John Shelby Spong penulis buku “Yesus bagi Orang Non Religius” bersikukuh menggugat doktrin yang diimani orang saleh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Buktinya, ia tidak meragukan Yesus sebagai Tuhan, tapi ia tidak ingin menyembah suatu Allah yang tidak dapat ditatang atau setia pada suatu tradisi yang mengharuskan mengunci rapat-rapat pikiran.
Yesus sebagai seorang wisatawan sorgawi yang datang dari Allah di balik langit melalui suatu kelahiran ajaib dan yang ketika karyanya sudah selesai kembali kepada Allah itu melalui suatu perjalanan kosmik. Bagi John Shelby Spong penulis bestseller “The Sins of Scripture” ini, kisah ajaib itu sesuatu yang secara harfiah tidak masuk akal, tetapi juga sedikit lebih dari uraian teologis yang berbelit-belit dan sukar dipahami. “Mereka tidak mengerti bahwa mereka sebetulnya telah mengubur Yesus di dalam peti dan suatu dunia lain, suatu waktu lain dan suatu tempat lain,” papar Spong.
Pada ulasan lain ia mengimbuhkan argumen yang radikal sekitar kelahiran Yesus. Tidak ada bintang di atas Betlehem. Tempat lahir Yesus di Betlehemn bukan sejarah. Nabi Mikha tidak meramalkannya. Sebuah bintang tidak memberitahukannya. Para Majus tidak mengikuti bintang itu. Bintang itu tidak membawa mereka ke istana raja atau ke rumah Betlehem, tempat yang dikatakan oleh tradisi sebagai tempat kelahiran bayi Kristus. Para Majus tidak mempersembahkan emas, mur dan kemenyan. “Semua rincian ini adalah bagian dari sebuah mitologi yang sedang tumbuh yang harus dipisahkan dari Yesus jika kita ingin melihatnya sebagaimana dia adanya.”
Tempat kelahiran Betlehem adalah suatu bagian lain dari suatu tradisi tafsir mesianik yang sedang berkembang. Jika sejarah adalah agenda utama kita, pada perayaan Natal kita harus bernyanyi “Hai kota mungil Nazaret” sebab kota inilah yang kuat kemungkinan sebagai tempat di mana orang yang dikenal sebagai Yesus dari Nazaret dilahirkan. “Ada apa dengan Yesus ini, sehingga membuat orang merasa perlu menyelimuti kelahirannya dengan asal-usulnya dari Betlehem dan dengan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban?” (hal. 28)
Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Umum ini pun, berupaya membeberkan kisah orang tua Yesus dari sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan sumber tertulis yang dinamakan Q (Jerman Quelle—sumber) “Bukankah ia ini anak tukang kayu. Bukankah ibunya bernama Maria?” (Matius 13:55)
Bagi Spong ayat ini rupanya menggugah, kenapa musti melibatkan Maria? Apakah nama itu sekedar melengkapi atau mempertanyakan siapakah sesungguhnya Maria? “Hanya dari penulisan ulang oleh Matius atas perikop Markus ini muncul tradisi Yusuf sebagai seorang tukang kayu. Matius melicinkan teks Markus sehingga teks ini selaras dengan perikop tentang kelahiran ajaib Yesus yang baru ia masukkan ke dalam injilnya.”
“Saya tidak percaya bahwa orang bernama Yusuf ini, yang menjadi ayah insani yang melindungi Yesus, pernah hidup. Teks-teks yang kita teliti di atas mendukung pernyataan saya ini. Yusuf dari awal sampai akhir adalah sosok mitologis ciptaan murni penulis yang kita sebut Markus.” (hal. 40)
“Saya tidak berpikir ada orang yang mengetahui siapa ayah Yesus, termasuk para penulis Perjanjian Baru. Markus tidak pernah mengatakannya. Matius dan Lukas mengatakan bahwa Roh Kudus adalah ayah Yesus sebenarnya. Injil Yohanes, yang sering disebut Injil Keempat, menyingkirkan kisah kelahiran ajaib Yesus, tetapi merujuk pada Yesus sebabagai anak Yusuf pada dua kesempatan (Yohanes 1:45; 6:42)”
Menurut penulis buku yang aslinya “Jesus for the Non-Religions” ini, alasan mengapa Yusuf tetap menjadi sosok tidak jelas sepanjang sejarah Kristen, karena ia memang merupakan karakter sastrawi sejak dari awalnya, diciptakan dari mitologi interpretatif yang berkembang.
