Selasa, 23 Desember 2008

Renungan Memasuki 2009

Renungan Memasuki 2009
Damai Sejahtera dan Umat Stres

Baharuddin Silaen


Dahlan (sebut saja begitu namanya) berdiri di atas pembatas jalan dekat lampu merah Ciledug, Tangerang. Saban pagi dia berdiri di tempat itu dengan posisi yang sama menghadap ke arah timur, tangannya seperti orang menghormat. Pakaian rapi layaknya orang kantoran. Sepintas tidak ada yang aneh dari penampilan Dahlan, sehingga yang melintas pun tidak terlalu menghiraukannya.
Belakangan diketahui, Dahlan usia sekitar 45 tahun itu, ternyata mengalami “gangguan pikiran,” stres, karena putus hubungan kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja. Rupanya semasa aktif, Dahlan selalu menunggu jemputan di dekat lampu merah Ciledug. Mungkin ia merasa masih bekerja, pagi-pagi sudah datang ke tempat itu. Berdiri berjam-jam layaknya orang menunggu bis.
Dahlan tidak sendirian, nasib sama dialami ribuan pekerja korban PHK, walaupun belum sampai stres? Pada Desember 2008 saja sudah 20 ribu terkena PHK di Indonesia. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah pada Januari 2009, menjadi dua juta orang. Pemandangan barisan panjang korban PHK bukan hanya di Indonesia, juga akan terjadi di belahan dunia, 20 juta pekerja di dunia akan memeriahkan barisan pengangguran—dipicu gelombang krisis keuangan global.
Nasib serupa juga menimpa pekerja Indonesia di Korea. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia mencatat 300 orang tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Korea dipecat sehubungan krisis global. Pekerja yang dipecat itu kebanyakan bekerja di sektor manufacturing.
Sumber lain melansir, akibat himpitan ekonomi jumlah orang stres di Indonesia meningkat tajam sepanjang periode 2008. Bahkan pasien beberapa Rumah Sakit Jiwa disebutkan terus bertambah. Malah pihak rumah sakit kewalahan menampung pasien baru. Sumber itu merinci, jumlah yang stres paling banyak justru di Sumatera Utara. Penyebab stres rata-rata karena kesulitan ekonomi.
Apabila data itu benar, logikanya—penduduk Sumatera Utara banyak orang Batak. Orang Batak tersebut kebanyakan Kristen dan orang Batak Kristen di Sumatera Utara lebih banyak warga HKBP.
Contoh lain, ketika Merpati Nusantara Airlines (MNA) memberhentikan 1300 karyawan, dari antara yang terkena PHK ada puluhan warga HKBP. Ini baru dari satu perusahaan. Bayangkan berapa banyak warga HKBP pengangguran pada 2009? Kalaupun itu benar-benar terjadi, semua berharap dan berdoa jangan sampai ada yang stres apalagi terganggu pikiran.
Betul, selain berdoa, sebaiknya ada upaya konkrit dari gereja, soalnya faktanya sudah di depan mata. Para korban PHK perlu mendapat perhatian pihak gereja. Memang sangat dimaklumi, gereja bukan bursa kerja yang menyediakan lowongan pekerjaan, tetapi bukan pula gereja tidak punya tanggung jawab moril terhadap warganya yang dilanda kesusahan. Sekecil apa pun yang disumbangkan gereja, itu sangat berarti bagi mereka yang sedang terguncang karena benturan krisis ekonomi. Seperti tuntunan hidup agar tetap kokoh kendatipun badai menerpa—jangan sampai putus asa, apalagi menempuh “jalan pintas” yang tidak wajar. Begitupun kotbah, sebaiknya menyentuh dunia riil, jangan di awang-awang—melulu tentang indahnya sorga. Lebih baik lagi kalau didukung kotbah yang mencerahkan umat sehingga mampu menerima kenyataan serta tau membedakan mana pangunjunan (cobaan) dan mana pangago (yang jahat)
Berdasarkan catatan yang dihimpun, rata-rata yang stres menempuh jalan pintas (bunuh diri) lantaran menutup diri terhadap dunia luar. Mengurung diri. Karena itu mengurung diri bukanlah cara yang tepat. Sebaiknya terbuka dan mau berbagi kepada orang atau sahabat yang dipercaya. Sangat berguna melakukan kegiatan maupun kegemaran apa saja yang disukai
Rumitnya masalah yang dihadapi umat manusia masa kini, inspirasi bagi beberapa kalangan mendirikan pusat pelayanan krisis. (Crisis Centre) Termasuk lembaga keagaamaan (gereja) Di kota-kota besar di dunia termasuk Indonesia pusat pelayanan krisis tidak susah dicari. Ada yang on line 24 jam. Ada juga yang bisa diakses lewat internet. Ada yang profesional tapi ada juga amatiran. Serunya, ada yang mengemas label iklan pelayanan dengan tulisan “Sebelum Anda bunuh diri hubungi kami.”
Belum lagi berapa banyak keluhan umat manusia yang dikirim lewat email dan SMS saban hari. Ini juga sebagai bukti, umat manusia masa kini ingin diperhatikan dan didengar. Curhat. Masalahnya, siapa yang mau memperhatikan dan mendengar keluhan orang lain?
Agaknya, krisis global bukanlah satu-satunya pemicu stres, tapi juga ketertutupan dan sifat egoisme turut memperparah keadaan saat ini. Manusia saat ini cenderung tidak perduli kepada orang lain—bahkan menutup diri terhadap dunia sekitar. Orang di sekitar bahkan di depan pagar rumahnya pun tidak dikenal, jangankan membantu, menegur pun ogah. Begitu juga deretan rumah-rumah mewah dipagar besi menjulang tinggi—wajah rumah itu mendadak sangar dan tidak bersahabat sebagai bukti tingginya egoisme manusia. Namun, tindakan menembok rumah tidak bisa disalahkan, soalnya banyak faktor kenapa orang tertutup. Sebut saja tragedi Mei 1998 misalnya, masih menyisahkan trauma berat akibat penjarahan dan kekerasan yang menimpa warga tertentu. Sejak tragedi itulah warga rame-rame menembok rumahnya rapat-rapat dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Bersamaan dengan Tahun Diakonia HKBP 2009 yang menggagas persekutuan warga jemaat secara nasional yang memikirkan pelayanan diakonia berkelanjutan, menyongsong jubileum 150 tahun HKBP, merespon berbagai masalah kemiskinan, kekerasan, keterbelakangan dan masalah lingkungan serta merespon masalah demokrasi dan globalisasi. (Suara HKBP, Desember 2008) Moment ini diharapkan sebagai ajang aksi sosial sekaligus terebosan untuk menyentuh kaum marjinal termasuk umat yang terimbas dampak krisis keuangan global.
Kendatipun dalam agenda tidak ada tercantum pelayanan bagi warga yang stres, bukan berarti diakonia tidak solider terhadap kesulitan yang dihadapi warga gereja—termasuk bagi warga yang sedang stres.
Kalau selama ini Departemen Diakonia cukup tanggap dan sigap mendatangi serta memberikan sumbangan kepada yang tertimpa bencana, diharapkan pada 2009 departemen ini juga memperhatikan umat yang ditimpa stres. Warga sangat mendambakan kehadiran gereja untuk menyentuh sisi kehidupan riil yang benar-benar dialami dan terjadi di dunia, saat ini. Setidaknya, Departemen Diakonia bisa menterjemahkan simbol keagaamaan yaitu kasih menjadi ikan dan roti bagi warga yang mebutuhkannya.
Lalu, damai sejahtera dari Allah bukanlah sebatas angin sorga tetapi juga bukti kepedulian terhadap umat yang dililit kesusahan dan stres.
Buku Ende No 286 “Unang ma tangishon” menarik juga direnungkan—siapa tau bisa menghibur.

Unang ma tangishon holso ni roham
Tu Jesus aluhan arsak ni roham
Molo humaliang gaor pe sasude
Sai porsea monang do luhut muse

Sai adong deba marsak songon ho
Ho ma paboahon na mangapul ho
Rap ho martangiang dohot angka i
Paima dipasonang Jesus sasude.

