar kesarjanaan harus dicantumkan di depan nama atau di belakang nama. Kecuali berkaitan dengan konteks keilmuan. Di Amerika misalnya, jarang orang mencantumkan gelarnya. Paling kalau dia profesor atau doktor, itu pun langka. Tapi ketika menjadi anggota arisan, ronda kampung, panitia pajongjong tugu, daftar lelang apa perlunya gelar dicantumkan? Membuka maupun melepas atribut bagi seseorang tidak ada kompromi, tapi malah kondisi seperti inilah membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih penting, hebat, unggul daripada orang lain. Anehnya, sifat seperti itu ternyata tidak diam dalam suatu wilayah tertertu, tapi juga merambah ke bagian lain. Contoh, agama sayalah yang paling baik, agama orang lain tidak ada apa-apanya, budaya kamilah yang paling hebat, budaya orang lain tidak becus, kelompok kamilah yang paling bagus, kelompok orang lain jelek, partai kamilah yang paling merakyat, partai orang lain hanya mementingkan golongannya. Apabila sifat serba “hebat” ini terus dilakoni dalam pergaulan akan terbentuk suatu perilaku yang dominan terhadap komunitas yang lebih kecil. Beriringan dengan itu, simbol dan lambang keperkasaan dari yang lebih dominan pun ikut heboh menghias ruang publik meskipun terasa dipaksakan. Simbol-simbol itu sekaligus bukti bahwa mereka berkuasa. Sebab, dari balik simbol yang dipamerkan ada pesan komunikasi yang kurang lebih “kami ada di daerah ini dan taatilah aturan kami.” Bukan itu saja, kadang simbol atau lambang tersebut membuat orang lain menjadi gamang dan takut—tidak merasa nyaman berada di wilayah itu. Pemaksaan lambang, simbol atau atribut di ruang umum adalah bentuk lain dari perampasan nilai kebersamaan yang seharusnya dilindungi dan dirawat bersama. Strategi komunikasi yang begini adalah wajah lain dari kesewewenangan yang dipicu nafsu semata. Menurut teori Thomas Hobbes, ahli filsafat dan ahli politik Inggris, manusia pada mulanya dikuasai nafsunya sehingga sifatnya mirip serigala (lupus) yang tak segan-segan memakan kawannya sendiri (homo homini lupus) Gambaran homo homini lupus masih sering terjadi di belahan dunia ini tidak terkecuali Indonesia. Banyak contoh yang dapat disaksikan dalam praktek kekuasaan yang didominasi kelompok besar dan berkuasa. Mulai dari kasus Bank Century, kasus Gayus Tambunan dan tragedi Koja, Tanjung Priok. Peristiwa di kawasan Makam Mbah Priuk, Koja, Jakarta Utara, salah satu contoh yang sangat releven dengan teori Thomas Hobbes. Adegan saling membantai, memangsa, memakan, membacok, membunuh kawannya sendiri. Padahal tak perlu terjadi tragedi itu, seandainya setiap orang mendahulukan sikap empati. Sebab, empati adalah salah satu sikap mulia dan kesatria yaitu memahami orang lain dengan cara masuk ke dalam diri orang itu. Empati dapat mencairkan komunikasi yang beku di antara dua pihak yang bertikai. Karena empati dapat merasakan langsung, terlibat langsung (action) ke dalam pribadi orang lain sehingga benar-benar dapat memahami orang tersebut. Bukan hanya memahami dari bagian luar atau kulitnya. Hanya melihat dari permukaan bisa tertipu seperti fata morgana, hanya banyangan semu—inti persoalan tidak jelas. Inilah nasehat Yesus yang sangat empati. “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” (Lukas 6:31) baharuddin silaen

Menigkatkan Emosional Anak

Kecerdasan emosional (emotion quotient) adalah kemampuan mengetahui emosi yang dirasakan serta mampu mengendalikannya. Emotion quotient ini menyangkut kemampuan mengatur suasana hati, mengendalikan kemarahan serta rasa takut, berempati dengan orang lain, bertahan saat stres dan tetap mampu berpikir rasional serta tidak berlebihan saat senang. Orang tua adalah pelatih utama emotion quotient (EQ) anak. Pada tahap ini yang perlu dilakukan orang tua adalah memahami emosi anak dan menjelaskan apa yang dirasakan. Misalnya, ketika anak marah, usahakan dia tau apa yang sedang dirasakannya. Lontarkan beberapa pertanyaan saat dia mengalami emosi kuat. “Kamu kesal ya?” “Lagi sedih? “Kamu lagi marah sama temanmu?” Mengenal emosi yang dirasakan anak langkah penting dalam mengelola emosinya. Menyadarkan anak lalu mengambil respon positif dari setiap emosi yang dialaminya. Hindari menghina anak. Seperti mengucapkan, “kog begitu aja marah?” “Bikin malu saja, soal kecil bikin kamu ngamuk seperti itu? “Sudah jangan nangis kayak anak kecil aja!” Respon seperti itu membuat anak menutup emosi, menghindari dan malah membuat respon berlebihan jika emosinya tak mampu dibendung lagi. Perlu diperhatikan orang tua, jangan biarkan anak menumpahkan emosinya tanpa batas. Seperti merusak mainan, membongkar semua isi lemari dan menginjak-injak bajunya karena kesal. Ini adalah bentuk pelepasan emosi yang tak terkendali. Orang tua harus mengendalikannya selaku pelatih EQ anak. Hal lain yang penting diperhatikan orang tua. Jangan menghina anak jika mengalami emosi marah atau takut atau terlalu sedih. Jangan abaikan perasaan anak dan malah menawarkan “suap” seperti kue atau permen saat anak sedih atau marah. Jangan biarkan secara ekstrim anak menumpahkan kekesalannya, seperti membiarkan anak merusak mainannya saat kesal. Duduklah bersama anak, pahami perasaannya, kemudian bantu anak menemukan cara efektif menurunkan emosinya. Adakalanya, tanpa banyak bicara, hadir bersama anak dan memahami apa yang dirasakan sangat membantu anak. Lakukan hal kreatif dan tawarkan pada anak cara mengelola emosinya. Upayakan jangan ada paksaan, tapi biarkan anak memilih sendiri. Sangat baik dan benar, apabila orang tua menjadi pendengar efektif dan biarkan anak mengatakan apa yang dirasakan. Sangat bijak, apabila orang tua meluangkan waktu berdua dan biarkan anak aman dan nyaman dengan kehadiran Anda. Orang tua harus terbuka dan peka dengan emosi anak. Kedekatan emosi dalah langkah lain yang perlu dilakukan orang tua. Selain itu, meluangkan waktu bersama anak dan melakukan hal yang disukainya termasuk cara ampuh pengajaran EQ. Orang tua selaku pelatih EQ anak harus menunjukkan keberanian luar biasa. Membantu anak memahami emosinya secara tak langsung menjadikan Anda juga sadar akan emosi yang dialami. Langkah ini bukan saja menjadikan anak bahagia, tapi juga mendorong orang tua lebih bahagia. Anak yang dibesarkan oleh orang tua yang paham emosi akan tumbuh menjadi anak yang menunjukkan banyak kasih sayang dan tak banyak berbenturan dengan orang tuanya. Anak akan lebih bahagia dan jauh dari hal berbahaya seperti penggunaan obat terlarang. Meningkatkan EQ anak adalah langkah penting yang bukan saja membuat anak jadi orang bermanfaat bagi masyarakat, juga orang tua yang lebih paham dan mencitai diri apa adanya. Sering orang tua berpendapat, anak yang intelligence quotient (IQ) kecerdasan intelegensi tinggi akan berhasil dalam hidupnya kelak. Pendapat itu tidaklah selamanya benar. Karena itu jangan anggap remeh terhadap emotion quotient (EQ) kecerdasan emosional anak. Ternyata di dunia kerja, orang dengan kecerdasan emosional (EQ) tinggi malah diminati banyak perusahaan. Manejer yang andal tak hanya jago mengelola pekerjaan timnya, tapi juga mengendalikan emosi saat memimpin dan beriteraksi. Anak dengan EQ tinggi tidak patah di saat sulit tapi bertahan dan semakin dewasa. Dia mampu bangkit kembali dalam waktu singkat dan jadi lebih berhasil. Sifat seperti itulah yang ditemukan pada pribadi anak yang memiliki EQ yang tinggi. Ada pendapat bahwa IQ nyaris tetap. IQ anak tidaklah berubah banyak saat dia dewasa. Lain halnya dengan EQ yang masih bisa ditingkatkan. Orang tua bisa membantu anak agar kecerdasan emosionalnya bertambah. EQ bisa dipelajari dan dilatih. Bicara soal emosi dan otak, tidak lepas dari soal amigdala. Amigdala adalah pusat memori yang menggantikan emosi dengan seluruh kejadian atau situasi yang dialami. Ini adalah bagian otak yang membuat kita bertindak tanpa sempat berpikir. Misalnya tiba-tiba menceburkan diri ke kolam renang saat melihat anak tenggelam. Ini terjadi tanpa sempat kita memoroses langkah apa yang dilakukan. Memutuskan terjun ke kolam renang adalah tindakan yang diambil tanpa melalui bagian otak rasional. Ini dilakukan oleh bagian otak emosional kita dalam waktu sangat cepat. Amigdala adalah pusat segala hal yang berkaitan dengan emosi. Amigdala menyisipkan semua kenangan dan respons emosi pada setiap kejadian, situasi atau benda. Bau melati menyisipkan kenangan wangi nenek serta rasa nyaman bersamanya. Bau densol mengingatkan perasaan tak enak dan menderita waktu di rumah sakit. Hidung dan mata kita menangkap bau serta benda yang dilihat. Informasi ini kemudian dikirim ke thalamus. Di thalamus sinyal ini dikirim ke neokorteks. Ini yang membuat amigdala lebih berperan dalam merespon yang kita lakukan saat genting. Artinya emsoi bisa jadi penentu respon yang diambil. Bagian otak paling primitif manusia adalah pusat emosi, dari batang otak terbentuklah pusat emosi. Kemudian baru jutaan evolusi manusia, neokorteks atau bagian otak untuk berpikir analitis dan rasional tumbuh di atasnya. Jadi, emosi adalah bagaian paling tua dan sudah ada sebelum adanya otak rasional. Ini juga membuat kita sadar bahwa emosi memegang peranan penting dalam kebahagian hidup. bas/healthylife