Memang, Spong tidak serta-merta menerima mitos interpretatif yang menyelimuti kehidupan Yesus dari sisi pemahaman tradisionil. “Namun, kendatipun telah mengatakan itu, saya tetap seorang Kristen yang setia. Saya masih meyakini kebenaran yang ditemukan dalam realitas asasi yang saya namakan Allah dan saya masih melihat di dalam Yesus keallahan dan kemanusiaan menetap sepenuh-penuhnya.” (hal. 84)
Terus terang, banyak informasi dijumpai saat membaca buku ini, bahkan membuat yang saleh akan geleng-geleng kepala dengan paparan John Shelby Spong yang amat berani. Soalnya, penulis yang juga dosen tamu di berbagai universitas di Amerika Utara ini, hendak membersihkan potret Yesus dari batas-batas agama yang dipahami secara tradisionil.
Buku ini bisa dijadikan refrensi perbandingan serta pantas dibaca para teolog, mahasiswa dan pendeta yang melayani di abad 21 ini. (bas)
Kamis, 27 November 2008
Demokrasi Paman Sam Inspirasi Dunia
Demokrasi Paman Sam Inspirasi Dunia
Baharuddin Silaen
Pada musim gugur, 1963, di negeri Paman Sam (Amerika Serikat) Martin Luther King Jr merajut mimpi. Mimpi itu dihamparkan lewat pidato yang amat menggetarkan seantero Amerika. Pidato yang sangat berani dibungkus pesan tentang masa depan warga kulit hitam di AS. “I have a Dream.”
Martin Luther King Jr, bermimpi melihat anak-anaknya suatu hari nanti hidup di suatu negara yang mampu menilai mereka tidak dari warna kulit, melainkan dari kepribadian dan watak. Ia juga bermimpi orang hitam pergi ke kolam renang, ke toilet umum dan naik bus tanpa harus duduk di kursi paling belakang. Untuk mimpi ini, King pun rela membayarnya dengan nyawa demi suatu harapan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh lantaran mimpinya cukup mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat rasis.
Setelah 45 tahun, mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Adalah Barack Obama yang mewujudkannya dengan pidato yang menggetarkan, bergerak dengan semangat perubahan. Ia sosok yang dikagumi, bukan hanya oleh negerinya sendiri, tetapi di belahan dunia.” Tidak ada yang tak mungkin terjadi di Amerika ini,” ucap Obama yang pernah tinggal di Menteng Dalam, Jakarta ini.
Barack Obama dari Partai Demokrasi mengukir sejarah. Ia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dengan mengusung isu perubahan—“Change We Believe In.” Pemilihan yang cantik, melalui vote yang dikemas rapi sehingga Amerika berhasil memperagakan sistem demokrasi yang pantas ditiru. Tidak ada huru-hara menghadang saat Obama dinyatakan menang. Hebatnya, John McCain yang kalah dengan ikhlas mengakui kekalahannya dan menghormati hasil pemilihan tanpa melakukan protes, apalagi meminta pemilihan diulang kembali. Tidak lama berselang, John McCain tampil di hadapan pendukungnya dan meminta supaya mendukung Barack Obama memimpin AS. Salut!
Bagaimanapun, Amerika sudah menyuguhkan contoh berdemokrasi yang berpihak kepada rakyat dan sekaligus sistem demokrasi di negeri Paman Sam ini mengilhami dunia, termasuk Indonesia. Kendatipun Amerika negara yang dihuni penduduk beragam; multiras, multietnis, multiagama dan multibudaya namun pemilihan presiden berlangsung santun dan elegan. Prinsip siap kalah dan siap menang patut ditiru.