Kamis, 27 November 2008

Yesus Bagi yang Saleh dan Sekuler

John Shelby Spong penulis buku “Yesus bagi Orang Non Religius” bersikukuh menggugat doktrin yang diimani orang saleh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Buktinya, ia tidak meragukan Yesus sebagai Tuhan, tapi ia tidak ingin menyembah suatu Allah yang tidak dapat ditatang atau setia pada suatu tradisi yang mengharuskan mengunci rapat-rapat pikiran.
Yesus sebagai seorang wisatawan sorgawi yang datang dari Allah di balik langit melalui suatu kelahiran ajaib dan yang ketika karyanya sudah selesai kembali kepada Allah itu melalui suatu perjalanan kosmik. Bagi John Shelby Spong penulis bestseller “The Sins of Scripture” ini, kisah ajaib itu sesuatu yang secara harfiah tidak masuk akal, tetapi juga sedikit lebih dari uraian teologis yang berbelit-belit dan sukar dipahami. “Mereka tidak mengerti bahwa mereka sebetulnya telah mengubur Yesus di dalam peti dan suatu dunia lain, suatu waktu lain dan suatu tempat lain,” papar Spong.
Pada ulasan lain ia mengimbuhkan argumen yang radikal sekitar kelahiran Yesus. Tidak ada bintang di atas Betlehem. Tempat lahir Yesus di Betlehemn bukan sejarah. Nabi Mikha tidak meramalkannya. Sebuah bintang tidak memberitahukannya. Para Majus tidak mengikuti bintang itu. Bintang itu tidak membawa mereka ke istana raja atau ke rumah Betlehem, tempat yang dikatakan oleh tradisi sebagai tempat kelahiran bayi Kristus. Para Majus tidak mempersembahkan emas, mur dan kemenyan. “Semua rincian ini adalah bagian dari sebuah mitologi yang sedang tumbuh yang harus dipisahkan dari Yesus jika kita ingin melihatnya sebagaimana dia adanya.”
Tempat kelahiran Betlehem adalah suatu bagian lain dari suatu tradisi tafsir mesianik yang sedang berkembang. Jika sejarah adalah agenda utama kita, pada perayaan Natal kita harus bernyanyi “Hai kota mungil Nazaret” sebab kota inilah yang kuat kemungkinan sebagai tempat di mana orang yang dikenal sebagai Yesus dari Nazaret dilahirkan. “Ada apa dengan Yesus ini, sehingga membuat orang merasa perlu menyelimuti kelahirannya dengan asal-usulnya dari Betlehem dan dengan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban?” (hal. 28)
Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Umum ini pun, berupaya membeberkan kisah orang tua Yesus dari sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan sumber tertulis yang dinamakan Q (Jerman Quelle—sumber) “Bukankah ia ini anak tukang kayu. Bukankah ibunya bernama Maria?” (Matius 13:55)
Bagi Spong ayat ini rupanya menggugah, kenapa musti melibatkan Maria? Apakah nama itu sekedar melengkapi atau mempertanyakan siapakah sesungguhnya Maria? “Hanya dari penulisan ulang oleh Matius atas perikop Markus ini muncul tradisi Yusuf sebagai seorang tukang kayu. Matius melicinkan teks Markus sehingga teks ini selaras dengan perikop tentang kelahiran ajaib Yesus yang baru ia masukkan ke dalam injilnya.”
“Saya tidak percaya bahwa orang bernama Yusuf ini, yang menjadi ayah insani yang melindungi Yesus, pernah hidup. Teks-teks yang kita teliti di atas mendukung pernyataan saya ini. Yusuf dari awal sampai akhir adalah sosok mitologis ciptaan murni penulis yang kita sebut Markus.” (hal. 40)
“Saya tidak berpikir ada orang yang mengetahui siapa ayah Yesus, termasuk para penulis Perjanjian Baru. Markus tidak pernah mengatakannya. Matius dan Lukas mengatakan bahwa Roh Kudus adalah ayah Yesus sebenarnya. Injil Yohanes, yang sering disebut Injil Keempat, menyingkirkan kisah kelahiran ajaib Yesus, tetapi merujuk pada Yesus sebabagai anak Yusuf pada dua kesempatan (Yohanes 1:45; 6:42)”
Menurut penulis buku yang aslinya “Jesus for the Non-Religions” ini, alasan mengapa Yusuf tetap menjadi sosok tidak jelas sepanjang sejarah Kristen, karena ia memang merupakan karakter sastrawi sejak dari awalnya, diciptakan dari mitologi interpretatif yang berkembang.
Memang, Spong tidak serta-merta menerima mitos interpretatif yang menyelimuti kehidupan Yesus dari sisi pemahaman tradisionil. “Namun, kendatipun telah mengatakan itu, saya tetap seorang Kristen yang setia. Saya masih meyakini kebenaran yang ditemukan dalam realitas asasi yang saya namakan Allah dan saya masih melihat di dalam Yesus keallahan dan kemanusiaan menetap sepenuh-penuhnya.” (hal. 84)
Terus terang, banyak informasi dijumpai saat membaca buku ini, bahkan membuat yang saleh akan geleng-geleng kepala dengan paparan John Shelby Spong yang amat berani. Soalnya, penulis yang juga dosen tamu di berbagai universitas di Amerika Utara ini, hendak membersihkan potret Yesus dari batas-batas agama yang dipahami secara tradisionil.
Buku ini bisa dijadikan refrensi perbandingan serta pantas dibaca para teolog, mahasiswa dan pendeta yang melayani di abad 21 ini. (bas)

Demokrasi Paman Sam Inspirasi Dunia

Demokrasi Paman Sam Inspirasi Dunia

Baharuddin Silaen


Pada musim gugur, 1963, di negeri Paman Sam (Amerika Serikat) Martin Luther King Jr merajut mimpi. Mimpi itu dihamparkan lewat pidato yang amat menggetarkan seantero Amerika. Pidato yang sangat berani dibungkus pesan tentang masa depan warga kulit hitam di AS. “I have a Dream.”

Martin Luther King Jr, bermimpi melihat anak-anaknya suatu hari nanti hidup di suatu negara yang mampu menilai mereka tidak dari warna kulit, melainkan dari kepribadian dan watak. Ia juga bermimpi orang hitam pergi ke kolam renang, ke toilet umum dan naik bus tanpa harus duduk di kursi paling belakang. Untuk mimpi ini, King pun rela membayarnya dengan nyawa demi suatu harapan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh lantaran mimpinya cukup mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat rasis.
Setelah 45 tahun, mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Adalah Barack Obama yang mewujudkannya dengan pidato yang menggetarkan, bergerak dengan semangat perubahan. Ia sosok yang dikagumi, bukan hanya oleh negerinya sendiri, tetapi di belahan dunia.” Tidak ada yang tak mungkin terjadi di Amerika ini,” ucap Obama yang pernah tinggal di Menteng Dalam, Jakarta ini.
Barack Obama dari Partai Demokrasi mengukir sejarah. Ia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dengan mengusung isu perubahan—“Change We Believe In.” Pemilihan yang cantik, melalui vote yang dikemas rapi sehingga Amerika berhasil memperagakan sistem demokrasi yang pantas ditiru. Tidak ada huru-hara menghadang saat Obama dinyatakan menang. Hebatnya, John McCain yang kalah dengan ikhlas mengakui kekalahannya dan menghormati hasil pemilihan tanpa melakukan protes, apalagi meminta pemilihan diulang kembali. Tidak lama berselang, John McCain tampil di hadapan pendukungnya dan meminta supaya mendukung Barack Obama memimpin AS. Salut!
Bagaimanapun, Amerika sudah menyuguhkan contoh berdemokrasi yang berpihak kepada rakyat dan sekaligus sistem demokrasi di negeri Paman Sam ini mengilhami dunia, termasuk Indonesia. Kendatipun Amerika negara yang dihuni penduduk beragam; multiras, multietnis, multiagama dan multibudaya namun pemilihan presiden berlangsung santun dan elegan. Prinsip siap kalah dan siap menang patut ditiru.
Sikap seperti itulah yang mendesak harus dilakoni para elite politik di Indonesia, apalagi dalam pemilihan kepala daerah di negeri ini, tiada pemilihan tanpa kericuhan. Brutal dan anarkis. Malah, ada yang ngotot membawa perkara ke Mahkamah Konstitusi karena kalah suara. Memang pengalaman bangsa ini berdemokrasi belum banyak dibanding Amerika Serikat, tetapi janganlah itu dijadikan alasan untuk terus berkubang dalam sifat arogan dan picik.
Sangat memalukan, setiap penghitungan suara Pilkada selalu berakhir ricuh. Bukan hanya saling lempar batu, tapi fasilitas pun ikut dibakar dan dihancurkan. Paling konyol, massa masing-masing pendukung mendadak menjadi kerumunan yang kalap dan hilang kendali (lawless crowds) Kadar intelektual melorot ke titik nol, lalu bertingkah seperti gembel. Tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan, selebihnya pola pikir yang ngaur tak keruan.
Thomas Hobbes, filsuf Inggris, yang terkenal dengan gagasan bidang sosial politik (Leviathan) sudah mengingatkan, manusia yang tidak mempergunakan nalar atau pemikiran dengan tertib akan terperangkap ke dalam sifat bermusuhan. Karena dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu saling berkelahi. Manusia, kata Hobbes, pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik (homo homini lupus) Supaya terhindar dari sifat suka berkelahi (ricuh-pen)harus ada pemerintah yang berwiba menengahinya.
Sesungguhnya, bukan hanya pada tingkat Pilkada gelagat yang kurang bersahabat dapat disaksikan. Pada pemilihan presiden pun ketidaksiapan kalah dan menang masih dipertontonkan di negeri ini. Gara-gara kalah jadi presiden, hubungan silaturahmi pun mendadak kurang “mesra,” tidak saling tegur sapa—tidak mau ketemu. Lucunya lagi, berlanjut ke arah saling menjegal dan menjelekkan bahkan sering mengungkit-ungkit kelemahan lawan yang selanjutnya dijadikan isu pelaris kampanye politik 2009.
Sungguh naif dan membuat geleng-geleng kepala menyaksikan cara kita berdemokrasi. Apakah ini sebagai tanda, pemahaman kita tentang demokrasi masih sebatas wacana? Belum mampu menyentuh hakekat demokrasi yang sejati—hanya menempal di atas kulit—belum menyatu dengan siprit nasionalisme yang selama ini didengung-dengungkan.
Sikap gemar menjelekan dan menjegal dari para elite politik khusus bagi yang bermimpi jadi presiden republik ini juga dipertontonkan dalam iklan di media elektronik. Hampir semua Capres yang ditayangan di iklan itu menyalib di wilayah kelemahan lawan. Berlomba-lomba menyebar pesona kepada petani, kaum miskin, nelayan sereta saling mendahului menarik simpati. Tidak soal biaya menggarap dan tayang iklan itu miliaran rupiah. Dari segi kemasan dan materi, iklan itu cukup berhasil menggugah, maklumlah mengatasnamakan orang miskin, kaum melarat dan terpinggirkan. Pokok semua berpihak pada rakyat miskin. Mudah-mudahan bukan hanya dalam iklan kampanye Capres berpihak kepada rakyat kecil.
Tidak salah apalagi malu, rakyat Indonesia belajar dari Amerika soal sistem demokrasi. Keberhasilan warga Amerika Serikat merawat kebhinekaan serta menghormati demokrasi bisa menjadi inspirasi bagi warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Negeri Paman Sam ini sudah membuktikan prinsip utama sistem demokrasi tergantung kepercayaan rakyat yang bebas mengutarakan pendapat. Mereka tidak lagi melihat warna kulit, minoritas atau mayoritas tapi semua dinilai dari kemampuan dan kelayakan berdasarkan logika obyektif bukan melalui kerangka berpikir yang subyektif—lantaran satu agama, satu suku, kerabat dan konco, misalnya.
Amerika menunjukkan kepada warga AS dan dunia suatu kampanye pemilihan presiden yang menarik, hasilnya pun mencengangkan dunia. Barack Obama keturunan Afrika-Amerika, ayah kandung dari Kenya itu menjadi orang nomor satu di Amerika—baru pertama kali dalam sejarah kepresidenan AS sejak merdeka 232 tahun silam, presiden kulit hitam masuk ke Gedung Putih. Luar biasa! Kemenangannya pun disambut hangat dengan damai.
Lantas, sistem demokrasi di negara Paman Sam ini menjadi inspirasi bagi warga dunia terutama Indonesia.