Sumber Petaka Merebakdari Jantung Keagamaan

Semua agama mengkalaim dirinya pembawa damai, menolak kekerasan dan menerima perbedaan sebagai anugerah. Sayang klaim damai yang digemborkan masih sekedar teori, yang kelihatan justru sikap mencurigai yang berujung petaka. Anehnya, justru dari jantung keagamaan itu sendiri sumber pertikaian bagi umat manusia yang sama-sama beragama. Apa sebenarnya pemicu sentimen agama ini? Langkah apa yang ditempuh meredam konflik agama di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia? Suara HKBP mewancari Pdt Willem TP Simarmata MA, mantan Sekretaris Jenderal HKBP (1998-2004 dan 2004-2008) Ketua Umum PGI Wilayah Sumatera Utara (1999-2005 dan 2005-2011) dan Ketua Umum FKKGSU (2007-2012) Berikut ini petikan wancara itu. Apa sebenarnya fungsi agama di tengah masyarakat majemuk? Begini, agama sebenarnya bukanlah sesuatu yang asing bagi kemanusian dengan segala persoalannya. Apa pun bentuknya agama sangat erat hubungannya dengan manusia. Ia bukan agama kalau tidak manusiawi. Ia dibentuk dan dilembagakan oleh manusia tetapi substansinya serta ajarannya tidak bisa dilepaskan dari manusia sebab ajarannya bersumber dari Tuhan. Agama tidak hanya berbicara soal hubungan antara Allah dan manusia , tetapi juga soal hubungan antarmanusia bahkan dengan seluruh ciptaan Allah. Fungsi agama adalah panduan bagi umat manusia bagaimana ber-Tuhan, bermasyarakat dan memperlakukan sesama umat manusia. Benarkah agama mendukung tegaknya keadilan dan kesejahteraan masyarakat? Benar! Agama mendukung tegaknya keadilan dan berupaya memajukan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada satu agama pun di dunia ini yang tidak mendukung tercipatnya keadilan dan kesejahteraan bagi manusia. Karena itu agama harus mampu saling merangkul, seperti negara kita Indonesia penduduknya majemuk, sifat-sifat saling menghargai dan menghormati itu harus terus ditingkatkan. Supaya hal itu dapat terwujud, lembaga keaagamaan melalui tokoh agama harus bekerja keras mendukung semua aspek yang dapat menegakkan keadilan tersebut. Bagaimana Anda melihat ketika orang beragama merusak rumah ibadah, apakah ini keadilan? Dalam kasus ini, saya melihat ada pemahaman yang kurang terbuka terhadap agama yang berbeda. Sebenarnya harus dipahami, agama tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Ini menjadi persolan, ketika agama disalahartikan secara sempit—hanya sarana mengagungkan nama Tuhan atau hanya “menyenangkan” hati Tuhan, tapi lupa terhadap sesama umat manusia yang ada di sekitarnya. Seolah-olah agama adalah urusan Tuhan. Ini pulalah pemicu kebencian sehingga tidak segan-segan mengorbankan yang lain karena berbeda agama dan merusak rumah ibadah karena bukan satu agama. Apa yang salah? Penafsiran barangkali yang keliru. Kemudian, perlu dihindarkan, jangan sampai agama identik dengan tumpukan larangan atau hukum terhadap perbuatan yang tidak benar. Ajaran agama sejatinya menjadi inspirasi bagi umat untuk melakukan hal-hal positif kepada sesama umat beragama. Apa yang harus dilakukan, supaya impian itu terwujud? Pemimpin agama harus terus menerus menjelaskan kepada umatnya, orang beragama harus bertanggung jawab kepada sesama meskipun berbeda keyakinan untuk memajukan keadilan, kebersamaan, kesejukan sehingga terbentuk kehidupan masyarakat yang lebih baik serta bermartabat, damai dan rukun. Seperti itulah pantasnya gambaran kehidupan umat yang mengaku beragama. Agaknya, tidak salah mencontoh apa yang dilakukan agama lain dalam perihal berbuat baik terhadap yang lain. Hampir semua pemimpin agama mengklaim bahwa ajaran agama apa pun menolak kekerasan apalagi membunuh, apakah Anda melihat itu sudah terwujud di Indonesia? Pertama yang perlu diperhatikan adalah peranan agama itu sendiri, harus dilihat dari sudut positif. Dengan demikian tumbuhlah saling meghargai. Tapi kalau agama selalu dilihat dari sisi negatif yang muncul malah sikap curiga. Bagaimana mau duduk bersama kalau terus-menerus ditanamkan sifat negatif terhadap agama tertentu. Dalam suatu bangsa dan negara majemuk, siapa pun dia, harus melihat sumbangan agama di Indonesia sangat nyata dalam membangun kehidupan umat, baik spiritual maupun moral masyarakat. Karena itu harus mampu menghargai perbedaan yang ada. Perbedaan bukan awal dari perlawanan dan permusuhan. Agama-agama berbeda karena sejarah manusia memang berbeda. Umat manusia diciptakan Tuhan tidak sama, makanya ada perbedaan dan perbedaan itu harus diterima sebagai anugerah bukan persoalan? Kalau hal ini dipahami bersama, suasana hidup umat beragama di Indonesia akan bertambah indah dan sikap saling mendukung serta menghormati pun tidak lagi hanya impian belaka. Jangan-jangan agama Kristen pun ikut bikin masalah? Makanya, jangan hanya melihat kesalahan agama orang lain, kita pun perlu intropeksi secara kritis terhadap penampilan agama kita (Kristen) Siapa tau di dalamnya ada sikap dan perilaku yang merugikan masyarakat atau barangkali mengancam persatuan umat beragama. Siapa tau justru kita sendiri yang mengundang pihak lain membeci dan mencurigai ajaran yang kita anut. Saya pikir kualitas iman perlu terus dibina jangan hanya menambah jumlah umat yang dikejar. Pemimpin agama jangan hanya mengejar target agar pengikut Kristus terus bertambah dan banyak jiwa yang diselamatkan, tapi lupa mengajarkan bagaimana selayaknya umat Kristen hidup dengan umat yang berbeda agama. Agar sikap netral gereja tetap terjaga, sebaiknya posisi gereja bagaimana? Gereja harus cerdas jangan sampai terbawa arus kelompok dan partai tertentu sehingga menjadi sumber konflik. Ini yang musti dihindari, agar gereja jangan sampai terseret kepada posisi diperalat bagi kepentingan pihak tertentu. Dengan begitu indepensi kenetralan gereja tidak terusik oleh kekuatan dari luar. Harus juga dijaga, gereja bersama dengan lembaga keagamaan lainnya jangan menyerahkan moralitas politik kepada elit politik begitu saja. Sebab, keikutsertaan gereja dan lembaga keagamaan lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah menegakkan dimensi moral dan etika. Jangan lupa, bangsa atau negara tanpa moral dan etika akan selalu menghasilkan penyalahgunaan kekuasaan menindas sesama warga masyarakat. Langkah apa sebaiknya yang harus dilakukan dalam hal ini gereja di tengah masyarkat majemuk. Pendapat Anda? Saya pikir, gereja perlu mendalami teologi yang dianut, apakah mencerminkan perilaku inklusif atau eksklusif? Harus diingat, klaim kebenaran hanya milik kelompok sendiri adalah bentuk arogansi yang mengganggu kebersamaan. Pimpinan gereja harus berfungsi sebagai nabi yang memegang peran kontrol sosial dan pengawal demokrasi. Gereja juga harus peduli dan punya program jelas terhadap persoalan kemiskinan, HAM, korban bencana alam, dan korban HIV/AIDS. Gereja juga harus tegas terhadap tindakan anarkisme yang melawan hukum adalah juga sesuatu yang harus diwaspadai, sebab pada akhirnya akan mengganggu kebersamaan di tengah-tengah bangsa. Anda punya ide yang harus segera dilakukan gereja ke depan? Ya, saya punya ide, supaya ditinjau dan dirumuskan kembali teologi yang dianut gereja. Tapi, rumusan itu sebaiknya hasil langsung dialog dengan konteks masyarakat plural, termasuk menempatkan umat lain dalam rumusan. Saya pikir, gereja pun perlu merumuskan ulang pemahaman akan misinya. Termasuk strategi penginjilannya harus dalam konteks masyarakat majemuk. Selain merumuskan ulang teologi, apa lagi menurut Anda yang mendesak dilakukan gereja? Dialog. Saya pikir ini yang mendesak, gereja harus semakin terbuka kepada dialog. Dialog yang kita maksud bukan hanya sekedar diskusi dan percakapan atau seminar tetapi juga menyangkut kesediaan menerima keberadaan umat lain, sehingga bisa saling belajar dan memahami pengalaman rohani umat lain. Bagaimana dengan kurikulum pendidikan teologi, apakah ini juga penting ditinjau kembali? Tentu sangat penting. Kurikulum pendidikan teologi di berbagai perguruan teologi termasuk buku pelajaran di gereja perlu disesuaikan dengan tantangan zaman. Selain itu, kesadaran plural untuk memperkokoh kebersamaan, kesatuan dan persatuan bangsa harus terus dikumandangkan. Gereja harus secara terus menerus menyuarakan dan menolak kekerasan dalam bentuk apa pun dan memprakarsai hidup rukun dan damai dengan umat lain di dunia ini. (bas)

Bukan Orang Kristen?

Hampir semua tulisan (opini) maupun berita yang dikirim ke redaksi majalah ini sering dijumpai pilihan kata yang tidak tepat. Bukan hanya di majalah ini, di media cetak dan media elektronik pun kesalahan serupa juga ditemukan. Memang, pilihan kata (diksi)yang tepat dalam penulisan sangat penting, supaya pembaca tidak menduga-duga atau menafsirkan sendiri makna kata tersebut. Sebaiknya harus konkrit dan jelas serta tidak bermakna ganda. Ketepatan pilihan kata, menurut Gorys Keraf, kesanggupan kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. (Diksi dan Gaya Bahasa, hal 87) Apa yang terbayang ketika membaca kata “orang?” Pastilah manusia, bukan hewan atau mahluk lain. Orang adalah kata ganti dari manusia. “Kamu orang apa?” Orang Batak, Jawa, Sunda, Minang, Ambon, Betawi, Bugis, Madura, Toraja. “Kamu manusia apa?” Maknanya sudah lain, sebab pilihan kata kurang pas. Ada 10 pengertian “orang” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. Orang artinya; manusia, sesuatu manusia, diri sendiri, penolong bilangan bagi manusia, anak buah, rakyat, suku, orang lain, karena (sebenarnya) dan manusia yang mempunyai sifat (orang kaya) Dari kesepuluh pengertian tersebut tidak satu pun yang menyinggung keyakinan, kepercayaan maupun yang berkaitan dengan agama. Itu berarti, kata orang tidak tepat dipergunakan menyebutkan agama yang dianut seseorang. Contoh; orang Kristen, orang Islam, orang Katolik, orang Budda, orang Hindu. Kata orang yang dipakai di awal sebutan agama ini, tidak tepat dan salah kaprah. Pilihan katanya ngaur, tentu maknanya pun jadi berantakan. Yang benar adalah agama Kristen, bukan orang Kristen? Tidak ada orang Kristen. “Dia orang Batak agamanya Kristen.” Ini yang benar dan jelas. Sedangkan untuk menjelaskan orang yang memeluk agama tersebut, disebut “umat” (jemaat) bukan “orang.” Misal, “perayaan Paskah dihadiri ribuan umat Kristen yang datang dari Jabodetabek. “Umat Kristen di dunia memperingati kematian Yesus Kritus pada Jumat Agung.” Umat beragama harus saling mengasihi. Bukan orang beragama? Bukan orang Kristiani, tetapi umat Kristiani. Kata Kristiani, belakangan ini sering dipergunakan baik dalam tulisan maupun lisan. Kata ini dipungut secara utuh dari bahasa Inggris, Christianity—agama Kristen atau yang berhubungan dengan kekristenan. Pilihan kata yang tidak tepat, juga dijumpai pada pemakaian kata “jemaat” dan “gereja.” Contoh, “penjelasan mengenai program tahun marturia diharapkan meningkatkan kepedulian jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini bisa diartikan ganda oleh pembaca, yaitu; warga gereja, atau gereja (gedung) itu sendiri. Soalnya, kata jemaat kadang kala diartikan dengan gereja. Inilah membuat bingung. “Resort ini punya lima jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini apakah gerejanya (gedung) atau anggota gerejanya? Supaya jangan membingungkan, tulislah “jemaat atau warga gereja,” apabila yang dimaksud adalah warganya (ruas) Apabila yang dimaksud adalah gereja (lembaga, gedung) tulislah gereja, bukan jemaat. “Resort ini punya lima gereja,” bukan “resort ini punya lima jemaat.” Soalnya, tidak masuk akal satu resort hanya punya lima anggota jemaat (orang) Contoh pilihan kata yang benar; “Beberapa rumah jemaat HKBP di Jakarta teredam banjir.” “Sampai saat ini surat izin membangun gereja belum diperoleh.” Ingat, bukan surat izin membangun jemaat. Sebenarnya, dari etimologi (asal-usul) katanya pun sudah jelas perbedaan arti antara gereja dengan jemaat. Kata jemaat berasal dari kata “jama’a” (Arab) dalam bahasa Ibrani disebut qahal, assembly—Inggris, ekklesia—Yunani. Kata ekklesia sering dipergunakan dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan dengan jemaat. Dalam Kisah 7:38 diterjemahkan “sidang jemaah” (gathering) Ekklesia juga diterjemahkan “sidang rakyat” (Kisah 19: 39) Dalam Matius 16:18, ekklesia, diterjemahkan “jemaat.” Atau kumpulan orang yang dipanggil keluar (out of to call) Berdasarkan penjelasan ini, kata jemaat adalah sebutan khusus kepada warga/umat penganut suatu agama (Kristen) Lain halnya dengan gereja, berasal dari kata igreja, Portugis, church, Inggris, kerk, Belanda, kirche, Jerman, gareja (huria) Batak. Kata ekklesia kadang diterjemahkan gereja. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, gereja adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen. Orang yang datang berkumpul ke gereja, itulah yang disebut jemaat. Cermatlah memilih kata, agar pesan yang disampaikan dapat dipahami pembaca (pendengar) sebagaimana yang diinginkan. Kata-kata berikut ini mempunyai makna tersendiri; melihat, memandang, menatap, melirik, menengok, melongok, mengintip, jelilah memilihnya. Pilihan kata yang tepat bukan saja enak dibaca tetapi juga menjadikan kata-katanya komunikatif. Cobalah! Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran mengenai jurnalistik, silahkan menghubungi Baharuddinsilaen @ yahoo.com

Bisakah Tuhan Dipercaya?