Sikap seperti itulah yang mendesak harus dilakoni para elite politik di Indonesia, apalagi dalam pemilihan kepala daerah di negeri ini, tiada pemilihan tanpa kericuhan. Brutal dan anarkis. Malah, ada yang ngotot membawa perkara ke Mahkamah Konstitusi karena kalah suara. Memang pengalaman bangsa ini berdemokrasi belum banyak dibanding Amerika Serikat, tetapi janganlah itu dijadikan alasan untuk terus berkubang dalam sifat arogan dan picik.
Sangat memalukan, setiap penghitungan suara Pilkada selalu berakhir ricuh. Bukan hanya saling lempar batu, tapi fasilitas pun ikut dibakar dan dihancurkan. Paling konyol, massa masing-masing pendukung mendadak menjadi kerumunan yang kalap dan hilang kendali (lawless crowds) Kadar intelektual melorot ke titik nol, lalu bertingkah seperti gembel. Tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan, selebihnya pola pikir yang ngaur tak keruan.
Thomas Hobbes, filsuf Inggris, yang terkenal dengan gagasan bidang sosial politik (Leviathan) sudah mengingatkan, manusia yang tidak mempergunakan nalar atau pemikiran dengan tertib akan terperangkap ke dalam sifat bermusuhan. Karena dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu saling berkelahi. Manusia, kata Hobbes, pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik (homo homini lupus) Supaya terhindar dari sifat suka berkelahi (ricuh-pen)harus ada pemerintah yang berwiba menengahinya.
Sesungguhnya, bukan hanya pada tingkat Pilkada gelagat yang kurang bersahabat dapat disaksikan. Pada pemilihan presiden pun ketidaksiapan kalah dan menang masih dipertontonkan di negeri ini. Gara-gara kalah jadi presiden, hubungan silaturahmi pun mendadak kurang “mesra,” tidak saling tegur sapa—tidak mau ketemu. Lucunya lagi, berlanjut ke arah saling menjegal dan menjelekkan bahkan sering mengungkit-ungkit kelemahan lawan yang selanjutnya dijadikan isu pelaris kampanye politik 2009.
Sungguh naif dan membuat geleng-geleng kepala menyaksikan cara kita berdemokrasi. Apakah ini sebagai tanda, pemahaman kita tentang demokrasi masih sebatas wacana? Belum mampu menyentuh hakekat demokrasi yang sejati—hanya menempal di atas kulit—belum menyatu dengan siprit nasionalisme yang selama ini didengung-dengungkan.
Sikap gemar menjelekan dan menjegal dari para elite politik khusus bagi yang bermimpi jadi presiden republik ini juga dipertontonkan dalam iklan di media elektronik. Hampir semua Capres yang ditayangan di iklan itu menyalib di wilayah kelemahan lawan. Berlomba-lomba menyebar pesona kepada petani, kaum miskin, nelayan sereta saling mendahului menarik simpati. Tidak soal biaya menggarap dan tayang iklan itu miliaran rupiah. Dari segi kemasan dan materi, iklan itu cukup berhasil menggugah, maklumlah mengatasnamakan orang miskin, kaum melarat dan terpinggirkan. Pokok semua berpihak pada rakyat miskin. Mudah-mudahan bukan hanya dalam iklan kampanye Capres berpihak kepada rakyat kecil.
Tidak salah apalagi malu, rakyat Indonesia belajar dari Amerika soal sistem demokrasi. Keberhasilan warga Amerika Serikat merawat kebhinekaan serta menghormati demokrasi bisa menjadi inspirasi bagi warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Negeri Paman Sam ini sudah membuktikan prinsip utama sistem demokrasi tergantung kepercayaan rakyat yang bebas mengutarakan pendapat. Mereka tidak lagi melihat warna kulit, minoritas atau mayoritas tapi semua dinilai dari kemampuan dan kelayakan berdasarkan logika obyektif bukan melalui kerangka berpikir yang subyektif—lantaran satu agama, satu suku, kerabat dan konco, misalnya.