Sabtu, 01 November 2008

Angka Satu Sampai Sembilan Ditulis Dengan Huruf

Angka Satu Sampai Sembilan Ditulis Dengan Huruf

Baharuddin Silaen


Pada tulisan sebelumnya, dikemukakan; bahasa jurnalistik yang lazim digunakanan para jurnalis mempunyai ciri-ciri; singkat, padat, sederhana, lancar, jelas,lugas, menarik dan netral. Selain ciri-ciri tersebut, masih ada beberapa kaidah bahasa jurnalistik yang perlu diperhatikan ketika menulis pada media cetak, yakni; penulisan angka dan singkatan.
Penulisan angka dalam jurnalistik, seperti angka satu sampai sembilan ditulis dengan huruf, bukan angka. Misal; “Baru-baru ini 3 praeses dilantik di Jakarta.” “Tahun ini ada 9 pendeta pensiun.” “Polisi menangkap 7 orang bandar narkoba.” Penulisan yang benar; “Baru-baru ini tiga praeses dilantik di Jakarta.” Tahun ini ada sembilan pendeta pensiun.” Polisi menangkap tujuh orang bandar narkoba.”
Contoh lain, “Rumah itu berukuran lima kali sembilan meter.” Bukan, “Rumah itu berukuran 5 x 9 m.” Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh delapan kilometer.” Bukan, “Setiap hari Muchtar jalan kaki sejauh 8 km.” “Ia menyumbangkan 5 % dari pendapatannya ke panti asuhan.” Penulisan yang benar, “Ia menyumbangkan lima persen dari pendapatannya ke panti asuhan.” “Gajinya per bulan Rp 5.000.000.” Tulislah seperti berikut, “Gajinya per bulan Rp 5 juta.”
Sedangkan angka 10 dan seterusnya harus ditulis dengan angka. “Dikabarkan ada 10 orang terluka pada saat kericuhan Pilkada.” Pada pemilihan bupati, Ruben unggul 23 suara dari lawannya.” “Dilaporkan ada 12 orang terkena HIV/AIDS.”
Namun, ada kekecualian, kalau di awal kalimat terdapat angka, harus ditulis dengan huruf. Misal; “Sepuluh mahasiswa harus mengikuti ujian ulangan.” “Seratus warga desa mendapat bayar langsung tunai.” Tetapi, kalau jumlah itu tidak pasti, mungkin kurang dan kemungkinan juga lebih. Tulislah seperti berikut; “Ribuan pengunjuk rasa mendatangi kantor bupati.” “Ratusan penduduk desa protes karena izin penambangan pasir diperpanjang.” “Puluhan penumpang bis terlantar di terminal.”
Boleh juga ditulis seperti ini, “Sawah penduduk yang tergenang banjir kurang lebih 50 hektar.” “Sekitar 500 meter jalan terputus akibat tanah longsor.” “Sedikitnya, 15 rumah habis terbakar.” “Ditaksir kerugian akibat kebakaran itu Rp 2 miliar.” Penulisan seperti ini sering dijumpai dalam surat kabar (media cetak) hasil perkiraan wartawan di lapangan.
Hati-hati terhadap penulisan angka yang diawali huruf. Harus dimbuhkan tanda penghubung (-) antara huruf dengan angka. Misal; “HUT RI ke-63 diperingati.” Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang ke-5.” Atau boleh juga dengan cara berikut, ”Turbo dan istri merayakan hari perkawinan yang kelima.” “HKBP pada 2012 jubileum yang ke-150.”
Sama halnya dengan penulisan angka satu sampai sembilan, seperti itu juga polanya pada penulisan angka yang diawali huruf. “Dia juara ketiga dalam pertandingan catur.” “Perguruan itu peringkat ke-9 terbaik dari 25 perguruan tinggi.”
Pedoman lain yang perlu diingat dalam penulisan di mass media. Jangan terlalu rajin menulis singkatan. Seperti; dll, sbb, yg, tsb, dst. Singkatan tersebut harus ditulis utuh—dan lain-lain, sebagai berikut, yang, tersebut, dan seterusnya.
Khusus “dan lain-lain” harus hati-hati mencantukam dalam tulisan. Acap kali penulis mengimbuhkan “dan lain-lain” tapi tidak jelas apa maksudnya? Contoh; “Kantor itu dilengkapi bermacam perabot, seperti; lemari, rak buku, meja tulis, televisi, computer, mesin photocopy, dll.
Apa yang dimaksud dengan dll pada kalimat tersebut—“dan lain-lain” itu apa? Siapa yang tau “dan lain-lain?” Jikalau memang masih ada lagi perabot di kantor itu, sebutkan saja, jangan ditulis “dan lain-lain.” Tetapi kalau memang sama sekali tidak tau lebih baik jangan ditulis dll. Ini namanya penulis yang tidak bertanggung jawab—mau enaknya saja! Sebaiknya, hindarilah cara penulisan seperti itu. Kebiasaan ini mungkin diambil alih dari model restoran yang mencatumkan dll pada menu makanan dan minuman yang dijual dalam restoran tersebut.
Sedangkan penulisan “ukuran panjang,” harus ditulis utuh—bukan disingkat, antara lain; meter, kilometer, hektar, sentimeter. Contoh penulisan yang salah. “Lebar jalan itu 5 m. Kecepatan rata-rata 100 km per jam. Luas sawah itu 4 ha. Panjang pulpen itu 10 cm.”
Penulisan yang benar; “Lebar jalan itu lima meter.” Kecepatan rata-rata 100 kilometer per jam.” Luas sawah itu empat hektar.” “Panjang pulpen itu 10 sentimeter.
Hampir sama dengan penulisan bilangan pecahan; setengah, seperempat, tiga per empat, dua per tiga, ditulis dengan huruf. “Berat ikan itu setengah kilogram.” “Sawah itu baru seperempat yang ditanami.” “Warga yang bayar pajak baru tiga per empat.” “Jumlah warga yang memilih sekitar dua per tiga.” “Luas lahan yang tidak terurus 25 meter per segi.” Bukan, “Luas lahan yang tidak terurus 25 m2.”
Sekali lagi, pola penulisan ini berlaku dalam bahasa jurnalistik yang biasa digunakan surat kabar.

Penulis pengajar di Fsipol UKI, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat terhadap jurnalistik silahkan bergabung di email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Blooger Baharuddin Silaen—BAS

Selasa, 23 September 2008

Menulis Kata Depan "di"

Sudah 28 tahun usia Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan kita pergunakan, namun masih sering dijumpai kesalahan dalam menuliskan kata atau kalimat. Kesalahan seperti itu bukan saja dijumpai di surat kabar, tetapi juga dalam karya ilmiah seperti skripsi, tesis dan desertasi. Apakah itu penulisan huruf kapital dan huruf kecil, penggunaan koma, titik koma, titik dua. Kesalaham serupa juga ditemukan pada penulisan kata depan “di” dan “ke.” Kapan ditulis padu dan kapan dipisah dari kata yang mengikutinya, tampaknya masih kacau?
Untuk membedakan mana di yang harus dituliskan terpisah dan mana di yang musti diserangkaikan, inilah kuncinya.
Kata kerja yang berawalan di ialah semua kata yang menjadi jawab pertanyaan “diapakan dia” atau “diapakan benda itu” maka awalan di harus ditulis serangkai dengan kata di depannya. Misal; diapakan dia? Dipukul, ditendang, ditikam, dicubit, dimaki, dicium, dipeluk, dibakar, dilempar, diserbu, diserang, dimarahi, dibasmi, dipermalukan, dihina, dipindahkan, diseret, dimakan, diperas, diperbaiki, dicabut, dicuri, dibrenggus, dibreidel, dipecat. Gampang bukan?
Contoh kalimat yang salah. “Gedung PGI di lempari batu oleh Satpol PP.” Penulisan yang benar, “Gedung PGI dilempari batu oleh Satpol PP.” “Beberapa mahasiswa di pukuli Satpol PP” Yang benar adalah “Beberapa mahasiswa dipukuli Satpol PP”
Bagaimana membedakan kata depan di tetapi harus ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Supaya jangan ragu-ragu menuliskannya, ingatlah pedoman berikut ini. Semua kata yang menjadi jawab pertanyaan “di mana” pastilah kata depan di dituliskan dengan dua patah kata yang terpisah. Sebab, kata depan di, jenis ini mempunyai kedudukan sebagai “kata” dan fungsinya menyatakan tempat.
Misal; di mana dia? Jawab; di pasar, di rumah, di sana, di Jakarta, di Medan. Kata depan di yang juga fungsinya menyatakan tempat harus dituliskan terpisah dari kata di depannya. Misal; di sana, di sini, di situ, di atas, di bawah, di tengah, di samping, di depan, di pinggir, di tepi, di belakang, di dalam, di luar, di sawah, di sebelah, di kiri, di kanan, di seberang, di timur, di barat, di hutan, di desa, di kota, di pelosok, di lembah dan di bukit.
Contoh penulisan yang salah. “Pendaki berada dipuncak gunung.” Seharusnya “Pendaki berada di puncak gunung.” Dipinggir jalan banyak pedagang berjualan.” Yang benar adalah “Di pinggir jalan banyak pedagang berjualan.”
Lalu, bagaimana dengan kata depan ke dan dari. Ini pun tidak berbeda dengan cara penulisan kata depan di yang berfungsi menjelaskan keterangan tempat. Kata depan ke dan dari harus dipisah dari kata yang mengikutinya.
Misal; ke sana, ke mana, ke pasar, ke rumah, ke sawah, ke kiri, ke bukit, ke atas, ke tepi, ke belakang, ke gereja. Dari mana, dari sana, dari gereja, dari sawah, dari Medan, dari belakang, dari atas, dari bawah, dari kali, dari timur.
Contoh penulisan kata ke yang salah. “Dia menyebarkan isu kemana-mana.” Penulisan yang benar “Dia menyebarkan isu ke mana-mana.” Dilarang belok kekiri.” Yang benar “Dilarang belok ke kiri.”
Namun, harus diingat, ada beberapa bentuk kecuali. Kata kepada dan daripada selalu harus dituliskan serangkai. Demikian juga dengan kata kemari dituliskan serangkai sebagai sepatah kata, karena tidak ada pasangannya di mari dan dari mari.
Mudah-mudahan dengan penjelasan di atas, kita dapat menghindari kesalahan dalam menulis kata dengan awalan di maupun ke.