Membaca judul buku “Bisakah Tuhan Dipercaya” (Can God Be Trusted) sudah bikin penasaran dan sedikit gusar. Buku ini selain rumit, juga diperlukan kesabaran membaca ulang setiap bab agar dapat memahami isinya. Maklum buku ini dikemas dengan logika filsafat yang amat kritis ketika menganalisis segala kejadian di dunia ini. Jika Tuhan benar-benar Maha Kuasa dan Maha Pengasih, mengapa ada begitu banyak kejahatan di dunia ini? Lalu, penulis buku ini mencoba mengurai kegamangan umat manusia melalui pendekatan yang lebih mendalam dan rinci sekaligus memadukan gagasan para filsuf dan teolog untuk menyikapi kejahatan di dunia ini. Dalam buku ini John G Stackhouse memberi contoh tatanan kehidupan yang inkonsistensi. Bersalah atas sesuatu dan mendapatkan ganjarannya adalah satu hal. Namun, di sekitar kita, yang bersalah makin makmur dan yang tidak bersalah justru menderita. Terlalu sering terjadi kejahatan malah menguntungkan. Sementara kebajikan tidak menghasilkan apa-apa selain kebajikan itu sendiri. Jika kita tidak dapat menjawabnya, John menyarankan, sebaiknya tidak menuduh Tuhan dan berpikir lebih keras tentang apa yang kita maksudkan dengan bersalah dan tidak bersalah. Segala sesuatu mungkin tidak segamblang yang kita pikirkan. Tidak ada gunanya bersikap sinis dan memandang dunia atau setiap hal di dunia sebagai sesuatu yang mengerikan, karena memang tidak demikian? Orang harus memutuskan apa yang paling masuk akal bagi dirinya, seperti yang disarankan beberapa agama untuk melihat kebaikan dalam dunia sebagai ilusi atau pengalih perhatian saja. Beberapa filsuf kontemporer telah berargumen bahwa masalah antara Tuhan dan kejahatan dapat diselesaikan dengan cukup baik bila kita dapat berkesimpulan bahwa dunia ini, secara keseluruhan adalah dunia yang baik. Rangkain pikiran filsuf secara mudah ditemukan dalam buku Jonh G Stackhouse yang juga dosen di University of Manitoba, Winnipeg, Kanada. Penulis buku ini, juga berbagi pengalaman spiritual kepada pembaca, agar dapat bertahan di dunia ini ada realitas yang harus dihadapi. Sebagai individu dan sebagai komunitas, kita berada dalam kodisi negatif: kita tidak damai, kita sudah rusak, lemah, jahat, tidak stabil dan merusak shalom. Dalam hati dan relasi, kita jauh dari utuh dan sudah seperti itu sepanjang sejarah. Yudaisme, Kristen dan Islam menyebut kondisi ini dosa dan dosa harus dihadapi dan diselesaikan. Buku yang diterbitkan Kelompok Gramedia ini menyarankan sikap hati-hati dan tidak gegabah menghakimi orang lain. Kita harus berhati-hati, dengan apa yang kita minta saat kita ingin agar Tuhan menghancurkan kejahatan di dunia ini. Tuhan memang dapat melakukannya dengan banjir besar yang akan menyapu bersih semuanya. Namun, bukankah pemusnahan anak-anak yang tak berdosa, hewan dan tumbuhan itu juga merupakan kejahatan? Sebenarnya Tuhan dapat memusnahkan manusia yang jahat saja dan meninggalkan yang baik. Hanya saja, siapa di antara kita yang akan masuk ke salah satu kategori itu. Saya sendiri tidak sepenuhnya baik dan Tuhan yang sempurna pasti menerapkan standar yang sempurna. Standar yang demikian akan memusnahkan saya beserta keluarga dan teman saya. “Apakah Anda dan orang-orang yang Anda kasihi siap diuji?” John bertanya. Jika Tuhan, karena alasan tertentu, ingin menikmati persekutuan dengan mahluk ciptaanNya, maka Tuhan bertindak adil dengan menciptakan dan membiarkan kita bebas, seperti yang sudah terjadi untuk menjadi diri kita sendiri, juga untuk berdosa dan sebagainya. Kita tidak akan pernah tahu mengapa Tuhan menjalankan dunia seperti yang Dia lakukan sekarang, tetapi kita dapat mengetahui apakah Tuhan dapat dipercaya untuk menjalankannya dalam suatu cara yang baik. Kaum teis, seperti agama Yahudi, Kristen dan Muslim mengindentifikasi standar kebaikan obejektif ini sebagai karakter dan kehendak Tuhan. Di luar Tuhan tidak ada standar kebaikan di alam semesta ini, begitu juga dengan standar untuk mengevaluasi Tuhan. Tuhan adalah standarnya, Tuhan itu baik! John Stackhouse dengan berani menajikan pandangan para pemikir besar ketika bergumul dengan masalah kejahatan, seperti Buddha, Confusius, Agustinus, David Hume, Martin Luther, CS Lewis dan Alvin Platinga. Penulis tidak menyembunyikan perihal kontradiksi yang ada di sekitar kita—sebab Tuhan Maha Baik yang mengizinkan adanya penyakit mematikan, bencana alam, cacat lahir dan kejahatan keji yang membawa penderitaan dalam hidup. Stockhouse bertanya, apakah dunia tanpa kejahatan adalah dunia paling baik untuk kita? Apakah hidup tanpa penderitaan akan menjadi hidup paling berarti? Apakah kehendak bebas akan tetap ada jika kita hanya memilih yang baik saja? “Manfaat kejahatan sesungguhnya melebihi harga yang harus dibayarnya,” ujar John. bas

Tanda Baca Titik Dua

Pernahkah Anda bingung kapan digunakan tanda baca “titik dua” (:) dalam tulisan? Jangan cemas, Anda tidak sendirian. Mulai sekarang cobalah cermat dan tepat menggunakan tanda baca tersebut. Apalagi Anda gemar menulis di media massa memang harus paham karakter serta fungsi tanda baca—tidak terkecuali titik dua. Semua tanda baca: koma, titik, tanda petik, titik koma, titik dua, tanda seru, tanda tanya, masing-masing punya fungsi. Termasuk pemakaiannya sudah baku—bukan asal ditulis—bukan pula sesuai selera penulis. Ada aturan main yang musti ditaati dan berlaku untuk semua tulisan resmi dan karya tulis ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi) Khusus pemakaian tanda baca titik dua sering dicantumkan tidak pada tempatnya. Seperti yang dijumpai dalam tulisan yang dikirim ke majalah Suara HKBP. Terpaksa bagian penyelaras bahasa harus bersabar memperbaikinya agar tanda baca tersebut pas di “kavlingnya.” Editor pun dengan sangat hati-hati dan sangat menyesal harus menggati atau membuangnya, maklum acap kali tidak tepat penggunaannya. Kendati cuma tanda baca, tapi jangan dianggap remeh—sebab salah pemakaian dan posisi bisa mengurangi nilai gagasan yang terdapat dalam kalimat. Biasanya pemakian tanda baca yang benar dan tepat ikut mempermudah pembaca memahami pesan dalam gagasan yang diuraikan penulis. Itulah sebabnya penyelaras bahasa surat kabar maupun majalah adalah orang yang benar-benar paham tanda baca sehingga bisa memperbaikinya apabila terdapat kesalahan dalam naskah yang dikirim ke redaksi. Umumnya kesalahan terhadap pemakaian titik dua disebabkan faktor pemahaman yang minim. Lantaran tidak mengerti kapan dipakai dan apa fungsinya otomatis tanda baca tersebut asal ditulis begitu saja. Namun kebiasaan “buruk” seperti itu masih bisa diperbaiki—tentu asal mau belajar. Sebenarnya, sejak SD ketika belajar bahasa Indonesia semua tanda baca sudah dipelajari. Guru bahasa Indonesia memberitahu, ketika membaca kalau ada tanda baca koma dalam kalimat, berhenti sebentar. Bila ada tanda baca titik, berhenti agak lama. Maksudnya ada interval waktu, sehingga makna ungkapan dalam kalimat menjadi lebih kuat dan pesannya tambah jelas. Nasehat guru ini ternyata masih terus dipelihara dengan baik oleh para presenter radio dan televisi. Bagi penyiar radio dan televisi tanda baca termasuk unsur penting yang musti diperhitungkan keberadaannya. Bayangkan, kalau penyiar radio atau televisi ketika membaca berita tidak ada koma dan tidak ada titik—apa jadinya? Kembali ke titik dua. Ingat, pemakaian titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti rangkaian atau pemeri. Misal, “Sekolah yang baru itu memerlukan: meja, bangku, papan tulis, lemari dan rak buku.” “Dalam perlombaan tersebut: peringkat satu, dua, tiga dan juara harapan satu mendapat bonus Rp 5 juta.” Artinya, kalau dalam kalimat terdapat lebih dari dua rangkaian pernyataan atau pemeri, saat itulah titik dua dipakai. Kalau hanya satu saja, tidak perlu titik dua digunakan. “Sekolah yang baru itu memerlukan meja.” Sedangkan pemakaian titik koma sebenarnya tidak jauh berbeda dengan titik dua. Titik koma dipergunkan apabila pernyataan terdiri atas beberapa gagasan dalam kalimat. Contoh; “Ada cara baru mengendalikan penyakit demam berdarah dan malaria; bikin mati muda nyamuk pembawanya, Aedes aegypti dan Anopheles. “Harga yang harus dibayar kelewat mahal; lebih dari 750 orang tewas sampai Jumat pecan lalu, seperempatnya anak-anak tak berdosa.” Hindarilah cara penulisan titik dua berikut. “Kondisi industri semen pada tahun ini sungguh berkebalikan dengan tahun lalu: sampai November penjualan semen di pasar domestik sudah hampir 35 juta ton: sampai akhir tahun kemungkinan besar akan bisa mencapai 38 juta ton.” Tanda baca titik dua dalam kalimat ini tidak tepat, sebab kalimat ini bukan pernyataan lengkap yang diikuti rangkaian atau pemeri. Jangan lupa, titik dua tidak perlu dicantumkan dua atau tiga kali dalam satu kalimat, cukup sekali, itu pun harus di akhir pernyataan. Contoh, “Rentetan dampak krisis finansial global semakin terasa di berbagai bidang, seperti: industri tekstil, sektor properti, pabrik yang mengakibatkan jumlah karyawan yang PHK terus bertamabah” Fungsi lain titik dua, ia bisa menggantikan kata: yaitu, yakni, adalah, berikut ini, dan sebagai berikut. Betul, titik dua adalah tanda baca yang punya andil menghemat kata atau dikenal dengan istilah ekonomi kata dalam jurnalistik. Tidak sedikit kata yang bisa dihemat melalui titik dua. Karena itu, pemakaian titik dua secara tepat sama artinya menghidari pemborosan dan penghamburan kata. Misalkan dalam kalimat ada kata; yaitu, yakni, adalah, berikut ini dan sebagai berikut, mulailah menggantikannya dengan tanda baca titik dua. Jangan ragu-ragu menghapus kata-kata tersebut—lalu cantumkan titik dua—beres! Sejak itulah, ekonomi kata dalam penulisan di media massa tidak boleh dipandang sebelah mata—baik oleh penulis apalagi editor harus benar-benar menguasainya. Hemat atau tidak boros kata adalah ciri penulisan di media massa yang harus diperhatikan para penulis yang ingin menjadi penulis kreatif dan profesional. Nah, mulailah bersahabat dengan tanda baca titik dua. Penulis pengajar di Fisipol UKI mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Email: baharuddinsilaen@ yahoo.com dan Alamat blog, baharuddinsilaen@yahoo.com (Bas)

Kata Depan di Kapan Dipisah?