Amerika menunjukkan kepada warga AS dan dunia suatu kampanye pemilihan presiden yang menarik, hasilnya pun mencengangkan dunia. Barack Obama keturunan Afrika-Amerika, ayah kandung dari Kenya itu menjadi orang nomor satu di Amerika—baru pertama kali dalam sejarah kepresidenan AS sejak merdeka 232 tahun silam, presiden kulit hitam masuk ke Gedung Putih. Luar biasa! Kemenangannya pun disambut hangat dengan damai.
Lantas, sistem demokrasi di negara Paman Sam ini menjadi inspirasi bagi warga dunia terutama Indonesia.
Baharuddin Silaen
Pada musim gugur, 1963, di negeri Paman Sam (Amerika Serikat) Martin Luther King Jr merajut mimpi. Mimpi itu dihamparkan lewat pidato yang amat menggetarkan seantero Amerika. Pidato yang sangat berani dibungkus pesan tentang masa depan warga kulit hitam di AS. “I have a Dream.”
Martin Luther King Jr, bermimpi melihat anak-anaknya suatu hari nanti hidup di suatu negara yang mampu menilai mereka tidak dari warna kulit, melainkan dari kepribadian dan watak. Ia juga bermimpi orang hitam pergi ke kolam renang, ke toilet umum dan naik bus tanpa harus duduk di kursi paling belakang. Untuk mimpi ini, King pun rela membayarnya dengan nyawa demi suatu harapan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh lantaran mimpinya cukup mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat rasis.
Setelah 45 tahun, mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Adalah Barack Obama yang mewujudkannya dengan pidato yang menggetarkan, bergerak dengan semangat perubahan. Ia sosok yang dikagumi, bukan hanya oleh negerinya sendiri, tetapi di belahan dunia.” Tidak ada yang tak mungkin terjadi di Amerika ini,” ucap Obama yang pernah tinggal di Menteng Dalam, Jakarta ini.
Barack Obama dari Partai Demokrasi mengukir sejarah. Ia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dengan mengusung isu perubahan—“Change We Believe In.” Pemilihan yang cantik, melalui vote yang dikemas rapi sehingga Amerika berhasil memperagakan sistem demokrasi yang pantas ditiru. Tidak ada huru-hara menghadang saat Obama dinyatakan menang. Hebatnya, John McCain yang kalah dengan ikhlas mengakui kekalahannya dan menghormati hasil pemilihan tanpa melakukan protes, apalagi meminta pemilihan diulang kembali. Tidak lama berselang, John McCain tampil di hadapan pendukungnya dan meminta supaya mendukung Barack Obama memimpin AS. Salut!
Bagaimanapun, Amerika sudah menyuguhkan contoh berdemokrasi yang berpihak kepada rakyat dan sekaligus sistem demokrasi di negeri Paman Sam ini mengilhami dunia, termasuk Indonesia. Kendatipun Amerika negara yang dihuni penduduk beragam; multiras, multietnis, multiagama dan multibudaya namun pemilihan presiden berlangsung santun dan elegan. Prinsip siap kalah dan siap menang patut ditiru.
Sikap seperti itulah yang mendesak harus dilakoni para elite politik di Indonesia, apalagi dalam pemilihan kepala daerah di negeri ini, tiada pemilihan tanpa kericuhan. Brutal dan anarkis. Malah, ada yang ngotot membawa perkara ke Mahkamah Konstitusi karena kalah suara. Memang pengalaman bangsa ini berdemokrasi belum banyak dibanding Amerika Serikat, tetapi janganlah itu dijadikan alasan untuk terus berkubang dalam sifat arogan dan picik.
Sangat memalukan, setiap penghitungan suara Pilkada selalu berakhir ricuh. Bukan hanya saling lempar batu, tapi fasilitas pun ikut dibakar dan dihancurkan. Paling konyol, massa masing-masing pendukung mendadak menjadi kerumunan yang kalap dan hilang kendali (lawless crowds) Kadar intelektual melorot ke titik nol, lalu bertingkah seperti gembel. Tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan, selebihnya pola pikir yang ngaur tak keruan.