Penulis pengajar di Fisipol UKI, Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat dengan jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@yahoo.com. Atau Bloger Baharuddin Silaen—Bas

Memahami Visi HKBP yang Dialogis

Baharuddin Silaen


Sinode Godang usai sudah dan pimpinan HKBP periode 2008-2012 sudah terpilih; ephorus, sekretaris jenderal dan tiga kepala departemen ditambah 26 praeses. Di antara mereka ada wajah baru dan ada juga wajah lama.
Adalah wajar apabila warga mengharapkan perubahan ke depan setelah terpilih pimpinan yang baru. Namun, tidaklah fair meletakkan semua tanggung jawab itu ke atas pundak kelima pimpinan tersebut. Sebab masa depan gereja ini bukan hanya di tangan ephorus, sekjen dan kadep. Persepsi seperti itulah yang masih menjejali benak kita, seolah-olah HKBP adalah ephorus, sekjen dan kepala departemen. Padahal masih ada lima juta jiwa warga HKBP—jumlah yang tidak tanggung-tanggung banyaknya?
HKBP juga bukan hanya Kantor Pusat, Pearaja, Tarutung. Selain yang ada di kota-kota besar, HKBP juga ada di Parsoburan, Simangampat, Parlilitan, Janji Angkola, Sungai Lebah, Asahan yang jauh dan terpencil. Semua itu adalah HKBP.
Itu juga sekaligus sebagai petunjuk, bahwa memimpin HKBP tidak cukup hanya mengandalkan kepintaran, tetapi sekaligus harus punya krakter multidimensi. Sebab harus bersentuhan dengan adat—budaya habatahon. Ini pun hendak mengingatkan, seorang pemimpin yang sukses di lembaga keagamaan lain, belum tentu berhasil memimpin HKBP? Gereja ini pun sudah pernah punya pengalaman pahit tentang kegagalan itu.
Saya hanya menduga, dicantumkan istilah “dialogis” pada visi HKBP adalah sebagai bukti bahwa gereja ini tidak mau lagi terbuai dalam mekanisme komunikasi yang selalu diatur dari atas—komunikasi satu arah (one way communication) atau monolog. Biasanya, komunikasi satu arah ditentukan satu orang (penguasa) apalagi dalam hal-hal strategis yang bersentuhan langsung dengan publik. Dalam posisi demikian hampir semua informasi yang seharusnya diketahui masyarakat dipelintir terlebih dahulu, bahkan kalau perlu ditutup secara sepihak berdasarkan selera penguasa (komunikator) Nasib yang sama, masyarakat pun diperlakukan tidak adil dalam mengakses informasi, karena dianggap mengancam kedudukan penguasa.
Itulah sebabnya, pada suatu negara yang menganut sistem komunikasi satu arah, sangat dominan keseragaman. Bahkan cenderung menjadi rezim otoriter. Karena dipaksakan semua harus sama, mulai dari pakaian, pola berpikir bahkan soal warna pun sering terjadi tawar-menawar dengan yang berkuasa. Kalau bisa mimpi pun harus seragam. Sialnya, “berbeda” pendapat dianggap melawan. Tidak sesuai dengan fatron dianggap membangkang. Apalagi kalau berseberangan dengan apa yang digariskan penguasa, jangan bayangkan aman tapi akan “diamankan.” Selebihnya adalah kondisi masyarakat yang tidak berdaya, loyo dan praktis tidak punya nyali serta tidak lebih dari wajah sekelompok masyarakat yang sedang “ketakutan” dan tertekan.
Siapa pun pemimpin yang tertarik dengan model komunikasi monolog dapat dipastikan rakyat yang dipimpinnya adalah masyarakat yang pasrah dan tunduk secara mutlak kepada sang penguasa. Atau boleh juga disebutkan barisan panjang orang yang tidak berani mengutarakan pendapat, apalagi mengeritik, sungkan mengatakan yang sebenarnya. Maklum, tidak ada jaminan bagi warga yang menyampaikan pendapatnya di depan umum. Jangankan warga, pers pun tidak boleh macam-macam, termasuk menyinggung hal-hal yang berada di wilayah kekuasaan penguasa. Hanya satu kata, breidel! Pada zaman orde baru, pemandangan seperti itu acapkali disaksikan di mana-mana. Monolog dan otoriter.
Lantas, apa hebatnya dengan model dialogis, sampai-sampai HKBP tertarik menjadikannya sebagai visi? Dialog adalah lawan monolog. Dialog adalah icon komunikasi dan digandrungi berbagai kalangan untuk mencairkan hubungan yang mandeg di antara dua pihak yang bertikai. Sesuai dengan arti katanya; dias—dua, logos—kata. Percakapan dua arah—dua pembicara. Atau disebut komunikasi dua arah (two way communications) Dialogis adalah model komunikasi yang sifatnya dua arah.
Pada komunikasi dialogis percakapan ditentukan dua orang. Posisi keduanya sama ketika terjadi dialog. Kekuasaan tidak terletak di tangan seseorang. Sama-sama punya kesempatan dan hak mengatur percakapan. Pembicaraan tidak dimonopoli satu orang seperti dalam monolog. Ciri lain yang patut dihormati dalam dialog adalah kesedian masing-masing pihak duduk bersama membicarakan hal-hal yang dianggap berbeda (pace to pace communication) Tidak heran apabila disebut komunikasi dialogis identik dengan keterbukaan yang bersifat demokratis. Sangat diyakini, demokrasi tumbuh subur apabila didukung pemimpin yang mengutamakan komunikasi dialogis.
Sebenarnya, banyak hal bisa terjadi dalam komunikasi dialogis, berikut ide-ide brilian menghias percakapan dan yang hebatnya tidak ada bisa mengekang, sebab semua lahir secara alami. Keuntungan lain dari model komunikasi dialogis ialah penilaian terhadap individu selalu obyektif sehingga dapat dipastikan bahwa “the right man on the right place” benar-benar diterapkan.
Rupanya, Dr Reuel L Howe pun terheran-heran menyaksikan keajaiban yang terjadi pada komunikasi dialog. Lalu ia bercerita banyak tentang kehebatan dialog yang dibeberkan dalam bukunya “The Miracle of Dialogue.” Karya ini adalah pengalamannya selama mengajar di Episcopal Thelogical School, Cambridge, Massachusetts. Selain dosen komunikasi dia juga pendeta. Ruel L Howe mengkui dalam dialog banyak yang tidak terduga bisa terjadi, “keajaiban” itulah kata kunci dalam dialog.
Simaklah pernyataan Howe berikut; “Dialogue is to love, what blood is to the body. When the flow of blood stops, the body dies. When dialogue stops, love dies and resentment and hate are born. But dialogue can restore a dead relationship. Indeed, this is the miracle of dialogue; it can bring relationship into being, and it can bring into being once again a relationship that has died.
Apa yang terjadi kalau dialog mandeg, kebencian dan dendam merajalela di mana-mana? Tidak terbayangkan bagaimana nasib umat manusia di dunia ini seadainya tidak ada lagi yang mencintai dialog? Dialog bukan sekedar tanya jawab, bukan juga sebatas diskusi. Tetapi dialog adalah keberanian menaggalkan atribut sosial, apalagi kalau atribut itu membuat terasing dari orang di sekitarnya. Kemampuan menerima orang lain apa adanya, itu juga adalah hakekat dialog. Bukan itu saja, perbedaan pun adalah hal yang lumrah diterima, sebab diyakini mampu melindungi identitas individu.
Para pakar komunikasi juga sepakat bahwa model komunikasi dialogis dapat hidup berdampingan dengan berbagai komunitas keagamaan, karena komunikasi dua arah mampu membetengi diri dari sikap mementingkan kelompok sendiri. Maklum, dalam dialogis tenggang rasa dan saling menghormati sangat kental. Selain toleran, dialog juga bersifat luwes terhadap keberagaman sosial, budaya dan politik.
Karena itu memahami dialogis versi HKBP adalah langkah maju untuk dapat mempertahankan jati dirinya. Harap juga diketahui, konstruksi komunikasi dialogis tidak cocok untuk tipe pemimpin otoriter, yang senang hanya memerintah dari atas.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi, isinya adalah tangganung jawab penulis. Silahkan komentar Anda dan kunjungi Bloger Baharuddin Silaen—Bas

Sabtu, 02 Agustus 2008

Mepertanggungjawabkan tanggung jawab

Penulisan kata gabung di beberapa media cetak masih sering dijumpai kesalahan, seharusnya digabung malah dipisah dan semestinya dipisah malah digabung. Sebetulnya, dalam buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” cukup jelas diuraikan cara penulisan kata gabung tersebut. Kesalahan seperti itu dapat dimaklumi. Pasalnya, belum tentu pemakai bahasa menguasai pedoman umum ejaan baru tersebut atau jangan-jangan melihat bukunya pun belum pernah?
Harap diingat, kata gabung harus ditulis terpisah sebagai dua kata. Demikian pula kata gabung yang diberi awalan atau akhiran dituliskan terpisah sebagai dua patah kata, tetapi apabila kata gabung itu diapit oleh awalan dan akhiran sekaligus, maka kata gabung itu dituliskan serangkai.
Contoh kata gabung yang dipisah; tanggung jawab, bertanggung jawab—hanya mendapat awalan. Tetapi kalau kata gabung tersebut (tanggung jawab) diapit oleh awalan dan akhiran, maka harus ditulis serangkai—mempertanggungjawabkan, dipertanggungjawabkan, pertanggungjawaban.
Contoh lain; beri tahu, diberi tahu, beri tahukan. Apabila mendapat awalan dan akhiran harus ditulis padu—memberitahukan, diberitahukan, pemberitahuan.
“Jangan beri tahu dia sebelum persoalannya jelas.” “Pemerintah memberitahukan kenaikana harga BBM sebulan lalu.” “Saya mendukung permintaan Gus Dur agar pimpinan PKB mepertanggungjwabkan seluruh dana yang diterima,” kata Hetty Koes Endang.
Ada gabungan kata, lazim disebut kata majemuk yang harus ditulis terpisah. Misal; duta besar, meja tulis, orang tua, kambing hitam, mata pelajaran, rumah sakit umum, kereta api cepat luar biasa.
“Jangan cari “kambing hitam” dalam persoalan itu?” “Tidak tepat “mengambinghitamkan” kemiskinan pemicu kejahatan.” Para orang tua murid memorotes kenaikan harga buku. Rumah sakit umum di kota itu memiliki dokter spesialis anak.
Gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata harus ditulis serangkai atau padu. Misal; bismilah, barangkali, padahal, daripada, kepada, apabila, bilamana, bagaimana, manakala, matahari, bumiputra, syahbandar, peribahasa, belasungkawa, olahraga, sediakala, segitiga, sekalipun, meskipun, walaupun, sukacita, sukarela, sukaria, saputangan, saripati, dukacita, darmawisata, kacamata, kasatmata, acapkali, adakalanya.
Ada juga unsur bahasa berkombinasi dengan unsur lain, ini pun harus ditulis padu. Misal; amoral, antarkota, caturtunggal, mahasiswa, prasangka, nonkolaborasi, poligami, semiprofesional, swadaya, ultramodern, biokimia, infrastruktur, inkonvensional, mancanegara, swadaya, telepon, panteisme, narapidana, tritunggal, multilateral.
Inilah penulisan kata “antar” yang benar. “Sopir bis antarkota sudah tiga hari mogok.” “Belum lama ini terjadi tawuran antarpelajar.” Kata antar dengan kata yang mengikutinya harus ditulis padu. Tetapi, hati-hati dengan penulisan kata “antara.” “Jarak antara kota dengan desa sekitar lima kilometer.” Kata antara dituliskan terpisah dengan kata di depannya.
Apabila kata yang dilekatinya itu berhuruf awal kapital, maka diberi garis tanda hubung—non-Indonesia, non-Kristen.
Selain penulisan yang salah, sering juga dijumpai pelafalan kata yang salah. Misal; TV (televisi), dibaca “tivi.” Seharusnya “teve” sesuai lafal huruf ‘t” dieja “te” bukan “ti,” begitu juga huruf ‘v’ dieja “ve” bukan “vi.” Mana ada “tilivisi” yang benar adalah “televisi.”
Kesalahan serupa terjadi pada pelafalan “apotek,” sering disebutkan “apotik.” Padahal tidak ada kata “apotiker” yang betul adalah “apoteker.” Dari sinilah asal kata apotek—rumah obat (tempat menjual obat-obatan) apoteker—ahli obat
Demikian juga Indonesia, dilafalkan “Endonesia.” Cobalah simak saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan, “Endonesia Raya” bukan Indonesia Raya. Huruf ‘i’ dilafalkan menjadi ‘e.’ Kenapa huruf ‘i’ bunyinya menjadi ‘e’? Peraturan itu dari mana dan siapa yang memulai kesalahan itu? Lalu bagaimana menyebutkan “Indosat, Indomie, India, indah, induk, injak, apakah juga dilafalkan dengan ‘e,’ “Endosat,” “Endomie,” “Endia,” “endah,” “enduk,” “enjak.”
Ada-ada aja. Bukan main seronoknya bahasa kita.