Sudah 28 tahun usia Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kita pergunakan, namun masih sering dijumpai kesalahan dalam menuliskan kata atau kalimat. Kesalahan seperti itu bukan saja dijumpai di surat kabar, tetapi juga dalam karya ilmiah seperti skripsi, tesis dan desertasi. Apakah itu penulisan huruf kapital dan huruf kecil, penggunaan koma, titik koma, titik dua. Kesalaham serupa juga ditemukan pada penulisan kata depan “di” dan “ke.” Kapan ditulis padu dan kapan dipisah dari kata yang mengikutinya, tampaknya masih kacau? Untuk membedakan mana di yang harus dituliskan terpisah dan mana di yang musti diserangkaikan, inilah kuncinya. Kata kerja yang berawalan di ialah semua kata yang menjadi jawab pertanyaan “diapakan dia” atau “diapakan benda itu” maka awalan di harus ditulis serangkai dengan kata di depannya. Misal; diapakan dia? Dipukul, ditendang, ditikam, dicubit, dimaki, dicium, dipeluk, dibakar, dilempar, diserbu, diserang, dimarahi, dibasmi, dipermalukan, dihina, dipindahkan, diseret, dimakan, diperas, diperbaiki, dicabut, dicuri, dibrenggus, dibreidel, dipecat. Gampang bukan? Contoh kalimat yang salah. “Gedung PGI di lempari batu oleh Satpol PP.” Penulisan yang benar, “Gedung PGI dilempari batu oleh Satpol PP.” “Beberapa mahasiswa di pukuli Satpol PP” Yang benar adalah “Beberapa mahasiswa dipukuli Satpol PP” Bagaimana membedakan kata depan di tetapi harus ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Supaya jangan ragu-ragu menuliskannya, ingatlah pedoman berikut ini. Semua kata yang menjadi jawab pertanyaan “di mana” pastilah kata depan di dituliskan dengan dua patah kata yang terpisah. Sebab, kata depan di, jenis ini mempunyai kedudukan sebagai “kata” dan fungsinya menyatakan tempat. Misal; di mana dia? Jawab; di pasar, di rumah, di sana, di Jakarta, di Medan. Kata depan di yang juga fungsinya menyatakan tempat harus dituliskan terpisah dari kata di depannya. Misal; di sana, di sini, di situ, di atas, di bawah, di tengah, di samping, di depan, di pinggir, di tepi, di belakang, di dalam, di luar, di sawah, di sebelah, di kiri, di kanan, di seberang, di timur, di barat, di hutan, di desa, di kota, di pelosok, di lembah dan di bukit. Contoh penulisan yang salah. “Pendaki berada dipuncak gunung.” Seharusnya “Pendaki berada di puncak gunung.” Dipinggir jalan banyak pedagang berjualan.” Yang benar adalah “Di pinggir jalan banyak pedagang berjualan.” Lalu, bagaimana dengan kata depan ke dan dari. Ini pun tidak berbeda dengan cara penulisan kata depan di yang berfungsi menjelaskan keterangan tempat. Kata depan ke dan dari harus dipisah dari kata yang mengikutinya. Misal; ke sana, ke mana, ke pasar, ke rumah, ke sawah, ke kiri, ke bukit, ke atas, ke tepi, ke belakang, ke gereja. Dari mana, dari sana, dari gereja, dari sawah, dari Medan, dari belakang, dari atas, dari bawah, dari kali, dari timur. Contoh penulisan kata ke yang salah. “Dia menyebarkan isu kemana-mana.” Penulisan yang benar “Dia menyebarkan isu ke mana-mana.” Dilarang belok kekiri.” Yang benar “Dilarang belok ke kiri.” Namun, harus diingat, ada beberapa bentuk kecuali. Kata kepada dan daripada selalu harus dituliskan serangkai. Demikian juga dengan kata kemari dituliskan serangkai sebagai sepatah kata, karena tidak ada pasangannya di mari dan dari mari. Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas, kita dapat menghindari kesalahan dalam menulis kata dengan awalan di maupun ke. Penulis pengajar di Fisipol UKI, Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat dengan jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Bloger Baharuddin Silaen—Bas

Mempertanggungjawabkan tanggung jawab

Penulisan kata gabung di beberapa media cetak masih sering dijumpai kesalahan, seharusnya digabung malah dipisah dan semestinya dipisah malah digabung. Sebetulnya, dalam buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” cukup jelas diuraikan cara penulisan kata gabung tersebut. Kesalahan seperti itu dapat dimaklumi. Pasalnya, belum tentu pemakai bahasa menguasai pedoman umum ejaan baru tersebut atau jangan-jangan melihat bukunya pun belum pernah? Harap diingat, kata gabung harus ditulis terpisah sebagai dua kata. Demikian pula kata gabung yang diberi awalan atau akhiran dituliskan terpisah sebagai dua patah kata, tetapi apabila kata gabung itu diapit oleh awalan dan akhiran sekaligus, maka kata gabung itu dituliskan serangkai. Contoh kata gabung yang dipisah; tanggung jawab, bertanggung jawab—hanya mendapat awalan. Tetapi kalau kata gabung tersebut (tanggung jawab) diapit oleh awalan dan akhiran, maka harus ditulis serangkai—mempertanggungjawabkan, dipertanggungjawabkan, pertanggungjawaban. Contoh lain; beri tahu, diberi tahu, beri tahukan. Apabila mendapat awalan dan akhiran harus ditulis padu—memberitahukan, diberitahukan, pemberitahuan. “Jangan beri tahu dia sebelum persoalannya jelas.” “Pemerintah memberitahukan kenaikana harga BBM sebulan lalu.” “Saya mendukung permintaan Gus Dur agar pimpinan PKB mepertanggungjwabkan seluruh dana yang diterima,” kata Hetty Koes Endang. Ada gabungan kata, lazim disebut kata majemuk yang harus ditulis terpisah. Misal; duta besar, meja tulis, orang tua, kambing hitam, mata pelajaran, rumah sakit umum, kereta api cepat luar biasa. “Jangan cari “kambing hitam” dalam persoalan itu?” “Tidak tepat “mengambinghitamkan” kemiskinan pemicu kejahatan.” Para orang tua murid memorotes kenaikan harga buku. Rumah sakit umum di kota itu memiliki dokter spesialis anak. Gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata harus ditulis serangkai atau padu. Misal; bismilah, barangkali, padahal, daripada, kepada, apabila, bilamana, bagaimana, manakala, matahari, bumiputra, syahbandar, peribahasa, belasungkawa, olahraga, sediakala, segitiga, sekalipun, meskipun, walaupun, sukacita, sukarela, sukaria, saputangan, saripati, dukacita, darmawisata, kacamata, kasatmata, acapkali, adakalanya. Ada juga unsur bahasa berkombinasi dengan unsur lain, ini pun harus ditulis padu. Misal; amoral, antarkota, caturtunggal, mahasiswa, prasangka, nonkolaborasi, poligami, semiprofesional, swadaya, ultramodern, biokimia, infrastruktur, inkonvensional, mancanegara, swadaya, telepon, panteisme, narapidana, tritunggal, multilateral. Inilah penulisan kata “antar” yang benar. “Sopir bis antarkota sudah tiga hari mogok.” “Belum lama ini terjadi tawuran antarpelajar.” Kata antar dengan kata yang mengikutinya harus ditulis padu. Tetapi, hati-hati dengan penulisan kata “antara.” “Jarak antara kota dengan desa sekitar lima kilometer.” Kata antara dituliskan terpisah dengan kata di depannya. Apabila kata yang dilekatinya itu berhuruf awal kapital, maka diberi garis tanda hubung—non-Indonesia, non-Kristen. Selain penulisan yang salah, sering juga dijumpai pelafalan kata yang salah. Misal; TV (televisi), dibaca “tivi.” Seharusnya “teve” sesuai lafal huruf ‘t” dieja “te” bukan “ti,” begitu juga huruf ‘v’ dieja “ve” bukan “vi.” Mana ada “tilivisi” yang benar adalah “televisi.” Kesalahan serupa terjadi pada pelafalan “apotek,” sering disebutkan “apotik.” Padahal tidak ada kata “apotiker” yang betul adalah “apoteker.” Dari sinilah asal kata apotek—rumah obat (tempat menjual obat-obatan) apoteker—ahli obat Demikian juga Indonesia, dilafalkan “Endonesia.” Cobalah simak saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan, “Endonesia Raya” bukan Indonesia Raya. Huruf ‘i’ dilafalkan menjadi ‘e.’ Kenapa huruf ‘i’ bunyinya menjadi ‘e’? Peraturan itu dari mana dan siapa yang memulai kesalahan itu? Lalu bagaimana menyebutkan “Indosat, Indomie, India, indah, induk, injak, apakah juga dilafalkan dengan ‘e,’ “Endosat,” “Endomie,” “Endia,” “endah,” “enduk,” “enjak.” Ada-ada aja. Bukan main seronoknya bahasa kita. Baharuddin Silaen, pengajar di Fisipol UKI, Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang tertarik dengan jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@yahoo.com.

Kata Rancu

Kata rancu adalah kata yang kacau. Dalam bahasa Inggris disebut contamination. Diindonesiakan menjadi “kontaminasi”—artinya kurang lebih “kerancuan.” Asal kata “rancu”—sama dengan kacau. Sedangkan “kontaminasi”—pencampuran yang tidak disengaja. Kontaminasi dalam bahasa (ungkapan) ialah pencampura bagian ungkapan yang satu dengan bagian lain. (Rosihan Anwar, Bahasa Jurnalistik dan Komposisi) Ibarat makanan yang terkontaminasi dengan bahan kimia misalnya, makanan bisa berubah warna atau rasanya menjadi hambar atau malah berbahaya bila dimakan. Kira-kira seperti itulah kata rancu dalam tulisan—bisa berubah artinya, termasuk makna kata dalam kalimat jadi hambar atau kacau, tapi tidak sampai berbahayalah! Asal tau saja, hampir semua tulisan yang masuk ke redaksi Suara HKBP ditemukan kerancuan dalam bahasa atau “gejala” kontaminasi. Beruntung desk editor (penyalaras bahasa) majalah ini berbaik hati memperbaikinya. Lucunya, dan kadang bikin jengkel, kesalahan yang sama masih juga diulangi penulis yang sama, padahal sudah “dirapikan” kata rancu tersebut dari tulisan sebelumnya. Tapi tidak apalah! Itulah alasannya rubrik “Bahasaku” ini diupayakan terus tampil di Suara HKBP. Siapa tau ada yang melirik serta ada manfaatnya bagi penulis yang suka kirim tulisan ke Suara HKBP. Kata-kata rancu atau kontaminasi yang perlu diwaspadai antaralain: “untuk sementara waktu,” “sementara orang,” ” selain daripada itu,” “ berhubung karena,” “oleh karena itu,” “ oleh sebab itu,” “ demi untuk,” “ agar supaya.” Contoh penulisan yang salah yang dikutip dari berbagai tulisan dan berita. “Karena jalan-jalan tergenang air, untuk sementara waktu jalur lalulintas dialihkan.” Kenapa rancu kalimat ini? Karena dalam kata “sementara” sebenarnya sudah terkandung makna “waktu.” “Sementara” adalah keterangan waktu—artinya “sedang.” Jadi tidak perlu dicantumkan lagi “sementara” sebab sudah ada kata waktu. Penulisan yang benar, “Karena jalan tergenang air “untuk beberapa waktu” jalur lalulintas dialihkan.” “Jalan tidak dapat dilalui kenderaan karena air masih tinggi, sementara orang terpaksa jalan kaki.” Pemakaian kata “sementara orang” keliru, yang betul adalah “ Jalan tidak dapat dilalui kenderaan karena air masih tinggi, “beberapa orang” terpaksa jalan kaki.” Bukan “sementara politisi,” tetapi “beberapa politisi.” Bukan “sementara kalangan,” tetapi “beberapa kalangan.” Jangan tulis “sementara mahasiswa” tapi “beberapa mahasiswa” “Selain daripada itu” ungkapan ini salah. Yang benar, “selain itu” atau “lain daripada itu.” Kata “selain itu” biasanya digunakan sebagai keterangan tambahan dari pernyataan sebelumnya. Misal, “Rumah, sawah dan jalan-jalan terendam banjir, “selain itu” bantuan juga belum ada diterima para pengungsi.” “Berhubung karena” dalam ungkapan ini pun terdapat kerancuan atau salah pasangan. Seharusnya “berhubung dengan” atau kalau ragu tulis saja “karena,” amankan? Ungkapan lain yang sering tidak disadari rancu; “oleh karena itu” dan “oleh sebab itu.” Kedua ungkapan ini paling “laris manis” dalam tulisan. Penulisan yang tepat adalah “karena itu” atau “sebab itu.” Kata “oleh” sebaiknya dihilangkan saja. Tidak ada faedahnya. Biasanya kata “karena itu” dan “sebab itu” muncul di awal kalimat. Contoh, “Karena itu, pemerintah DKI berupaya keras menanggulangi banjir yang hampir setiap tahun melanda Jakarta.” Penulisan yang salah, “Oleh sebab itu, semua pengungsi banjir diharapkan mendapatkan pengobatan.” Yang benar, “Sebab itu, pemerintah diharapkan segera mendatangkan bantuan makanan kepada pengungsi.” Kata “oleh” dan “sebab” sering dirancukan pemakaiannya, sehingga selain tidak hemat kata, ungkapan “oleh sebab itu” termasuk mubazir atau tidak bermanfaat. Begitu juga “demi untuk” dan “agar supaya” jangan dicampur-adukan. Karena “demi” dan “untuk” sama artinya. Begitu juga “agar” dan “supaya” tidak ada bedanya. Pilih saja salah satu, “agar” atau “supaya” saja. Jangan takut membuang salah satu kata tidak perlu dipaki dua-duanya—rancu! “Pendeta dalam kotbahnya mengatakan, “agar supaya” jemaat saling membantu dan mendoakan,” Buanglah salah satu dari dua kata tersebut. “Pengendara sepeda motor diwajibkan memakai helem, “demi untuk” keselamatan pengendera.” Tidak ada beda “demi” dan “untuk” pilih saja salah satu “demi” atau “untuk.” Cobalah, pasti tidak rancu lagi! Penulis mengajar di Fisipol UKI mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Email: baharuddinsilaen@yahoo.com