Thomas Hobbes, filsuf Inggris, yang terkenal dengan gagasan bidang sosial politik (Leviathan) sudah mengingatkan, manusia yang tidak mempergunakan nalar atau pemikiran dengan tertib akan terperangkap ke dalam sifat bermusuhan. Karena dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu saling berkelahi. Manusia, kata Hobbes, pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik (homo homini lupus) Supaya terhindar dari sifat suka berkelahi (ricuh-pen)harus ada pemerintah yang berwiba menengahinya.
Sesungguhnya, bukan hanya pada tingkat Pilkada gelagat yang kurang bersahabat dapat disaksikan. Pada pemilihan presiden pun ketidaksiapan kalah dan menang masih dipertontonkan di negeri ini. Gara-gara kalah jadi presiden, hubungan silaturahmi pun mendadak kurang “mesra,” tidak saling tegur sapa—tidak mau ketemu. Lucunya lagi, berlanjut ke arah saling menjegal dan menjelekkan bahkan sering mengungkit-ungkit kelemahan lawan yang selanjutnya dijadikan isu pelaris kampanye politik 2009.
Sungguh naif dan membuat geleng-geleng kepala menyaksikan cara kita berdemokrasi. Apakah ini sebagai tanda, pemahaman kita tentang demokrasi masih sebatas wacana? Belum mampu menyentuh hakekat demokrasi yang sejati—hanya menempal di atas kulit—belum menyatu dengan siprit nasionalisme yang selama ini didengung-dengungkan.
Sikap gemar menjelekan dan menjegal dari para elite politik khusus bagi yang bermimpi jadi presiden republik ini juga dipertontonkan dalam iklan di media elektronik. Hampir semua Capres yang ditayangan di iklan itu menyalib di wilayah kelemahan lawan. Berlomba-lomba menyebar pesona kepada petani, kaum miskin, nelayan sereta saling mendahului menarik simpati. Tidak soal biaya menggarap dan tayang iklan itu miliaran rupiah. Dari segi kemasan dan materi, iklan itu cukup berhasil menggugah, maklumlah mengatasnamakan orang miskin, kaum melarat dan terpinggirkan. Pokok semua berpihak pada rakyat miskin. Mudah-mudahan bukan hanya dalam iklan kampanye Capres berpihak kepada rakyat kecil.
Tidak salah apalagi malu, rakyat Indonesia belajar dari Amerika soal sistem demokrasi. Keberhasilan warga Amerika Serikat merawat kebhinekaan serta menghormati demokrasi bisa menjadi inspirasi bagi warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Negeri Paman Sam ini sudah membuktikan prinsip utama sistem demokrasi tergantung kepercayaan rakyat yang bebas mengutarakan pendapat. Mereka tidak lagi melihat warna kulit, minoritas atau mayoritas tapi semua dinilai dari kemampuan dan kelayakan berdasarkan logika obyektif bukan melalui kerangka berpikir yang subyektif—lantaran satu agama, satu suku, kerabat dan konco, misalnya.
Amerika menunjukkan kepada warga AS dan dunia suatu kampanye pemilihan presiden yang menarik, hasilnya pun mencengangkan dunia. Barack Obama keturunan Afrika-Amerika, ayah kandung dari Kenya itu menjadi orang nomor satu di Amerika—baru pertama kali dalam sejarah kepresidenan AS sejak merdeka 232 tahun silam, presiden kulit hitam masuk ke Gedung Putih. Luar biasa! Kemenangannya pun disambut hangat dengan damai.
Lantas, sistem demokrasi di negara Paman Sam ini menjadi inspirasi bagi warga dunia terutama Indonesia.