Baharuddin Silaen, pengajar di Fisipol UKI, Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang tertarik dengan jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@yahoo.com.

Minggu, 27 Juli 2008

Penulisan nama dan gelar yang salah

Baharuddin Silaen


Menuliskan nama yang baik dan benar di media massa, ternyata tidak gampang. Buktinya, meskipun sudah berulangkali diperbaiki sesuai “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” tetap saja penulisan nama dan gelar kesarjanaan kacau-balau. Pengalaman sebagai penyelaras bahasa (editor) di majalah Suara HKBP acap menemukan kekeliruan seperti itu. Lucunya, yang bersangkutan malah marah karena namanya tidak seperti yang ditulisnya. Ngotot menyalahkan redaksi!
Dugaan penyebab kesalahan, boleh jadi lantaran tidak tau sama sekali kaidah menuliskan nama dan gelar yang baik dan benar dalam media massa. Kemungkinan lain, adalah faktor budaya (Batak?) yang masih kuat dalam diri yang bersangkutan. Seperti ada kewajiban mencantumkan nama dan marga suami di depan nama isteri?
Kesalahan yang sering dijumpai adalah penulisan nama dan gelar. Misal, “Ny dr Budi/Tiodor Boru Silaen menyampaikan sambutan pada pertemuan itu.” Penulisan nama dalam kalimat ini membingungkan. Siapa sebenarnya yang menyampaikan sambutan, dr Budi sebagai suamikah atau Tiodor Silaen? Kalau yang dimaksudkan adalah Tiodor Silaen, sebaiknya ditulis, “Tiodor Silaen menyampaikan kata sambutan pada pertemuan itu.” Tidak perlu dicantumkan nama dr Budi sebagai suami. Begitu juga gelar (dr) tidak perlu ditulis, sebab gelar kesarjanaan bukan milik bersama (suami dan isteri)
Lagi pula, apa hubungan Budi pada kata sambutan itu? Jangan-jangan suaminya, Budi pun tidak hadir pada acara tersebut. Apakah karena suami, lalu ditulis? Atau supaya orang lain tau dia istri dari Budi. Atau alasan lain, biar semua tau bahwa dia sudah bersuami (berkeluarga) “Kenapa nama saya ditulis seperti itu, tidak tercantum nama dan marga suami saya, dikira orang aku masih gadis, padahal sudah marpahompu (cucu)” komentar salah satu yang namanya pernah dimuat dalam berita di majalah ini. Sanggahan yang lain, “Apa kata marga dari suami saya, mereka bisa marah sama saya marga suamiku tidak ditulis?” Alasan itu mengada-ada, belum tentu marah? Formulasi penulisan nama seperti itu tidak jelas dari mana asal-usulnya? Hebatnya, malah dianggap benar dan paten.
Tetapi kalau perasaan bersalah atau takut menjadi alasan, lain soal. Mungkin saja faktor budaya masih kuat sehingga kebiasaan itu terbawa-bawa ke dalam penulisan nama. Alasan lain, karena takut dan merasa bersalah, apabila marga suami tidak disebut. Kenapa ketika Budi menyampaikan sambutan tidak menyebut nama dan marga istrinya? Apakah Budi karena suami, lebih berkuasa terhadap isteri? Tidak adil rasanya.
Pengalaman lain yang lucu, ketika ada acara penyerahan sertifikat kepada peserta kursus yang diselenggarakan gereja. Kembali saya geli, ketika peserta pria (ama) dipanggil, tidak ada disebutkan nama dan marga isteri, namun saat giliran peserta perempuan (ina) nama suami yang lebih awal dipanggil baru nama yang bersangkutan, “Ny St Horas Boru S.” Mudah-mudahan ini bukan bentuk diskriminasi yang tidak disadari terhadap perempuan? Yang ikut kursus siapa, yang tercantum namanya di sertifikat siapa? “Boru S” yang kursus, tapi Horas sang suami yang menonjol dalam sertifikat. Ini sertifikat milik berdua (two in one) Geli bukan?
Perlu dicamkan, bila tulisan (artikel) maupun berita ditulis oleh seorang perempuan (isteri) tidak perlu menuliskan nama dan marga suami. Langsung saja nama penulisnya, imbuhkan nama lengkap dan marga. Tidak ada yang marah kalau cara seperti itu yang Anda tempuh? Soalnya, bukan suami Anda yang menulis artikel tersebut. Begitu juga dalam menulis berita, tidak usah mencantumkan nama suami apabila tidak ada sangkut pautnya dengan kejadiaan saat itu.
Masih berkaitan dengan nama, pada kesempatan lain, saya diminta mendoakan warga gereja yang sakit, kebetulan ada perempuan (ina) yang sakit. Sebut saja nama-nama yang sakit; Ny Togar Boru N, Ny Burju Boru B dan Ny Parlin Boru M. Terus terang, saya bingung, siapa yang sebenarnya sakit, bagaimana menyebut nama mereka dalam doa. Sampai saat ini, bila menemukan hal seperti itu, selalu saya bertanya, “Ise do namarsahit, amanta i do manang inantai?” “Inantai do amang.” Jadi jelas siapa yang sakit. Jangan sampai salah mendoakannya. Saya pun berdoa tanpa menyebut nama dan marga suami yang sakit. Pertanyaan, kenapa kalau bapak (suami) yang sakit tidak mencantumkan nama dan marga isteri?
Kembali kepada penulisan nama di media massa. Tulislah nama yang bersangkutan (yang berperan saat itu) Tidak perlu mencantumkan nama dan marga suami. “Dewi Sibarani, pada perayaan Natal itu memberikan sambutan kepada anak-anak Sekolah Minggu” Ini yang betul. Sopan dan mengindahkan bahasa Indonesia yang benar dan baik. Yakinlah, Anda tidak salah dalam penulisan seperti itu.
Ada lagi penulisan yang sering salah kaprah. Misal, Pdt Bahagia dan ibu hadir dalam pesta gereja itu. “Ibu” siapa yang dimaksud? Apakah ibu (orang tua) yang melahirkan Pdt Bahagia? Atau maksudnya istri dari Pdt Bahagia? Jikalau istri Pdt Bahagia yang dimaksud, tulis saja “Pdt Bahagia dan istri.” Jelas dan konkrit. Sopan? Sangat sopan dan lebih tepat, baik dan benar. Tetapi, kalau memang perlu disebutkan nama dan marga isteri, boleh saja, caranya, “Pdt Bahagia dan istri Siska Tambunan
Penulisan marga dalam tradisi masyarakat Batak sangat penting dan harus, apabila perempuan dicantumkan “boru.” Walaupun dari namanya sudah jelas-jelas perempuan tapi tetap diimbuhkan boru sebelum marganya. Natalia Boru Naingolan, misalnya. Natalia pastilah perempuan. Kalaupun ditulis “Natalia Nainggolan,” sebenarnya sudah benar (tanpa boru) Tapi, kalau harus dicantumkan boru, tulislah “Natalia Boru Nainggolan,” bukan disingkat “br.” Sebab “boru” adalah bagian dari identitas diri seseorang maka harus ditulis dengan huruf besar (Boru) Pertanyaan, kenapa kepada perempuan diimbuhakan “boru” dan kepada pria (baoa) bebas tanpa embel-embel? Ya, memang dari sananya udah begitu? Dalam banyak hal, posisi pria (ama) dalam tradisi Batak selalu diistimewakan. Apakah ini termasuk “keunikan” budaya Batak?
Memang ada beberapa nama tertentu yang menjadi nama babtis pria dan perempuan bagi warga Batak. Sebut misalnya, Hotma, Gokma, Tulus, Elisa, Lambok dan Parulian. Supaya jenis kelamin jelas, kadang dituliskan “boru” dalam namanya. Namun ada juga tidak perlu menuliskan boru walaupun yang punya nama adalah perempuan.
Kesalahan yang serupa masih ditemui pada penulisan gelar kesarjanaan dan sapaan kehormatan. Untuk gelar doktor (S3) penulisan yang benar adalah “Dr” dan inilah yang berlaku di seluruh Indonesia, bukan DR, dua-duanya ditulis huruf besar. Entah dia lulusan Amerika, Kanada, Australia, Jerman, Prancis, Belanda, Indonesia, maupun doktor kehormatan (HC) disingkat dengan Dr. Sedangkan dokter (S1) yang benar adalah “dr” dua-duanya huruf kecil.
Kalau selama ini kita menuliskan gelar kesarjanaan rancu, mulailah sekarang memperbaikinya. Bagi yang lain pun sangat membantu, tidak lagi mengira-ngira, apakah doktor (S3) atau dokter (S1)
Karena bahasa yang digunakan pers (mass media) adalah bahasa jurnalistik—sifatnya netral bukan paternalistik atau keningratan, sebab itu tidak mengenal sapaan bapak, ibu dan beliau dalam penulisan berita. Bapak Pdt Hidup menyerahkan kuci rumah yang baru. “Pdt Hidup menyerahkan…,” inilah yang benar. Presiden SBY hadir dalam perayaan Parolopolopon HKBP. Gubernur Rudolf Pardede. Ephorus HKBP dan Sekjed HKBP juga hadir di Senayan. Cara penulisan seperti itu cukup sopan dan santun.
Marilah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dalam penulisan.