Angka Satu Sampai Sembilan Ditulis Dengan Huruf

Pada tulisan sebelumnya, dikemukakan, bahasa jurnalistik yang lazim digunakanan para jurnalis mempunyai ciri-ciri; singkat, padat, sederhana, lancar, jelas,lugas, menarik dan netral. Selain ciri-ciri tersebut, masih ada beberapa kaidah bahasa jurnalistik yang perlu diperhatikan ketika menulis pada media cetak, yakni; penulisan angka dan singkatan. Penulisan angka dalam jurnalistik, seperti angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf, bukan angka. Misal; “Baru-baru ini 3 praeses dilantik di Jakarta.” “Tahun ini ada 9 pendeta pensiun.” “Polisi menangkap 7 orang bandar narkoba.” Penulisan yang benar; “Baru-baru ini tiga praeses dilantik di Jakarta.” Tahun ini ada sembilan pendeta pensiun.” Polisi menangkap tujuh orang bandar narkoba.” Contoh lain, “Rumah itu berukuran lima kali sembilan meter.” Bukan, “Rumah itu berukuran 5 x 9 m.” Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh delapan kilometer.” Bukan, “Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh 8 km.” “Ia menyumbangkan 5 % dari pendapatannya ke panti asuhan.” Penulisan yang benar, “Ia menyumbangkan lima persen dari pendapatannya ke panti asuhan.” “Gajinya per bulan Rp 5.000.000.” Tulislah seperti berikut, “Gajinya per bulan Rp 5 juta.” Sedangkan angka 10 dan seterusnya harus ditulis dengan angka. “Dikabarkan ada 10 orang terluka pada saat kericuhan Pilkada.” Pada pemilihan bupati, Ruben unggul 23 suara dari lawannya.” “Dilaporkan ada 12 orang terkena HIV/AIDS.” Namun, ada kekecualian, kalau di awal kalimat terdapat angka, harus ditulis dengan huruf. Misal; “Sepuluh mahasiswa harus mengikuti ujian ulangan.” “Seratus warga desa mendapat bayar langsung tunai.” Tetapi, kalau jumlah itu tidak pasti, atau kurang lebih 1.000 orang misalnya, tulislah, “Ribuan pengunjuk rasa mendatangi kantor bupati.” Apabila ditaksir 100 orang, tulislah, “Ratusan penduduk desa protes karena izin penambangan pasir diperpanjang.” Apabila jumlahnya di atas 10 orang, tulislah “Puluhan penumpang bis terlantar di terminal.” Boleh juga ditulis seperti ini, “Sawah penduduk yang tergenang banjir kurang lebih 50 hektar “Sedikitnya, 15 rumah habis terbakar.” “Ditaksir kerugian akibat kebakaran itu Rp 2 miliar.” Penulisan seperti ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak) hasil perkiraan wartawan di lapangan. Hati-hati terhadap penulisan angka yang diawali huruf. Harus dimbuhkan tanda penghubung (-) antara huruf dengan angka. Misal; “HUT RI ke-63 diperingati.” Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang ke-5.” Atau boleh juga dengan cara berikut, ”Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang kelima.” “HKBP pada 2011 jubileum yang ke-150.” “Perguruan itu peringkat ke-9 terbaik dari 25 perguruan tinggi.” Kalau angka ditulis dengan huruf, harus digabung dengan huruf yang mengawalinya. “Dia juara ketiga dalam pertandingan catur.” Pedoman lain yang perlu diingat dalam penulisan di mass media. Jangan terlalu rajin menulis singkatan. Seperti; dll, sbb, yg, tsb, dst. Singkatan tersebut harus ditulis utuh—dan lain-lain, sebagai berikut, yang, tersebut, dan seterusnya. Khusus “dan lain-lain” harus hati-hati mencantukam dalam tulisan. Acap kali penulis mengimbuhkan “dan lain-lain” tapi tidak jelas apa maksudnya? Contoh; “Kantor itu dilengkapi bermacam perabot, seperti; lemari, rak buku, meja tulis, televisi, computer, mesin photocopy, dll. Apa yang dimaksud dengan dll pada kalimat tersebut—“dan lain-lain” itu apa? Siapa yang tau “dan lain-lain?” Jikalau memang masih ada lagi perabot di kantor itu, sebutkan saja, jangan ditulis “dan lain-lain.” Tetapi kalau memang sama sekali tidak tau lebih baik jangan ditulis dll. Ini namanya penulis yang tidak bertanggung jawab—mau enaknya saja! Sebaiknya, hindarilah cara penulisan seperti itu. Kebiasaan ini mungkin diambil alih dari model restoran yang mencatumkan dll pada menu makanan dan minuman yang dijual di restoran tersebut. Sedangkan penulisan “ukuran panjang,” harus ditulis utuh—bukan disingkat, antara lain; meter, kilometer, hektar, sentimeter. Contoh penulisan yang salah. “Lebar jalan itu 5 m. Kecepatan rata-rata 100 km per jam. Luas sawah itu 4 ha. Panjang pulpen itu 10 cm.” Penulisan yang benar; “Lebar jalan itu lima meter.” Kecepatan rata-rata 100 kilometer per jam.” Luas sawah itu empat hektar.” “Panjang pulpen itu 10 sentimeter. Hampir sama dengan penulisan bilangan pecahan; setengah, seperempat, sepertiga, tiga per empat, dua per tiga, ditulis dengan huruf. “Berat ikan itu setengah kilogram.” Akibat banjir sepertiga sawah penduduk yang siap panen terendam air.” “Sawah itu baru seperempat yang ditanami padi.” “Pekarangan rumah itu tiga per empat untuk serapan air.” “Jumlah warga yang memilih sekitar dua per tiga.” “Luas lahan yang tidak terurus 25 meter per segi.” Bukan, “Luas lahan yang tidak terurus 25 m2.” Sekali lagi, pola penulisan ini berlaku dalam bahasa jurnalistik yang biasa digunakan surat kabar. Penulis pengajar di Fsipol UKI, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat terhadap jurnalistik silahkan bergabung di email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Blooger Baharuddin Silaen—BAS