Sabtu, 01 November 2008
Angka Satu Sampai Sembilan Ditulis Dengan Huruf
Angka Satu Sampai Sembilan Ditulis Dengan Huruf
Baharuddin Silaen
Pada tulisan sebelumnya, dikemukakan; bahasa jurnalistik yang lazim digunakanan para jurnalis mempunyai ciri-ciri; singkat, padat, sederhana, lancar, jelas,lugas, menarik dan netral. Selain ciri-ciri tersebut, masih ada beberapa kaidah bahasa jurnalistik yang perlu diperhatikan ketika menulis pada media cetak, yakni; penulisan angka dan singkatan.
Penulisan angka dalam jurnalistik, seperti angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf, bukan angka. Misal; “Baru-baru ini 3 praeses dilantik di Jakarta.” “Tahun ini ada 9 pendeta pensiun.” “Polisi menangkap 7 orang bandar narkoba.” Penulisan yang benar; “Baru-baru ini tiga praeses dilantik di Jakarta.” Tahun ini ada sembilan pendeta pensiun.” Polisi menangkap tujuh orang bandar narkoba.”
Contoh lain, “Rumah itu berukuran lima kali sembilan meter.” Bukan, “Rumah itu berukuran 5 x 9 m.” Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh delapan kilometer.” Bukan, “Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh 8 km.” “Ia menyumbangkan 5 % dari pendapatannya ke panti asuhan.” Penulisan yang benar, “Ia menyumbangkan lima persen dari pendapatannya ke panti asuhan.” “Gajinya per bulan Rp 5.000.000.” Tulislah seperti berikut, “Gajinya per bulan Rp 5 juta.”
Sedangkan angka 10 dan seterusnya harus ditulis dengan angka. “Dikabarkan ada 10 orang terluka pada saat kericuhan Pilkada.” Pada pemilihan bupati, Ruben unggul 23 suara dari lawannya.” “Dilaporkan ada 12 orang terkena HIV/AIDS.”
Namun, ada kekecualian, kalau di awal kalimat terdapat angka, harus ditulis dengan huruf. Misal; “Sepuluh mahasiswa harus mengikuti ujian ulangan.” “Seratus warga desa mendapat bayar langsung tunai.” Tetapi, kalau jumlah itu tidak pasti, mungkin kurang dan kemungkinan juga lebih. Tulislah seperti berikut; “Ribuan pengunjuk rasa mendatangi kantor bupati.” “Ratusan penduduk desa protes karena izin penambangan pasir diperpanjang.” “Puluhan penumpang bis terlantar di terminal.”
Boleh juga ditulis seperti ini, “Sawah penduduk yang tergenang banjir kurang lebih 50 hektar.” “Sekitar 500 meter jalan terputus akibat tanah longsor.” “Sedikitnya, 15 rumah habis terbakar.” “Ditaksir kerugian akibat kebakaran itu Rp 2 miliar.” Penulisan seperti ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak) hasil perkiraan wartawan di lapangan.
Hati-hati terhadap penulisan angka yang diawali huruf. Harus dimbuhkan tanda penghubung (-) antara huruf dengan angka. Misal; “HUT RI ke-63 diperingati.” Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang ke-5.” Atau boleh juga dengan cara berikut, ”Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang kelima.” “HKBP pada 2012 jubileum yang ke-150.”
Sama halnya dengan penulisan angka satu sampai sembilan, seperti itu juga polanya pada penulisan angka yang diawali huruf. “Dia juara ketiga dalam pertandingan catur.” “Perguruan itu peringkat ke-9 terbaik dari 25 perguruan tinggi.”
Pedoman lain yang perlu diingat dalam penulisan di mass media. Jangan terlalu rajin menulis singkatan. Seperti; dll, sbb, yg, tsb, dst. Singkatan tersebut harus ditulis utuh—dan lain-lain, sebagai berikut, yang, tersebut, dan seterusnya.
Khusus “dan lain-lain” harus hati-hati mencantukam dalam tulisan. Acap kali penulis mengimbuhkan “dan lain-lain” tapi tidak jelas apa maksudnya? Contoh; “Kantor itu dilengkapi bermacam perabot, seperti; lemari, rak buku, meja tulis, televisi, computer, mesin photocopy, dll.