Penulis pengajar di Fisipol UKI, mengampu mata kuliah Bahasa Jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkan menghubungi email: baharuddinsilaen@yahoo.com

Konglomerat jadi hamba Tuhan

Baharuddin Silaen


Apakah kolongmerat (orang kaya) boleh jadi penginjil? Boleh! Sah-sah saja kolongmerat jadi penginjil atau hamba Tuhan. Yang menggelitik, mengapa orang rame-rame putar haluan dan kepingin jadi “hamba Tuhan?”
Memang, fenomena itu sudah diprediksi bakal terjadi oleh peramal kaliber dunia, John Naisbitt, penulis “Megatrends 2000.” Ia juga bernubuat tentang kebangkitan agama, orang yang tadinya “menolak” ke gereja, malah berbondong-bondong memadati rumah Tuhan. Hebatnya, tidak sedikit dari antara mereka “menyodorkan” diri jadi evangelis (penginjil) kendati kehidupan mereka rata-rata sudah mapan dengan latar belakang dunia sekuler yang gemerlapan.
Ketidakpastian serta merasa tidak menemukan ketenangan jiwa, adalah pendorong utama bergerilya ke dunia religius—dari businessman, politikus, pengusaha, akademis—mendadak menjadi hamba Tuhan (pendeta) Anehnya, justru pendeta berlomba beralih profesi, jadi politikus—mengurusi partai politik dan pengusaha?
Biasanya, mereka ini lebih bangga dipanggil hamba Tuhan ketimbang pendeta. Sebutan hamba Tuhan barangkali lebih Alkitabiah, sedangkan pendeta cenderung sekuler? Tapi tidak semua pendeta “senang” dipanggil hamba Tuhan, cukup pendeta saja. Hamba Tuhan, bahasa Bataknya “na poso ni Debata.” (doulos tou Theos, Yunani)
Seiring dengan trend itu, sapaan syalom pun turut menghias pembuka pembicaraan antara sesama komunitas. Bahkan, kata syalom belakangan ini menjadi trend bagi “anak-anak Tuhan” masa kini. Tidak lagi hanya sapaan di tempat khsusus seperti gereja, tetapi sudah hampir di semua tempat dan kapan saja. Dulu, syalom masih terbatas pada surat menyurat, tidak pernah diucapkan secara lisan dalam pertemuan misalnya. Diperkirakan ucapan salom ini populer di awal 2000 terbawa arus maraknya gerakan kharismatik. Sapaan ini lama kelamaan berubah menjadi kewajiban, ketika bertemu atau saat masuk ke dalam rumah baik pada pertemuan setengah resmi maupun yang formal. Malah, sebelum berbicara didahului syalom dan setelah selesai ditutup pula dengan syalom. Anehnya, pendeta yang menyampaikan firman Tuhan, kalau tidak mengucapkan syalom, dianggap sekuler. Kaget bukan main, saya pernah ditegur karena tidak mengucapkan syalom.
Terus terang, belum pernah saya mengucapkan syalom di kala berkotbah, atau ketika berbicara di depan komunitas Krsiten. Tidak habis pikir, kenapa musti didahului dengan syalom? Apakah kata ini lebih sorgawi daripada kata Horas atau salam sejahtera? Atau merasa pengikut Kristus yang setia kalau menyebut syalom? Sambutan kita luar biasa ketika seorang Muslim mengucapkan syalom. Tepuk tangan bergemuruh.
Memang, kata syalom, dari kata syalom atau salaam—Ibrani. Salam (berkat) yang disampaikan kepada seseorang (2 Raja 4:29) Ucapan ini juga berkaitan dengan seruan perdamaian dalam tradisi Ibrani—sya’al l e’syalom. Atau “selamat” dari pertempuran—perang (1 Samuel 17:22) Salom adalah ucapan salam dalam bahasa Ibrani dan juga Arab—asalamualaikum. Yunani, salem—aman, damai. Kalau memang kata “salam damai” ini yang hendak diucapkan, kenapa harus pakai bahasa Ibrani, syalom, ucapkan saja dalam bahasa Indonesia “salam sejahtera.” Ingat, syalom bebas diterjemahkan, ia bukan milik bangsa tertentu yang memiliki otoritas mutlak. Jangan-jangan kita ikut-ikutan latah. Takutnya, lama-kelamaan di pintu rumah pun ada tulisan berbunyi “Sebelum masuk ke dalam rumah ini, ucapkan lebih dahulu syalom.” Bukan main!
Yang tak kalah serunya, cara para hamba Tuhan meluapkan kesaksian di hadapan warga. “Setelah saya dipenuhi kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru, saya bertambah sehat. Tadinya saya sempat susah jalan, bahkan mata saya tidak bisa melihat, tapi sekarang setelah mengenal Yesus dan menjadi hamba Tuhan, saya dapat melihat dengan terang, walaupun usia saya sudah 76 tahun.” Begitulah isi kesaksian yang mengaku hamba Tuhan itu. Kesaksian itu disambut tepuk tangan yang meriah. “Saudara-saudara, tepuk tangan untuk Tuhan Yesus,” ujar yang lain penuh semangat.
Luar biasa! Apalagi kalau kesaksian itu benar-benar terjadi (true testimony) Tetapi, bila kesaksian itu hanya rekayasa sekedar menuai rasa kagum sekaligus memposisikan diri untuk meraih ketenaran dengan mengatasnamakan kuasa Roh Kudus, agaknya ini pun menarik direnungkan? Puji Tuhan, kalau hal itu benar, tapi bayangkan seandaianya itu bohong-bohongan?
Tidak jarang terjadi “kesaksian palsu” dengan cara menjelek-jelekkan bahkan menghakimi kelompok lain. Mempopulerkan diri sambil “ngomingin” tetatangga. “Dulu saya sewaktu di gereja Anu tidak pernah merasakan kuasa Roh Kudus. Gereja saya dulu hanya sibuk mengurusi hal duniawi, sering ribut gara-gara duit. Setelah saya pindah gereja, barulah aku menemukan kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru.”
Kejadian di atas pengalaman seorang pendeta, yang langsung mendengar “nubuat” hamba Tuhan itu. Tentulah sang pendeta tersinggung, karena yang disebut-sebut hamba Tuhan itu adalah gereja pendeta tersebut. Rupanya sang hamba Tuhan yang berkotbah, tidak sadar bahwa di antara yang hadir itu ada sejumlah pendeta dari berbagai denominasi gereja. Usai ibadah, hamba Tuhan yang kotbah ditemui. “Kamu menyampaikan firman Tuhan kenapa seperti itu, nekad kamu menghakimi orang lain dari atas mimbar, menjelek-jelekkan gereja lain supaya kamu hebat. Dari mana kamu belajar etika berkotbah?” Perdebatan itu masih panjang, tapi kurang lebih seperti itulah inti percakapan pendeta terhadap hamba Tuhan tersebut. Ngeri juga, kalau kualitas materi kotbah hamba Tuhan seperti itu.
Selain kesaksian, ada beberapa sebutan yang sedang populer, yaitu; bertobat, lahir hidup baru, memenangkan jiwa, anak-anak Tuhan dan hamba Tuhan. Istilah ini sangat dominan mewarnai percakapan yang kadang kala sebagai “identitas” komunitas, sehingga dari sebutan itu sekaligus petunjuk bahwa kita sedang berada dalam wilayah kawanan “anak-anak Tuhan.” Bagi sebagian kelompok (gereja) istilah tersebut nyaris tidak populer, bahkan sama sekali kurang berminat menggunakannya.
Terus terang, tidak ada yang salah dari istilah itu. Istilah itu suatu bentuk ekspresi simbolik religius yang sedang bergelora. Perasaan bangga yang tak terbendung dari pengalaman rohani seseorang yang diikuti perasaan senang akan terpenuhi ketika orang lain tau bahwa dia punya pengalaman baru tentang apa yang diimaninya. Yang tidak perlu terjadi, ekspresi atau lakon rohani berlebihan, yang justru menyeret ke dalam keangkuhan rohani dan faith conceits (kesombongan iman—fistis en heautois)
Menuduh atau menghakimi orang lain dengan tergesa-gesa, suatu bentuk kesombongan iman. Umpamanya, orang lain dituduh belum bertobat, karena merokok. Orang lain belum lahir hidup baru karena tidak mau melayani. Orang lain bukan anak-anak Tuhan, karena tidak masuk persekutuan. Pendeta si Anu tidak dikuasai Roh Kudus, karena doanya tidak bisa menyembuhkan orang sakit. Gereja si A kurang rohani, karena tidak jalan persembahan persepuluhan? Gereja si B najis karena warganya pakai ulos.
Bayangkan, bila sentimen rohani seperti itu yang diangkat jadi topik kotbah di hadapan warga gereja atau di suatu KKR, betapa celakanya umat gara-gara ulah hamba Tuhan yang suka memplintir firman Tuhan sebagai topeng berbulu domba. Takutnya, yang terjadi malah bukan pencerdasan iman tetapi pembodohan dan pembusukan rohani—gemar menuduh, menjelekkan, melecehkan dan menghakimi orang lain. Pintar “mengulas” kelemahan orang lain, tapi tidak mau mengakui kekurangan sendiri.
“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Matius 7:5)

Bukan Orang Kristen?