Asal Bukan Allah

Adalah Pdt Steven Djie STh (42 tahun) Ketua Sinode Gereja Kristen Holistik paling gusar hatinya gara-gara nama Yahweh dalam Alkitab diterjemahkan menjadi Allah. Dia pun berang, Tuhan tidak pernah menyuruh namaNya diganti, Yahweh adalah nama Tuhan kita sepanjang zaman, bukan Allah? Pdt Steven Djie pun bergerilya menghimpun dukungan agar nama Allah lekas “ditipeks” dari kitab suci umat Kristen dan diganti dengan Yahweh. Ternyata sudah tiga sinode yang blak-blakan menolak Yahweh diterjemahkan dengan Allah. Mereka adalah kelompok “Asal Bukan Allah” (ABA) Gerakan “ABA” ini bermula dari keluh-kesah Pdt Suradi tentang sebutan Allah yang dianggapnya najis, lalu ditanggapi Peter Wagner dan Pdt Everthat G Awuy, dari GPDI. Alasan mereka, menghapus nama Allah itu bukan sekedar fanatisme nama, tetapi faktor pengalaman getir pun ikut memicu, bahkan secara biblikal pun mereka siap diadu. Soalnya, gelombang penganiayaan yang menimpa umat Kristen di Indonesia yang berujung pada pembantaian antara Islam dan Kristen dijadikan fakta pendukung bahwa Allah umat Islam berbeda dengan sesembahan Tuhan umat Kristen. Itulah salah satu alasan mereka untuk membabat habis nama Allah dalam Alkitab. Menurut Steven Djie, “Allah” itu nama Tuhannya umat Islam, bukan sekedar sebutan. Itulah sebabnya, umat Islam tidak pernah menterjemahkan Allah dengan God atau Lord. Islam lebih memilih nama Allah sebagai sesembahan mereka. Selain penganiayaan atas nama Allah, mereka juga menemukan kekeliruan yang amat fatal, setelah mengutak-atik asal-muasal nama Allah, ternyata nama Allah adalah nama dewa. Tentang Allah sebagai nama dewa yang mengairi bumi, sudah pernah beredar leafleft (brosur) 1999 oleh Iman Taqwa Kepada Shiraathal Mustaqim (penulis pernah mendapatnya sekali) bertajuk “Siapakah yang Bernama Allah itu.” Disebutkan, nama “Allah” yang digunakan dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) adalah nama dewa bangsa Arab yang tidak layak digunakan umat Krsiten. Karena itu, nama “Allah” itu harus dicomot dan diganti dengan nama “Elohim” sebab, Allah yang disembah orang Arab bukan Eloim yang disembah orang Yahudi dan Nasrani.” Tidak puas sampai di situ, kelompok “ABA” ini juga menerbitkan “Kitab Suci 2000” diterbitkan oleh Bet Yesua Hamasiah. Dalam “KS 2000” versi “ABA” ini nama Allah diganti menjadi Eloim, tanpa “h.” Ada lagi “Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan” dikeluarkan oleh Jaringan Greja-gereja Pengagung Nama Yahweh. Anehnya, mereka justru membajak Alkitab terbitan LAI dan menyingkirkan nama Allah, lalu mengantinya dengan nama Elohim atau Tuhan. Termasuk judul-judul perikop pun dihilangkan dan beberapa nama diganti dengan bahasa Ibrani, terutama nama “Allah” diganti dengan Eloim, nama TUHAN (PL) diganti dengan Yahweh sebagai nama “Tuhan” dalam Perjanjian Baru (PB) diganti dengan Yahweh dan “Yesus Kristus” diganti Yesus Hamasiah. Paling aneh lagi versi “Kitab Suci 2000” ini, nama Yahweh ditulis dalam Perjanjian Baru menggantikan nama Allah. Padahal semua tau, teks asli Perjanjian Baru mempergunakan bahasa Yunani, bukan Ibrani. Dr Daud H Soesilo, seperti dikutip Herlianto, mengemukakan, “Dalam terjemahan bahasa Melayu dan Indonesia, kata “Allah” sudah digunakan terus menerus sejak terbitan Injil Matius dalam bahasa Melayu yang pertama (terjemahan Albert Corneliz Ruyl, 1629) Begitu juga dalam Alkitab Melayu yang pertama (terjemahan Melchior Leijdekker, 1733) dan Alkitab Melayu yang kedua (terjemahan Hillebrandus Cornelius Klinkert, 1879) sampai saat ini. Di Indonesia… telah dikerjakan terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia modern, yang lazimnya dikenal sebagai Alkitab Terjemahan Baru (TB) yang pertama kali terbit 1974. Proyek penerjemahan Alkitab TB telah dimulai 1952 dan berkahir 1970 dan dikerjakan bersama oleh ahli-ahli biblika dan bahasa, baik orang asing maupun orang Indonesia. Sejak pertengahan 1970-an, LAI menyelenggarakan berbagai proyek penerjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah. Yang pertama diterbitkan ialah Perjanjian Baru bahasa Indonesia Sehari-hari, disusul dengan penerbitan Alkitab lengkap dalam bahasa-bahasa daerah sehari-hari.” Ketika brosur “Siapakah Yang Bernama Allah itu” beredar ke mana-mana, pihak LAI pun kala itu segera mengirim surat edaran kepada gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen, agar cermat menaggapi dan tidak terpengaruh dengan isi traktak tersebut. Sebelum heboh tentang nama Allah, sudah pernah ada yang membahas nama Allah dalam buku “Who is this ALLAH” karya GJO Moshay, cetakan kedua 1995, kendatipun beredar tersembunyi dan dalam lembaran pertama ditulis “Eksklusif untuk kalangan sendiri sebagai studi perbandingan agama.” Isinya nyaris sama, merpertanyakan nama “Allah” yang oleh penulisnya meragukannya sebagai Tuhan sesembahan umat Kristen. Sama halnya dengan buku “Islamic Invasion Confronting the World’s Fastest Growing Religion” karangan Robert Morey, pakar teologi dan apologetika. Buku ini juga menyoal siapakah yang bernama Allah itu? Kenapa tidak ada ampun terhadap nama Allah sehingga harus dijungkirkan dari Alkitab terbitan LAI itu? Siapakah yang bernama Allah itu sebenarnya? Buku yang ditulis Pdt Herlianto MTh “Siapakah Yang Bernama Allah Itu? sangat membantu memberi jawaban. Dipaparkan dalam buku yang diterbitkan BPK ini, beberapa nama Tuhan yang ditulis dalam Alkitab. Nama Tuhan yang pertama disebutkan Alkitab adalah Elohim (Kejadian 1: 1) Padananya El dan Eloah, El (Ia) merupakan nama diri Tuhan dalam bentuk tunggal, tapi bisa juga dipakai saat menyebut Tuhan. Sedangkan Elohim merupakan bentuk jamak dan kadangkala digunakan sebagai nama diri, namun pada umumnya sebagai sebutan untuk Tuhan. Eloah, bentuk tunggal dari Elohim. Nama inilah menurut Herlianto pada mulanya digunakan dalam Kejadian 31: 13. “Akulah Allah (El) yang di Betel (rumah El) itu. “Allah (Elohim) Israel ialah Allah (El) Kejadian 33: 20. Sebutan El, semula dikenal sebagai Allah di atas allah (The Supreme God) atau Allah Maha Tinggi (The Most High God) dan dalam Alkitab Ibrani (PL) digunakan untuk menyebut Allah Israel. El sebagai nama diri disejajarkan dengan nama Yahweh (Kej. 28: 16-19) Dalam sajak Bileam disebut bahwa El tidak lain adalah Yahweh yang membawa umat Israel keluar dari Mesir (Bilangan 23:8, 19, 22-23, 24: 4, 8, 16, 23) Nama El pada tempat lain disebut lagi sejajar dengan Yahweh (Mazmur 85: 8-9, Yesaya 42: 5) dan acap kali dijadikan padanan katanya. Nama El ini tidak sekedar menyebut kata generik sebagai nama diri Allah tertinggi, tetapi dengan gabungan kata lain juga menunjuk nama diri yang nyata (defenitif) seperti El Shaday (Allah Yang Mahakuasa, Kej. 17: 1) El Bethel (Allah Yang di Bethel, Kej. 31: 13) El Roi (Allah Yang Mahamelihat, Kej. 16: 13) dan El Elohe Yisrael (El, Allahnya Israel, Kej. 33: 20) Sedangkan nama Yahweh adalah nama diri yang sebenarnya terdiri dari empat huruf konsonan “YHWH” (atau YHVH) yang disebut Tetragrammaton dan dalam Alkitab bahasa Indonesia (LAI) Perjanjian Lama diterjemahkan sebagai “TUHAN” (semua huruf besar) Dalam tradisi naskah Pentateuch diketahui bahwa nama ini baru dikenal Musa sebagai TUHAN Allah yang membawa umat Israel keluar dari Mesir. Menurut Herlianto, nama “Allah” sudah lama dipakai di kalangan Kristen Arab-Aram. Yesus tidak menggunakan bahasa Ibrani, melainkan Aram dan di atas kayu salip Ia memanggil Bapa dengan nama El/Eloi. Orang Arab pengikut Yesus, penggunaan nama Allah sudah terjadi sejak awal kekristenan. Bahkan pada Konsili Efesus (431) uskup yang memimpin wilayah suku Arab Harits adalah Abd Allah. Begitu juga inskripsi (tulisan kuno) Zabad (512) diawali dengan Bism al-Ilah (dengan nama Allah) lengkap dengan tanda salip diikuti nama-nama Krsiten. Termasuk inskripsi Umm al-Jimmal (abad 6) mencantumkan kata Allahu ghafran (Allah yang mengampuni). Inilah sebagai bukti, nama Allah sudah ada dan telah dipakai oleh umat Kristen jauh sebelum Islam lahir. “Kalau ada kelompok yang mengklaim bahwa Allah hanya merupakan nama sesembahan umat Islam, itulah pertanda ketidakmengertian mereka atas sejarah nama Tuhan,” kata Herlianto. Agaknya, perlu juga disimak yang tertulis dalam Matius 7: 22-23 ini. “Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMu, dan mengusir setan demi namaMu juga ? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyalah dari padaKu, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Minggu, 27 Maret 2011

Calon Presiden Iklan

Baharuddin Silaen Akhir-akhir ini ada pemandangan yang menggoda dilirik, begitu keluar dari rumah—ke mana mata memandang di situ ada potret. Gambar para calon legislatif, calon presiden, berbagai ukuran dan full colour. Ada yang ditempel di tembok, di mobil, di tiang listrik, dipaku di pohon serta direntangkan di tempat strategis supaya gampang dilihat. Hampir semua ruang publik, tidak terkecuali pohon, tiang listrik, pagar, gardu di tepi jalan tidak ada yang sisa dihias gambar-gambar caleg, capres, malah banyak yang tumpang tindih dengan iklan produk—rebutan kavling. Cobalah iseng-iseng perhatikan sepanjang jalan dan jangan lupa membaca isi iklan para kandidat tersebut, mungkin Anda segera bereaksi; setuju, geleng kepala, tertawa, atau mungkin kesal lantaran dibohongi, barangkali juga murka gara-gara pesan iklan politik yang tidak mendidik, menyesatkan? Perhatikan juga wajah para calon yang dipajang; ada yang tersenyum malu-malu, tersenyum sampai kelihatan gigi, ada sama sekali mimiknya kalem bangat dan ada pula yang pelit tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Kalau dari sudut penampilan bolehlah—rata-rata baik; memakai kemeja koko, peci, jas dan dasi. Tak ketinggalan gelar kesarjanaan dipajang dekat nama; Drs, Ir, SH, SE, MA, MSi, Dr. Pokoknya pasang tampanglah! Salahkah gambar-gambar yang bergelantungan di tepi jalan? Terus terang, tidak ada yang salah memajang potret kampanye di ruang publik, terkecuali yang melawan aturan main yang sudah ditetapkan. Semua potret tersebut punya misi yang sama, supaya dipilih. Agar publik mengingat wajah mereka saat pemilihan April mendatang. Makanya semua berupaya menonjolkan diri sambil mengumbar janji. Seakan-akan, inilah saatnya semua simpanan dikeluarkan. Open house. Memang begitulah kompetisi, berlomba untuk pemenang. Namanya juga iklan kampanye. Secara prinsip hampir tidak beda dengan iklan produk. Kalaupun ada perbedaan, tergantung apa yang diiklankan, kalau reklame tentang produk—konsumen supaya membelinya, kalau iklan politik—agar rakyat memilihnya. Mengenai isi pesan hampir mirip; merayu, membujuk, memberi nilai plus ditambah iming-iming. Formulanya semua mirip—berkisah tentang; kehebatan, keistimewan, keunggulan, keperkasaan, kemanjuran, pokoknya serba super; super baik, super peduli, super memihak kepada masyarakat miskin. Sayang lupa memberitahukan; kelemahan dan kekurangan masing-masing. Pada satu sisi, kelemahan dan kekurangan caleg, capres maupun partai politik adalah hal yang sangat manusiawi, bukan aib yang harus disembunyikan. Padahal, memberitahu sisi negatif (kelemahan) adalah ciri informasi yang adil, lengkap dan publik pun perlu tau kelemahan tersebut. Tapi hampir tidak ada yang sudi menorehkan hal itu dalam iklan kampanye politik. Justru pesan iklan yang dipilih; menjelekkan, menghina, melecehkan, meremehkan, menghujat, menyindir, semua yang “berbau tidak sedap” diumbar menyerang saingan politik. Seolah-olah, dengan melontarkan sisi negatif lawan politik akan merubah sikap masyarakat untuk berpaling kepadanya. Jangan salah, hasil penelitian yang dilakukan pakar komunikasi; McCullough, MacLachlan dan Mainpour (1982) berkaitan dengan perubahan dan penguatan sikap (reinforcement) akan lebih gampang merubah sikap orang apabila ia menaruh positif terhadap kemampuan (enforcement) seseorang ketimbang materi iklan yang heboh (great) Baik juga direnungkan pendapat ini, untuk menjaga jangan sampai masyarakat terjebak dalam kemilauan iklan politik. Soalnya, materi iklan sehebat apa pun bisa diciptakan—apalagi punya dana banyak—tapi kepribadian, kemampuan dan kepemimpinan seseorang tidak bisa direkayasa melalui kemasan iklan. Perlu waspada dan jeli terhadap rayuan iklan politik partai yang akhir-akhir ini kian gencar ditayangkan di media elektronik dan dimuat di media cetak. Perlu dipermaklumkan, tidak ada pemimpin (presiden) bangsa lahir dari iklan politik. Capres lahir dari pilihan rakyat yang hidup dari alam demokrasi yang menilai seseorang bukan karena gemerlapnya iklan kampanye, tapi penilaian berdasarkan kemampuan dan kelayakannya. Boleh-boleh saja, dalam iklan tokoh dicitrakan bagaikan malaikat, tetapi dalam image realitas belum tentu berhati mulia. Belum lagi pengalaman masa lalu yang buruk masih melekat, belum pupus dari ingatan orang banyak, bagaimanapun tidak bisa diingkari iklan yang seperti inilah menghasilkan petaka bagi yang bersangkutan. Kasus citra (image) yang menimbulkan bencana karena manipulasi realita pernah diteliti Bernstein (1985) dalam “Gronroos” (1990) Lalu, Bernstein menyarankan kepada yang getol bikin iklan kampanye, program pengembangan dan perbaikan citra harus didasarkan pada realitas. Nah, hati-hati dan cerdaslah menilai iklan politik. Iklan kampanye politik di televisi harus diakui punya daya tarik kuat, apalagi tema yang dipublikasikan masalah sosial, seperti kemiskinan—pesannya cepat merasuk dan cenderung orang langsung memihak kepada figur yang tampil di belakang iklan. Makanya, iklan-iklan politik berkibar di mana-mana serta berebut mendekatkan diri kepada warga miskin, karena dia tau kemelaratan cukup ampuh menggugah simpati orang lain. Jargon iklan pun sengaja dipilih yang bersentuhan dengan kemiskininan untuk mendulang rasa simpati publik, “atas nama orang miskin di bawah pemerintahan yang tidak peduli?” Bukan berarti iklan kampanye tidak berguna? Banyak manfaat iklan politik, paling tidak masyarakat diberikan informasi tentang partai, figur dan program yang dirancang. Bahkan diyakini, semakin sering iklan politik ditayangkan, makin tumbuh kepercayaan publik kepada isi pesan iklan. Lantaran berulang-ulang dipublikasikan, yang dulu dianggap salah, lama kelamaan menjadi kebenaran. Tujuan iklan supaya orang banyak; mengingat, setuju, simpati, mendukung dan kemudian memilihnya pada pemilihan mendatang. Cuma, jangan tekabur memilih yang berkilau dalam kemasan iklan. Ada hal yang harus diperhatikan; iklan politik yang tidak mempublikasikan informasi yang lengkap dan adil, baik sisi positif maupun negatif, sebaiknya perlu dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Selamat berdemokrasi! Penulis pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk UKI dan Fikom UMB Jakarta