Apa yang dimaksud dengan dll pada kalimat tersebut—“dan lain-lain” itu apa? Siapa yang tau “dan lain-lain?” Jikalau memang masih ada lagi perabot di kantor itu, sebutkan saja, jangan ditulis “dan lain-lain.” Tetapi kalau memang sama sekali tidak tau lebih baik jangan ditulis dll. Ini namanya penulis yang tidak bertanggung jawab—mau enaknya saja! Sebaiknya, hindarilah cara penulisan seperti itu. Kebiasaan ini mungkin diambil alih dari model restoran yang mencatumkan dll pada menu makanan dan minuman yang dijual dalam restoran tersebut.
Sedangkan penulisan “ukuran panjang,” harus ditulis utuh—bukan disingkat, antara lain; meter, kilometer, hektar, sentimeter. Contoh penulisan yang salah. “Lebar jalan itu 5 m. Kecepatan rata-rata 100 km per jam. Luas sawah itu 4 ha. Panjang pulpen itu 10 cm.”
Penulisan yang benar; “Lebar jalan itu lima meter.” Kecepatan rata-rata 100 kilometer per jam.” Luas sawah itu empat hektar.” “Panjang pulpen itu 10 sentimeter.
Hampir sama dengan penulisan bilangan pecahan; setengah, seperempat, tiga per empat, dua per tiga, ditulis dengan huruf. “Berat ikan itu setengah kilogram.” “Sawah itu baru seperempat yang ditanami.” “Warga yang bayar pajak baru tiga per empat.” “Jumlah warga yang memilih sekitar dua per tiga.” “Luas lahan yang tidak terurus 25 meter per segi.” Bukan, “Luas lahan yang tidak terurus 25 m2.”
Sekali lagi, pola penulisan ini berlaku dalam bahasa jurnalistik yang biasa digunakan surat kabar.
Penulis pengajar di Fsipol UKI, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat terhadap jurnalistik silahkan bergabung di email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Blooger Baharuddin Silaen—BAS
Baharuddin Silaen
Pada tulisan sebelumnya, dikemukakan; bahasa jurnalistik yang lazim digunakanan para jurnalis mempunyai ciri-ciri; singkat, padat, sederhana, lancar, jelas,lugas, menarik dan netral. Selain ciri-ciri tersebut, masih ada beberapa kaidah bahasa jurnalistik yang perlu diperhatikan ketika menulis pada media cetak, yakni; penulisan angka dan singkatan.
Penulisan angka dalam jurnalistik, seperti angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf, bukan angka. Misal; “Baru-baru ini 3 praeses dilantik di Jakarta.” “Tahun ini ada 9 pendeta pensiun.” “Polisi menangkap 7 orang bandar narkoba.” Penulisan yang benar; “Baru-baru ini tiga praeses dilantik di Jakarta.” Tahun ini ada sembilan pendeta pensiun.” Polisi menangkap tujuh orang bandar narkoba.”
Contoh lain, “Rumah itu berukuran lima kali sembilan meter.” Bukan, “Rumah itu berukuran 5 x 9 m.” Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh delapan kilometer.” Bukan, “Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh 8 km.” “Ia menyumbangkan 5 % dari pendapatannya ke panti asuhan.” Penulisan yang benar, “Ia menyumbangkan lima persen dari pendapatannya ke panti asuhan.” “Gajinya per bulan Rp 5.000.000.” Tulislah seperti berikut, “Gajinya per bulan Rp 5 juta.”
Sedangkan angka 10 dan seterusnya harus ditulis dengan angka. “Dikabarkan ada 10 orang terluka pada saat kericuhan Pilkada.” Pada pemilihan bupati, Ruben unggul 23 suara dari lawannya.” “Dilaporkan ada 12 orang terkena HIV/AIDS.”