Baharuddin Silaen


Hampir semua tulisan (opini) maupun berita yang dikirim ke redaksi majalah ini sering dijumpai pilihan kata yang tidak tepat. Bukan hanya di majalah ini, di media cetak dan media elektronik pun kesalahan serupa juga ditemukan. Memang, pilihan kata (diksi)yang tepat dalam penulisan sangat penting, supaya pembaca tidak menduga-duga atau menafsirkan sendiri makna kata tersebut. Sebaiknya harus konkrit dan jelas serta tidak bermakna ganda.
Ketepatan pilihan kata, menurut Gorys Keraf, kesanggupan kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. (Diksi dan Gaya Bahasa, hal 87)
Apa yang terbayang ketika membaca kata “orang?” Pastilah manusia, bukan hewan atau mahluk lain. Orang adalah kata ganti dari manusia. “Kamu orang apa?” Orang Batak, Jawa, Sunda, Minang, Ambon, Betawi, Bugis, Madura, Toraja. “Kamu manusia apa?” Maknanya sudah lain, sebab pilihan kata kurang pas.
Ada 10 pengertian “orang” menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia. Orang artinya; manusia, sesuatu manusia, diri sendiri, penolong bilangan bagi manusia, anak buah, rakyat, suku, orang lain, karena (sebenarnya) dan manusia yang mempunyai sifat (orang kaya)
Dari kesepuluh pengertian tersebut tidak satu pun yang menyinggung keyakinan, kepercayaan maupun yang berkaitan dengan agama. Itu berarti, kata orang tidak tepat dipergunakan menyebutkan agama yang dianut seseorang. Contoh; orang Kristen, orang Islam, orang Katolik, orang Budda, orang Hindu.
Kata orang yang dipakai di awal sebutan agama ini, tidak tepat dan salah kaprah. Pilihan katanya ngaur, tentu maknanya pun jadi berantakan. Yang benar adalah agama Kristen, bukan orang Kristen? Tidak ada orang Kristen. “Dia orang Batak agamanya Kristen.” Ini yang benar dan jelas.
Sedangkan untuk menjelaskan orang yang memeluk agama tersebut, disebut “umat” (jemaat) bukan “orang.” Misal, “perayaan Paskah dihadiri ribuan umat Kristen yang datang dari Jabodetabek. “Umat Kristen di dunia memperingati kematian Yesus Kritus pada Jumat Agung.” Umat beragama harus saling mengasihi. Bukan orang beragama? Bukan orang Kristiani, tetapi umat Kristiani.
Kata Kristiani, belakangan ini sering dipergunakan baik dalam tulisan maupun lisan. Kata ini dipungut secara utuh dari bahasa Inggris, Christianity—agama Kristen atau yang berhubungan dengan kekristenan.
Pilihan kata yang tidak tepat, juga dijumpai pada pemakaian kata “jemaat” dan “gereja.” Contoh, “penjelasan mengenai program tahun marturia diharapkan meningkatkan kepedulian jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini bisa diartikan ganda oleh pembaca, yaitu; warga gereja, atau gereja (gedung) itu sendiri. Soalnya, kata jemaat kadang kala diartikan dengan gereja. Inilah membuat bingung. “Resort ini punya lima jemaat.” Kata “jemaat” dalam kalimat ini apakah gerejanya (gedung) atau anggota gerejanya?
Supaya jangan membingungkan, tulislah “jemaat atau warga gereja,” apabila yang dimaksud adalah warganya (ruas) Apabila yang dimaksud adalah gereja (lembaga, gedung) tulislah gereja, bukan jemaat. “Resort ini punya lima gereja,” bukan “resort ini punya lima jemaat.” Soalnya, tidak masuk akal satu resort hanya punya lima anggota jemaat (orang)
Contoh pilihan kata yang benar; “Beberapa rumah jemaat HKBP di Jakarta teredam banjir.” “Sampai saat ini surat izin membangun gereja belum diperoleh.” Ingat, bukan surat izin membangun jemaat.
Sebenarnya, dari etimologi (asal-usul) katanya pun sudah jelas perbedaan arti antara gereja dengan jemaat. Kata jemaat berasal dari kata “jama’a” (Arab) dalam bahasa Ibrani disebut qahal, assembly—Inggris, ekklesia—Yunani. Kata ekklesia sering dipergunakan dalam Perjanjian Baru yang diterjemahkan dengan jemaat. Dalam Kisah 7:38 diterjemahkan “sidang jemaah” (gathering) Ekklesia juga diterjemahkan “sidang rakyat” (Kisah 19: 39) Dalam Matius 16:18, ekklesia, diterjemahkan “jemaat.” Atau kumpulan orang yang dipanggil keluar (out of to call) Berdasarkan penjelasan ini, kata jemaat adalah sebutan khusus kepada warga/umat penganut suatu agama (Kristen)
Lain halnya dengan gereja, berasal dari kata igreja, Portugis, church, Inggris, kerk, Belanda, kirche, Jerman, gareja (huria) Batak. Kata ekklesia kadang diterjemahkan gereja. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, gereja adalah gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen. Orang yang datang berkumpul ke gereja, itulah yang disebut jemaat.
Cermatlah memilih kata, agar pesan yang disampaikan dapat dipahami pembaca (pendengar) sebagaimana yang diinginkan. Kata-kata berikut ini mempunyai makna tersendiri; melihat, memandang, menatap, melirik, menengok, melongok, mengintip, jelilah memilihnya. Pilihan kata yang tepat bukan saja enak dibaca tetapi juga menjadikan kata-katanya komunikatif. Cobalah!

Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran mengenai jurnalistik, silahkan menghubungi Baharuddinsilaen @ yahoo.com

Praeses tulis huruf besar?

Baharuddin Silaen


Sewaktu sosialisasi Aturan Peraturan HKBP 2002, saya salah satu anggota dari tim yang ada di Jakarta. Tim terdiri dari delapan orang, saya paling muda di antara kami. Saya dipercayakan mengetik kembali naskah serta mengetik semua hasil diskusi dengan perbaikan di sana-sini.
Setiap diskusi, tim kami benar-benar serius membahas pasal demi pasal AP yang disampaikan panitia pusat. Percakapan kadang alot dan hangat. Pokoknya, personel tim memiliki kompetensi yang cukup baik menurut penilain saya.
Ada hal yang selalu saya ingat dari percakapan tim kami. Salah satu teman yang selalu duduk di samping saya, rajin mengingatkan supaya nama jabatan praeses yang tercantum dalam naskah ditulis dengan huruf besar. “Jangan lupa menuliskan huruf besar pada jabatan praeses. Praeses nanti marah kalau ditulis huruf kecil,” katanya waktu itu.
Terus terang tidak pernah mengomentari saran itu. Bahkan tanpa sepengetahuannya tetap saya tulis dengan huruf kecil sesuai kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kapan ditulis huruf besar dan kapan huruf kecil tentu ada aturan mainnya. Bukan mentang-mentang praeses lantas ditulis huruf besar, kapan saja dan di mana saja?
Rupanya pola pikirnya lebih tunduk kepada perasaan daripada logika berbahasa Indonesia yang benar dan baik. Sulit memang menyampaikan fakta ketika perasaan dipergunakan sebagai patokan kebenaran. Padahal, antara perasaan dan logika kerap berseberangan, ibarat langit dengan bumi. Apa menurut logika benar, belum tentu “enak” dalam perasaan. Celakanya, kalau perasaan yang selalu mendahului logika di situlah sering terjadi kesimpulan yang mengada-ada. Ia berasumsi praeses marah kalau nama jabatannya ditulis dengan huruf kecil. Tidak logis? Makanya, mengukur perasaan itu ruwetnya bukan main?
Padahal persoalannya cukup sederhana dan tidak perlu pusing kalau mau berpatokan kepada “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.” Dalam pedoman tersebut jelas diuraikan, pemakaian huruf besar dipergunakan sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan dan keagamaan yang diikuti nama orang. Misal; Nabi Ibrahim, Haji Nurdin, Pendeta Lambe, Praeses Sangap Ginting.
Apabila tidak diikuti nama orang, harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Sudah tiga tahun ia menjadi pendeta. Tahun lalu dia diangkat jadi praeses. Belum lama pangkatnya naik jadi jenderal. Foto calon gubernur dipajang sepanjang jalan.
Semua jabatan di bawah ini harus ditulis dengan huruf kecil, kalau tidak diikuti nama orang. Misal; ephorus, sekretaris jenderal, praeses, pendeta, guru huria, sintua, evangelis, diakones, bibelvrouw. Jabatan apa pun jikalau tidak diikuti nama yang bersangkutan maupun nama instansi jangan ragu menuliskannya dengan huruf kecil.
Lantas, kapan saja huruf besar dipakai? Huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi atau nama tempat. Misal; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sumatera Utara, Ephorus HKBP, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Kapolri Jenderal Sutanto. Rektor Universitas HKBP Nommensen. Kepala Dewan Diakonia HKBP Pdt Nelson F Siregar.
Kalau tidak diikuti nama orang, nama instansi atau nama tempat harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Direncanakan presiden akan ke Bali. Masyarakat menyambut kunjungan gubernur. Para petani sudah lama menunggu janji menteri. Tahun ini HKBP melaksanakan pemilihan ephorus. Inilah yang logis, baik dan benar sesuai pedoman yang berlaku di seluruh penjuru Indonesia.
Ketika membaca AP-HKBP yang berlaku 2004 itu, terngiang kembali apa yang pernah diucapkan teman satu tim, “jabatan praeses ditulis huruf besar” kendatipun tidak pada tempatnya. Wah, ini namanya penulisan berdasarkan selera dan perasaan? Setelah sadar, saya berkomentar pada diri sendiri, rupanya pedoman bahasa Indonesia tidak berlaku dalam penulisan AP-HKBP?

Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah Bahasa Jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkah menghubungi email: Baharuddinsilaen@ Yahoo.Com.

Mengejar ketinggalan sampai kiamat

Baharuddin Silaen

Menurut kaidah bahasa, kalimat ialah gabungan kata yang mengandung arti. Terdiri dari pokok kalimat, sebutan dan keterangan. Atau boleh juga disebutkan, kalimat ialah huruf, kata, gabungan beberapa kata, teratur, dilengkapi tanda baca dan mengandung pernyataan lengkap. Kurang lebih seperti itulah defenisinya.
Persoalannya, apakah kalimat yang teratur dan benar menurut kaidah bahasa otomatis logis? Belum tentu? Coba perhatikan kebiasaan warga Jakarta ketika mau turun dari bis atau angkot, dibilang “kiri” untuk stop. Dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, kiri adalah lawan kanan. Tidak ada disebutkan kiri artinya stop atau berhenti. Hanya bagi warga Jakarta “kiri” artinya stop. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama malah dianggap benar, tetapi tidak logis dan masuk akal.
Kesalahan serupa dijumpai juga dalam tulisan di media cetak maupun dalam percakapan resmi. Susunan kalimat sudah benar, baik bahkan enak dibaca tapi tidak logis. Memang, tidak gampang mengetahui apakah kalimat itu logis atau tidak? Soalnya, ketika dibaca tidak ada yang mengganggu, lancar dan mengalir begitu saja.
Seperti apakah kalimat yang tidak logis itu? Tidak logis artinya tidak masuk akal? Contoh kalimat tidak logis. “Pendeta resort yang kami hormati, kami undang ke depan untuk memberikan kata sambutan, waktu dan tempa kami persilahkan.” Di mana letak ketidaklogisan kalimat ini? Yang diminta memberikan sambutan adalah pendeta resort, tetapi yang dipersilahkan “waktu” dan “tempat.” Tidak logis! Memangnya waktu dan tempat bisa memberi kata sambutan? Tidak mungkin. Yang benar dan logis ialah, “pendeta resort yang terhormat kami undang untuk memberi kata sambutan.” Mengapa harus mempersilahkan waktu dan tempat?
Tapi jangan kaget, cobalah perhatikan baik-baik ketika mengikuti acara resmi apakah itu di kantor atau di gereja, saat kata sambutan, protokol sering melakukan kesalahan seperti itu?
Cotoh lain yang tidak logis. “Mari kita berlomba mengejar ketinggalan di bidang teknologi pada masa lampau.” Letak tidak logisnya di mana? Mengejar ketinggalan pada masa lampau. Bagaimana mungkin mengejar ketinggalan di masa lampau. Tidak mungkin ketemu. Sebab, mengejar pastilah ke depan, sedangkan ketinggalan di masa lampau sudah jelas posisinya jauh di belakang. Sudah pasti tidak ketemu, sampai kiamat pun tidak bakal ketemu. Sebaiknya, kalimat itu ditulis seperti ini, “kita harus berupaya dan kerja keras supaya kita jangan ketinggalan di bidang teknologi seperti di masa lampau.”
Berikut ini contoh kalimat yang tidak logis yang dimuat di media cetak. “Aktor Sophan Sophian meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.” Apa benar bisa seseorang meninggal karena dalam perjalanan menuju rumah sakit? Sangat tidak masuk akal. Yang benar, Sophan Sophian meninggal akibat kecelakaan, jatuh dari motor.yang dikendarainya. Kemudian dibawa ke rumah sakit, tapi dalam perjalanan menuju rumah sakit nyawanya tidak dapat diselamatkan. Ini fakta di lapangan.
Ada lagi kalimat yang tidak logis, bahkan sering tidak disadari kesalahan tersebut. “Dia menghubungi aku kemarin dengan telepon” Kalimat ini benar dan baik, tidak ada yang mengganggu, lancar dan teratur. Tapi jangan terkecoh, ada yang tidak logis dalam kalimat ini. Pemakaian kata “dengan” dalam kalimat ini tidak logis. Menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia kata “dengan” artinya; beserta, bersama-sama, keselaran, kesesuaian. Coba ganti dengan kata sinonimnya, kalimat itu bunyinya, “dia menghubungi aku kemarin bersama telepon.”
Kata yang tepat adalah “melalui” atau lewat telepon bukan “dengan” telepon. Makna kata melalui dalam kalimat ini ialah jalan yang ditempuh atau yang digunakan. Dalam ilmu komunikasi disebut media (perantara) Media (channel) yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Supaya pesan itu sampai kepada orang lain (receiver) digunakanlah media. Saluran yang dilalui/dilewati pesan tersebut, itulah yang disebut media. Media itu bermacam-macam; telepon, radio, surat kabar, televisi, film, vcd, vd, cassette, buku, spanduk, poster dan handphone
Gunakanlah media sesuai kebutuhan agar pesan sampai kepada tujuan sebagaimana yang diharapkan.