Aku Warga HKBP

Baharuddin Silaen Persis 2011 tahun depan, HKBP genap berusia 150 tahun. Meskipun setahun lagi, namun gaungnya sudah bergema di mana-mana. Sebagai orang Batak yang sekaligus Kristen, aku bangga sebagai warga HKBP. Aku bersyukur lahir dan tardidi, malua dan tarpasupasu di HKBP. Tak dapat dipungkiri, pengalaman sebagai warga gereja dimulai di gereja ini. Selain orang tuaku yang sudah lebih awal anggota jemaat HKBP mereka juga memberikan pemahaman serta memperkenalkan gereja ini secara berkesinambungan sehingga kecintaanku terhadap gereja ini terus bertumbuh alami. Aku sebagai warga HKBP, harus mengakui, pemahamanku tentang Bibel pastilah berdasarkan bahasa Batak. Bibel yang kubaca sangat mengena karena bahasa yang digunakan adalah bahasa ibuku. Terus terang, sebagai orang Batak sekaligus warga HKBP sangat bangga terhadap semua itu. Beberapa istilah di HKBP pun satu per satu akrab di telingaku, misalnya: tardidi, malua, martumpol, pelean, partangiangan, pesta gotilon, tingting, manghatindanghon haporseaon, tondi porbadia, marminggu dan hamauliateon. Namun, pengalaman puluhan tahun lalu itu tidaklah serta merta bisa diterapkan lagi saat ini. Bahasa Batak, misalnya, bukanlah bahasa “sorgawi” yang suka atau tidak suka harus tetap dipertahankan dalam kegiatan gereja. Memang pro dan kontra belum reda—tapi pertentangan seperti itu sangatlah wajar. Soalnya, warga HKBP sudah banyak yang lahir di perkotaan—lingkungan yang dihuni pelbagai latar belakang sosial, suku, ras dan agama. Mereka, orang Batak keturunan ketiga yang lahir di luar bonapasogit dan mereka adalah warga HKBP saat ini. Di antara mereka, ada sintua dan tidak sedikit jadi pendeta, bahkan ada yang aktivis HKBP. Apakah mereka harus tersisih gara-gara tidak mengerti dan tidak bisa bahasa Batak? Haruskah bahasa memisahkan mereka dari suatu persekutuan yang gerejani? Pemakaian dua bahasa dalam kebaktian di HKBP adalah sebagai bukti perkembangan yang harus diterima dengan rendah hati. Bahkan tidak jarang parhalado menitip pesan kepada parjamita agar mencampur bahasa Indonesia dalam kotbah. Meskipun kebaktian di gereja itu ada kebaktian bahasa Indonesia. Untuk urusan bahasa seperti ini, memang harus ada yang mau mengalah dan menjauhkan sikap kaku terhadap fungsi bahasa sebagai alat perantara dalam suatu proses komunikasi. Bahkan beberapa gereja di Jakarta ada yang melakukan kebaktian bahasa Indonesia pada kebaktian Minggu pagi dan sore. Sedangkan kebaktian bahasa daerah (Batak) hanya satu kali (kebaktian Minggu siang) Ini adalah juga salah satu fakta di lapangan, sekaligus sebagai antisipasi eksodus warga gereja. Harus juga dimaklumi, menjadi warga HKBP bukanlah otomatis harus lancar ngomong Batak? Boleh saja orang Batak lebih fasih bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Belanda, Prancis dan Mandarin daripada bahasa Batak, apakah karena tidak bisa bahasa Batak, lantas diragukan identitasnya sebagai orang Batak serta eksistensinya sebagai warga HKBP perlu dicurigai? Semua setuju, kalau orang Batak idealnya bisa ngomong Batak. Betul sekali, bahasa Batak perlu dilestarikan jangan sampai punah karena individu pengguna dan pemilik bahasa itu kurang peduli. Tapi jangan pula bahasa dijadikan sebagai satu-satunya alasan mempertahankan identitas suatu gereja seperti HKBP sehingga dengan sigap menyingkirkan apa saja yang tidak berbau Batak. Aku sebagai warga HKBP sangat setuju memelihara serta melestarikan bahasa Batak hingga dunia ini berakhir. Apalagi, bahasa Batak adalah “teman” sehidup semati HKBP yang terus akrab sejak dahulu kala hingga saat ini. Sebab itu, tak perlu gelisah—bahasa Batak tidak akan pernah punah selama HKBP masih berdiri kokoh di dunia ini. Perlu diutarakan, sebagai warga HKBP, aku juga merasa nyaman dan sama sekali tidak terusik ketika berada di pesta adat Batak. Sebab, aku tau, di balik margaku, ada perangkat “Dalihan na Tolu” yang mengatur kekerabatan orang Batak dengan nilai-nilai luhur yang tertib dan santun. Bahkan aku tidak risih ketika suatu waktu ke gereja dengan menyandang ulos. Maklum, gereja tempat di mana imanku dibina bukanlah aliran anti ulos dan adat yang hypocrite. Kembali ke soal bahasa. Sebetulnya dua bahasa dalam kegiatan gereja bukan saja dijumpai dalam kebaktian Minggu di HKBP yang berdomisili di kota, tapi ditemukan juga pada pertemuan akbar di HKBP—seperti rapat pendeta dan Sinode Godang HKBP. Pengalaman saya pertama kali mengikuti rapat pendeta dan sinode sekitar 1980, boleh dikatakan materi rapat dan percakapan masih didominasi bahasa Batak. Tapi, belakangan sudah hampir separoh acara dengan bahasa Indonesia. Tidak terkecuali tata ibadah dan nyanyian dari Kidung Jemaat ikut memeriahkan acara. Memang dalam praktek tidak semua berjalan mulus—ada saja yang aneh? Misalnya, kalau pendeta HKBP tidak fasih bahasa Batak sering dicemoh, apalagi kalau dia pendeta di bonapasogit. Sebaliknya, pendeta yang bahasa Indonesianya “marpasirpasir” sering pula bahan tertawaan di gereja yang di kota. Percayalah, kebiasaan ini masih bisa diperbaiki. Apalagi ke depan—pendeta HKBP tidak boleh tidak harus cakap bahasa Batak dan fasih bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ada hal yang tidak dapat disembunyikan dan benar-benar menjadi kebanggaanku, yaitu; pengelolaan sistem administrasi yang dikemas dengan sistematis, tersusun rapi dan transparan. Aku pun pernah mendengar—di antara lembaga/insitusi resmi negara yang ada di negeri ini, sistem administrasi HKBP termasuk nominasi terbaik? Soal kelemahan dan kekurangan HKBP tentulah ada, tapi maaf, aku tidak membahas itu pada kesempatan ini! Aku sebagai warga HKBP, “bermimpi,” gereja terbesar di Asia Tenggara ini suatu hari nanti punya stasiun televisi yang bergengsi. Aku yakin—mimpi itu bukanlah mengada-ada. Sebab, potensi warga HKBP sangat memungkin untuk itu. Bahkan sumber daya manusia yang ada di HKBP lebih dari cukup yang dapat diajak berpikir luas dengan ide-ide cemerlang. Seandainya ide ini diangkat sebagai momentum 150 tahun HKBP agaknya tidaklah berlebihan. Jumlah warga HKBP yang diperkirakan enam juta jiwa adalah aset HKBP dan berkat Tuhan yang luar biasa kepada orang Batak. Kalau HKBP sudah memiliki TK, SLTP, SLTA, Universitas HKBP Nommensen, STT-HKBP, Rumah Sakit HKBP Balige, Panti Sosial, media Immanuel, Radio Bonafit, Suara HKBP, kenapa tidak, suatu saat HKBP memiliki stasiun TV? Aku juga pernah mendengar, HKBP adalah aset negara sebagai pelaku, pemelihara moral serta menciptakan manusia yang santun, beradab, humanis dan religius. HKBP disebut juga sebagai pilar penopang bangsa dalam mewujudkan kehidupan sosial dan kerukunan umat beragama di Indonesia. HKBP sebagai lembaga keagamaan juga turut serta mendukung program pemerintah untuk mensejahterakan umat. Suatu hal yang aku banggakan sebagai warga HKBP, gereja ini sangat komit dan gigih memperjuangkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati dan menjujung tinggi hakekat kepelbagian yang berbeda-beda. Aku masih tetap yakin teguh, HKBP masih mengemban amanat itu hingga saat ini! Bukan itu saja membuat aku bangga sebagai warga HKBP, juga isu lingkungan hidup, pelestarian alam adalah bagaian dari pelayanan HKBP yang tidak pernah berhenti disuarakan demi kelangsungan kehidupan orang banyak. Sebagai gereja yang tertua yang berdiri di tengah dunia, pantaslah HKBP berada pada barisan terdepan memelihara, merawat dan melestarikan alam ciptaan Tuhan. Sekali lagi, aku warga HKBP. Aku cinta HKBP. Teruslah berkibar di bumi Indonesia. Horas HKBP.

Umat Kristen Hengkang dari Irak

Ketua Lembaga HAM Hammurabi Willam Warda mengatakan, aksi kekerasan di Irak yang tak kunjung berakhir sejak 2003 memaksa umat Kristen hengkang dari daerah itu. Lembaga HAM Hammurabi mengungkapkan, jumlah warga Kristen Irak yang hengkang 2009 sebanyak 10 keluarga setipa hari. Dalam dua bulan terkahir ini meningkat menjadi 20 keluarga setiap hari. Peristiwa yang menimpa umat Kristen di daerah ini, beberapa keluarga Kristen Irak melakukan doa bersama di Gereja Ortodoks, Amman, Jordania. Mereka di Jordania untuk mendapatkan visa ke Amerika Serikat, Kanada, Eropa atau Australia. Di antara sejumlah keluarga itu, terdapat sepasang suami istri, yaitu Suzane Jiliani dan suaminya Hani Daniel, beserta putra mereka berusia satu tahun. Mereka lari ke Amman menyusul serangan ke gereja Katolik di kota Bagdad, beberapa bulan lalu. Jiliani dan Hani Daniel kini ditampung di sebuah flat yang difasilitasi gereja. Mereka berharap segera bisa bergabung dengan keluarga yang terlibih dahulu berdomisili di Amerika Serikat. Menurut lembaga hak asasi manusia (HAM) Hammurabi di Baghdad, seperti dikutip harian berbahasa Arab Asharq Al-Awsat, jumlah kaum Kristen di Iran menurun 60 persen dari jumlah sebelum 2003, yang waktu itu mencapai 1, 3 juta jiwa. Arus hijrah umat Kristen Irak terbesar terjadi antara 2006 dan 2008. Pada Oktober 2008, lebih dari 10.000 umat Kristen di kota Mosul, Irak utara, hijrah ke Suriah, Jordania, Mesir, Lebanon dan sejumlah negera Barat. Arus hijrah umat Kristen dalam jumlah besar dari kota Mosul terjadi lagi sebelum pemilu legislatif Maret 2010. Ada sekitar 4.000 umat Kristen hijrah dari kota Mosul ke lembah-lembah terpencil di luar kota Mosul di Provinsi Ninawa sebelum pemilu legislatif Maret 2010. William Warda mengungkapkan, kaum Kristen di Irak selama tujuh tahun terakhir ini menjadi sasaran pembunuhan, penyanderaan dan pelecehan. Rumah-rumah mereka di Baghdad, Mosul dan Kirkuk menjadi sasaran serangan bersenjata. Berdasarkan laporan lembaga HAM tersebut, jumlah warga Kristen yang tewas pada 2010 sebanyak 71 orang, 2009 sebanyak 29 orang, 2007 sebanyak 153 orang dan pada 2004 sebanyak 221 orang. Tragedi yang menimpa kaum Krsiten Irak ini, menggugah Presiden Irak Jalal Talabani. Presiden yang berasal dari Kurdistan, dalam wawancara dengan harian berbahasa Arab Al Hayat mengimbau umat Kristen Irak hijrah sementara ke wilayah Kurdistan di Irak utara jika merasa tidak aman di Baghdad. Menurut situs Aljazeera, kini lebih dari 120.000 warga Kristen Irak berlindung di wilayah Kurdistan. Pemerintah local Kurdistan memberikan banytuan sebanyak 300 dolar AS per bulan kepada setipa keluarga Krsiten yang berlindung di wilayah Kurdistan. Pengamat politik Irak, Mahmud Abdul Sattar, mengatakan, kehidupan di Irak pascatahun 2003 sudah anarki. Semua sekte, agama dan mazhab menjadi sasaran serangan tanpa pandang bulu. Ia menegaskan, tidak hanya Krsiten yang menjadi sasaran serangan, tetapi sesama kaum Sunni atau Syiah saling menyerang. bas/dari berbagai sumber.