Namun, ada kekecualian, kalau di awal kalimat terdapat angka, harus ditulis dengan huruf. Misal; “Sepuluh mahasiswa harus mengikuti ujian ulangan.” “Seratus warga desa mendapat bayar langsung tunai.” Tetapi, kalau jumlah itu tidak pasti, mungkin kurang dan kemungkinan juga lebih. Tulislah seperti berikut; “Ribuan pengunjuk rasa mendatangi kantor bupati.” “Ratusan penduduk desa protes karena izin penambangan pasir diperpanjang.” “Puluhan penumpang bis terlantar di terminal.”
Boleh juga ditulis seperti ini, “Sawah penduduk yang tergenang banjir kurang lebih 50 hektar.” “Sekitar 500 meter jalan terputus akibat tanah longsor.” “Sedikitnya, 15 rumah habis terbakar.” “Ditaksir kerugian akibat kebakaran itu Rp 2 miliar.” Penulisan seperti ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak) hasil perkiraan wartawan di lapangan.
Hati-hati terhadap penulisan angka yang diawali huruf. Harus dimbuhkan tanda penghubung (-) antara huruf dengan angka. Misal; “HUT RI ke-63 diperingati.” Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang ke-5.” Atau boleh juga dengan cara berikut, ”Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang kelima.” “HKBP pada 2012 jubileum yang ke-150.”
Sama halnya dengan penulisan angka satu sampai sembilan, seperti itu juga polanya pada penulisan angka yang diawali huruf. “Dia juara ketiga dalam pertandingan catur.” “Perguruan itu peringkat ke-9 terbaik dari 25 perguruan tinggi.”
Pedoman lain yang perlu diingat dalam penulisan di mass media. Jangan terlalu rajin menulis singkatan. Seperti; dll, sbb, yg, tsb, dst. Singkatan tersebut harus ditulis utuh—dan lain-lain, sebagai berikut, yang, tersebut, dan seterusnya.
Khusus “dan lain-lain” harus hati-hati mencantukam dalam tulisan. Acap kali penulis mengimbuhkan “dan lain-lain” tapi tidak jelas apa maksudnya? Contoh; “Kantor itu dilengkapi bermacam perabot, seperti; lemari, rak buku, meja tulis, televisi, computer, mesin photocopy, dll.
Apa yang dimaksud dengan dll pada kalimat tersebut—“dan lain-lain” itu apa? Siapa yang tau “dan lain-lain?” Jikalau memang masih ada lagi perabot di kantor itu, sebutkan saja, jangan ditulis “dan lain-lain.” Tetapi kalau memang sama sekali tidak tau lebih baik jangan ditulis dll. Ini namanya penulis yang tidak bertanggung jawab—mau enaknya saja! Sebaiknya, hindarilah cara penulisan seperti itu. Kebiasaan ini mungkin diambil alih dari model restoran yang mencatumkan dll pada menu makanan dan minuman yang dijual dalam restoran tersebut.
Sedangkan penulisan “ukuran panjang,” harus ditulis utuh—bukan disingkat, antara lain; meter, kilometer, hektar, sentimeter. Contoh penulisan yang salah. “Lebar jalan itu 5 m. Kecepatan rata-rata 100 km per jam. Luas sawah itu 4 ha. Panjang pulpen itu 10 cm.”
Penulisan yang benar; “Lebar jalan itu lima meter.” Kecepatan rata-rata 100 kilometer per jam.” Luas sawah itu empat hektar.” “Panjang pulpen itu 10 sentimeter.
Hampir sama dengan penulisan bilangan pecahan; setengah, seperempat, tiga per empat, dua per tiga, ditulis dengan huruf. “Berat ikan itu setengah kilogram.” “Sawah itu baru seperempat yang ditanami.” “Warga yang bayar pajak baru tiga per empat.” “Jumlah warga yang memilih sekitar dua per tiga.” “Luas lahan yang tidak terurus 25 meter per segi.” Bukan, “Luas lahan yang tidak terurus 25 m2.”
Sekali lagi, pola penulisan ini berlaku dalam bahasa jurnalistik yang biasa digunakan surat kabar.
Penulis pengajar di Fsipol UKI, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat terhadap jurnalistik silahkan bergabung di email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Blooger Baharuddin Silaen—BAS
Langganan:
Postingan (Atom)