Pembela Kaum Minoritas Salman Taseer Dibunuh

Sosoknya yang terbilang kontroversial, lantaran keberanian serta sepak terjangnya melawan ketidakadilan terhadap kelompok minoritas di negerinya selama ini, diyakini menjadi penyeb utama kematian tragis Gubernur Punjab, Pakistan Salman Taseer (66) di tangan salah seorang pengawal pribadinya. Selain konsisten dan kerap bersuara keras menentang Undang-Undang Penghinaan Agama, Taseer juga dikenal berani “pasang badan” melindungi seorang perempuan Kristen terpidana hukuman mati, Aasia Bibi, ketika para politisi lain justru mencoba bermain aman dan memilih tidak konfrontatif menghadapi para kelompok garis keras. Bibi adalah seorang ibu rumah tangga yang diancam hukuman mati oleh UU Penghinaan Agama itu karena dituduh menghina Nabi Muhammad SAW dalam sebuah pertengkaran dengan tetangganya. Seorang ulama pro-Taliban bahkan sempat menawarkan hadian 5.800 dollar Amerika Serikat (sekitar Rp 52 juta) bagi siapa saja yang bisa membunuh Bibi di penjara. Menanggapi itu, Taseer tampil berani dengan berfoto bersama Bibi dalam sebuah pertemuan sekaligus menyerukan perlunya UU kontroversial itu diamandemen. Kasus Bibi ketika itu juga sempat mencuri perhatian banyak kalangan di seluruh dunia. Bahkan pemimpin umat Katolik, Paus Benedictus XVI, meminta pemerintah Pakistan memberi sedikit kelonggaran bagi Bibi. Kelompok dan golongan kanan di Pakistan selama ini meyakini aturan UU tersebut sangat diskriminatif dan membahayakan, terutama bagi kelompok minoritas di daerah itu. Aturan itu berakar pada hukum kolonial dari abad ke-19 yang dibuat untuk melindungi tempat-tempat ibadah. Namun pada masa pemerintahan rezim diktator militer, Jenderal Mohammad Zia ul-Haq di era 1980-an, aturan itu menunjukkan “taring”-nya lantaran kebijakan pemerintah di masa itu memang menganut garis keras. Ketika itu Taseer bahkan sempat mencicipi dinginnya dinding penjara karena dianggap melawan pemerintah akibat pandangan-pandangan politiknya. Dengan bersedia mempertaruhkan nyawanya sendiri demi menentang diskriminasi dan penyalahgunaan, Taseer justru telah menunjukkan dirinya sebagai seorang politisi yang sangat langka,” ujar Ali Dayan Hasan, peneliti senior Human Rights Watch terkait dengan isi Asia Selatan. Dalam berkiprah, selain berani, Taseer juga dikenal sangat progresif dan “melek teknologi.” Hal ini tampak dari kegemarannya memanfaatkan situs jejaring sosial Twitter dalam “mengicaukan” sikap dan pandangan-pandangan kerasnya menentang ketidakadilan. Akun Twitter-nya bahkan memiliki lebih dari 3.500 pengikut (follower) Dalam sejumlah “kicauan”-nya, Taseer juga tampak sangat memahami risiko besar yang selalu menguntitnya. “Besok para mullah berunjuk rasa menentang saya usai (shalat) Jumat. Ribuan orang akan meneriakkan kepala saya. Benar-benar seru,” begitu bunyi salah satu kicauannya. Sosoknya yang flamboyant sebelum dikenal sebagai seorang pengusaha sukses. Dia memulai karier politiknya saat terpilih menjadi anggota majelis di tingkat provinsi di Punjab pada 1998. Dia kemudian menjabat sebagai Menteri Industri dan Produksi Pakistan di masa pemerintahan Perdana Menteri Pervez Musharraf (2007-2008) Saat partainya, Partai Rakyat Pakistan (PPP) memenangi pemilu 2008, dia ditunjuk menjadi Gubernur Punjab. Pemakaman Pascapembunuhan Taseer, Pemerintah Pakistan bersiaga penuh mengamankan proses pemakamannya di Lahore. Ribuan pendukungnya berkumpul memberikan penghormatan terakhir sekaligus memorotes keras pemerintah yang dinilai harus bertanggung jawab atas kematiannya. Namun, para pendukung kelompok radikal justru menyerukan boikot terhadap upacara pemakan Taseer. Kelompok Jamaat-e-Ahl-e-Sunnat Pakistan bahkan mengancam bahwa siapa saja yang ikut berkabung bakal mengalami nasib serupa. Untuk menurunkan ketegangan yang terjadi di Pakistan, Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani menetapkan masa berkabung nasional tiga hari. Perkembangan terakhir kepolisian Pakistan, menurut pengacara Taseer, resmi menetapkan Malik Mumtaz Hussein Qadri, anggota pasukan khusus kepolisian yang juga pengawal pribadi Gubernur Punjab, sebagai pelaku pembunuhan. Malik memberondong Taseer saat menuju mobilnya, belum lama ini, di suatu tempat perbenlanjaan elit, Pasar Kohsar, di Pakistan. Salman Taseer, menurut otopsi, tewas akibat tembakan 29 peluru di hampir seluruh tubuhnya. bas/dari berbagai sumber

Kamis, 24 Maret 2011

Lambas Goeltom Sahabat Menyenangkan

Setelah pulang dari Amerika, 2004, dia datang mengunjungi aku di PGI, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta. Kaget. Tak menduga sama sekali. Yang aku tahu, dia berada di Denver, Colorado.

Dia menceritakan suka dan duka selama tinggal di Amerika. Teman kami Lamsihar Simamora disinggung juga dalam ceritanya. Teman kami sewaktu kuliah di “Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik” (IISIP) Lenteng Agung. Bahkan mereka sempat menerbitkan koran “Indonesia News” berbahasa Indonesia di Colorado. Aku juga ikut sebagai redaktur di Jakarta.
Bagiku Lambas Goeltom adalah sahabat yang baik dan menenangkan. Santun, kalem dan tidak banyak bicara. Meskipun pengalaman jurnalistiknya seabrek-abrek, tapi tetap rendah hati. Bukan hanya di bidang jurnalistik, belahan dunia ini pun sudah banyak dijelajahinya. Pribadi Lambas yang low profile inilah membuatku diam-diam mengaguminya.
Memang, kami sudah lama berteman. Sejak kuliah di IISIP (dulu namanya Sekolah Tinggi Publistik-STP) Sewaktu di kampus kami beda kelompok (bergaul dan tempat nongkrong) Boleh dikatakan antara aku dengan Lambas tidak terlalu akrab. Aku lebih suka bergaul dengan mahasiswa asal Medan. Selain itu, aku kurang betah lama-lama di kampus, karena waktu itu sudah ada kegiatan—wartawan di “Sinar Indonesia Baru” kantornya di Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat.
Hubungan akrab dengan Lambas terjalin kembali tujuh tahun lalu. Ketika kami sama-sama di majalah “Devotion” yang diterbitkan, John Bidel Pasaribu. Latar belakang jurnalistiknya dan pengamalaman di luar negeri, tentulah sangat mengena untu penerbitan. Itulah alasanku mengajaknya bergabung.
Waktu itu Lambas ditugasi mengurusi berita luar negeri. Banyak kisah menarik ditulisnya dengan gaya penulisan feature yang enak. Dalam sekejab berita yang dikutip dari internet langsung jadi. Maklum, bahasa Inggrisnya sangat memadai.
Nilai plus yang lain, dia adalah penulis serba bisa. All event! Apa saja yang dia tulis pasti enak dan menarik.
Pernah tulisannya mendapat protes dari pembaca Devotion. Ketika itu Lambas malah tersenyum ketika diceritakan ada yang komplein. Tak gentar sama sekali. “Seorang jurnalis, harus berani menulis berita berdasarkan fakta apa adanya,” kata Lambas waktu itu. Dia juga sangat konsisten menjaga wibawa redaksi. Paling tidak suka kalau ada pihak lain yang ingin intervesi redaksi soal berita. Termasuk wartawan yang coba-coba intervesi kebijakan redaksi.
Persahabatan kami, boleh dikatakan cukup langgeng. Setelah Devotion tutup, Lambas aku ajak bergabung dengan majalah “Suara HKBP.” Semula aku ragu, apa dia mau atau tidak. Soal finansial? Setelah kupaparkan apa adanya, dia bersedia. “Tidak apa-apa, nanti ada saatnya berubah,” jawab Lambas waktu itu.
Hampir lima tahun kami bersama di Suara HKBP. Banyak ide yang dikemukakan untuk memajukan majalah ini. Sampai akhir hidupnya, dia menjabat Pemimpin Redaksi menggantikan Pdt Puji Handoko Aritonang STh.
Lambas juga yang menggagas pada ulang tahun kelima majalah ini, 2010, agar digelar penobatan tokoh Batak. Ide itu disambut baik oleh teman lain. Lambas dengan cekatan membuat proposal dan yang berkaitan dengan penobatan tersebut. Meskipun pada malam penobatan hasilnya tidak maksimal. Dia termasuk yang kecewa.
Sampai Lambas meninggal, panitia HUT Suara HKBP belum dibubarkan. Sebab Lambas tak kunjung sembuh dari sakit. Ketua Panitia Kampler Marpaung, sudah pernah menanyakan soal kesehatan Lambas. Ternyata, sahabat kami Lambas, tidak akan pernah lagi bersama kami untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah ikut dalam pembubaran panitia HUT yang digagasnya.
Benar, masih banyak program yang belum terlaksana. Setahun lalu dia merencanakan akan mendirikan komunitas penulis Kristen. Draf proposalnya sudah dikerjakan. Impian itu pun buyar, bersama kepergian sahabat kami yang baik, Lambas.
Malah Maret ini, Lambas seharusnya sebagai narasumber untuk pelatihan penulisan yang diadakan HKBP Duren Sawit. Materi yang akan disampaikan: Wawancara Jurnalistik, Fotografi Jurnalistik dan Teknik Membuat Blog.
Terlalu cepat dia pergi. Aku adalah sahabatnya yang sangat kehilangan. Sepertinya dia belum meninggal. Sosoknya masih terbayang duduk sambil menghadap komputer tempatnya mengetik berita dan tulisan.
Beberapa waktu belakangan ini, dia sudah sering mengeluh, tentang penyakit yang dia derita; gula dan prostat. Sebelumnya, sudah pernah operasi usus buntu. Sejak kadar gulanya tinggi,dia rajin membawa gula sendiri ke kantor.
Ketika kami dari Suara HKBP menyampaikan turut berduka di rumahnya, di Kompleks Perumahan Depsos Pasar Rebo, anaknya Ferrari, 13 tahun (SMP Kelas 1) tampak menangis sesengguhan menyaksikan ayahnya terbujur kaku dalam peti. Sesekali ompunya membelai Ferrari dengan kasih sayang yang tulus. Almarhum lahir di Bandung, 15 Juli 1960. Meninggal, Selasa 15 Februari 2011 di Jakarta.
Meskipun aku sebagai sahabatnya, tidak semua hal diceritakan. Aku punya firasat, selain penyakit yang dideritanya, ada pergumulan batin yang ditutupinya. Tapi, aku tidak pernah berani menanyakannya. Apalagi dia tidak pernah terbuka hal-hal yang pribadi.
Yang aku tahu, dia pekerja keras dan tekun. Sayang, kalau sudah di depan komputer lupa semuanya. Termasuk makan. Rokok adalah sahabatnya paling setia. Secangkir kopi panas selalu mendampinginya. Pemandangan itu tidak akan pernah lagi terlihat di atas mejanya di kantor Redaksi Suara HKBP di Cinere.
Sahabatku, terlalu cepat engkau pergi! Selamat jalan Lambas. baharuddin silaen