Penulis, pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik. Yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkan bergabung ke email: baharuddinsilaen@ yahoo.com.

HKBP pada kilometer 2008

Baharuddin Silaen

Tersebutlah Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar orang pertama dari orang Batak yang masuk Kristen. Mereka berdua dibabtis Pdt van Asselt, 147 tahun silam, tepatnya 31 Maret 1861, di Sipirok. Pdt van Asselt kala itu ditugaskan ke Tapanuli Selatan atas referensi Pdt Witteven dari Ermelo, Holland.
Sayang, tidak banyak dokumen yang mencatat profil Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Bagaimana awalnya mereka tertarik masuk Kristen. Catatan mengenai mereka berdua sangat minim, bahkan boleh dikatakan nyaris tidak ada. Kendati demikian, pada mulanya dari dua orang Batak yang bersedia menjadi pengikut Kristus, kini berlimpah menjadi lima juta jiwa setelah 147 tahun tonggak kekristenan ditancapkan di Tanah Batak yang sekaligus cikal bakal lahirnya HKBP.
Tentulah berkat Tuhan yang harus disyukuri, dari dua orang menjadi lima juta jiwa, bukanlah jumlah yang sedikit bagi suatu komunitas keagamaan seperti HKBP. Ditambah resort yang tersebar di mana-mana, meliputi 2619 resort, terdiri atas 26 distrik dilayani sekitar 1300 pendeta bergelar S1, S2 dan S3, lulusan dalam dan luar negeri. Gerejanya ada di Singapura, Malaysia, Denver, California dan New York—Amerika Serikat. Ini pulalah mengangkat popularitas HKBP sampai ke tingkat dunia dan bahkan disebut-sebut gereja terbesar di Asia Tenggara. Gereja ini pun dijuluki “HKBP na Bolon i.” Bukan hanya itu predikat yang disandangnya, Pdt Justin Sihombing pun dengan bangga menobatkan “HKBP do HKBP.”
Adakah yang salah dari julukan itu? Tidak! Bukan pula sikap angkuh atau “besar kepala” yang menonjol dari balik sebutan itu. Kalaupun disebut HKBP na Bolon i, maupun HKBP gereja terbesar di Asia Tenggara dan HKBP do HKBP, memang itu adalah fakta, bukan berita fiktif yang dikarang-karang. Memang besar dan pihak lain pun mengakui, HKBP itu besar.
Hanya saja, seperti pernah dilontarkan Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu, HKBP memang besar (bolon) tapi “kaki” dan “tangannya” pendek, sehingga tidak mampu menjangkau semua lini pelayanan. Ini pun betul dan benar sekali.
Karena itu, memahami HKBP dengan atribut-atribut yang disandang, haruslah dengan rasional, bukan emosional. Dengan berpikir rasional dan positif, prasangka buruk dapat ditepis dari sebutan HKBP na bolon i, sehingga nama besar yang melekat bukan sebatas basa-basi atau semboyan kosong, tetapi lebih dari itu. Saoalnya, nama besar yang dianugerahkan kepada HKBP adalah juga sebagai bukti kemampuan gereja ini menerima perbedaan pendapat, entah itu komentar ataupun kritikan yang menyakitkan. Kalau HKBP merasa dirinya besar (memang besar) itu artinya tidak langsung lunglai ketika dikritik, atau linglung ketika terjadi beda pendapat. Tetapi justru sebaliknya, tangguh menghadapi dinamika yang berkembang, itulah karakter yang menonjol dari suatu gereja besar seperti HKBP. Betul, tidak gampang mempertahankan nama besar, apalagi memelihara dan melestarikannya. Nama besar bisa sirna, apalagi kalau tidak ditopang sumber daya manusia yang kuat dan berakhlak mulia.
Lalu, bagaimana dengan sebutan “HKBP do HKBP?” Sama dengan sebutan lain, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam hal ini, apalagi kalau dipahami dengan positif, bukan dengan sinis, yakinlah tidak ada makna miring dalam hal ini. Kendatipun sampai saat ini perdebatan seputar identitas belum tuntas dibicarakan. Apakah HKBP menganut sinodal, presbiterial atau episkopal? Tapi jangan silap, apabila disebutkan HKBP do HKBP justru yang tertangkap adalah unsur mempertahankan identitas atau jati diri. Apalah artinya nama besar, tetapi tidak punya jati diri? Apa artinya gereja besar jemaatnya berjubel, tapi tidak punya ciri khas. Itu sama dengan gereja abal-abal.
Perlu diketahui, ciri khas suatu gereja adalah juga membedakannya dengan gereja lain. HKBP do HKBP adalah menunjukkan ciri khas, identitas yang tidak dimiliki gereja lain. Artinya, hanya di HKBP-lah “keunikan” itu dijumpai. Apa yang dimiliki HKBP belum tentu dimiliki gereja lain, atau sebaliknya. Keunikan itulah membuat warga HKBP menyatu dengan gerejanya. Ia menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian membentuk suatu pengalaman rohani umatnya. Justru kekhasan itulah membawa HKBP tetap kokoh berdampingan dengan gereja lain hingga di usianya yang ke-147 tahun. Bahkan ke depan harus menjadi suri teladan terhadap gereja lain.
Sekali lagi, tidak ada kesan negatif kalau dikatakan HKBP do HKBP. Bukan pula identik dengan sikap menutup diri terhadap dunia luar. HKBP do HKBP tidaklah pantas diterjemahkan sebagai tanda kesombongan, tidak peduli, kaku memahami tuntutan dunia sekitar.
Perlu diingat, gereja ini acap dituding kurang terbuka, kaku, monoton dan tidak dinamis, termasuk kotbah pendeta tidak menarik sehingga jemaat pindah gereja dan meninggalkan HKBP. Betul dan harus diakui ada warga yang pindah, namun hingga saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan korelasi perpindahan warga jemaat dengan sikap HKBP yang monoton dan kaku tersebut. Harap diketahui, persentasi penyebab perpindahan jemaat HKBP ke gereja lain belum pernah diukur melalui data-data di lapangan hingga saat ini. Sayang, sudah terlanjur beredar informasi sepihak dan malah diyakini pula warga HKBP pindah gereja gara-gara pelayanan maupun liturgi monoton, kaku dan tidak bergairah. Apakah betul hal itu penyebabnya? Barangkali HKBP sudah harus segera melakukan survei tentang kontraversi tersebut dan mengumumkan hasilnya secara terbuka kepada publik.
Sebab itu, jangan tergesa-gesa merubah tata ibadah yang sudah ratusan tahun berakar dan bertubuh dalam tubuh HKBP hanya untuk memenuhi nikmat sesaat. Jangan pula hanya untuk kesenagan orang tertentu fundasi yang sudah kukuh luluh-lantak dan dikorbakan. Banyak suara, entah itu dari jemaat, majelis dan pendeta mengatakan supaya liturgi HKBP diganti dan disesuaikan dengan selera warga masa kini. Sangatlah naif, menempuh jalan dengan merubah tata ibadah hanya untuk menjaga warga jangan pindah gereja. Kekhawatiran itu sangat mengada-ada, tidak masuk akal bahkan emosional. Ingat, tidak jaminan, liturgi suatu gereja membuat warganya betah dan tidak mau pindah gereja. Sehebat apa pun tata ibadah tidak jaminan bahwa warganya tidak akan pindah ke gereja lain. Terlepas, apakah gereja tersebut ikut ibadah aliran klasik, pop, hura-hura dan ibadah aliran alternatif.Yang penting, jangan sampai ada ibadah, tetapi Tuhan tidak hadir di sana (Menghindari Ibadah Tanpa Tuhan, Suara HKBP, Juli 2008)
Kembali ke HKBP. Oktober mendatang gereja ini berumur 147 tahun. Selama itu pula gereja ini tidak henti-hentinya menorehkan pelbagai pengalaman bergereja, bermasyarakat dan berbangsa serta secara terus-menerus membina warganya sebagai umat Tuhan yang cinta damai, bermoral, memiliki akal budi yang luhur dan pengharapan yang abadi.
Ibarat suatu perjalanan, HKBP saat ini berada pada kilometer 2008. Rute perjalanan yang amat melelahkan, berliku, mendaki, menurun dan berkelok-kelok namun dapat ditempuh dengan selamat selama 147 tahun. Badai dan angin kencang tak luput mengiringi perjalanan gereja ini dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali kemelut yang berkepanjangan pernah melilit gereja ini. Namun HKBP tetap HKBP, berdiri kokoh mengibarkan panji kebesaran Tuhan dan mengumandangkan hari kemenangan Tuhan di dunia ini. Puji Tuhan!
Setelah berada pada kilometer 2008, apa yang harus dilakukan HKBP? Ibarat mobil, perlu dicek mesin serta semua indikator. Siapa tau sudah ada yang harus diganti. Apalagi perjalanan masih jauh. Perlu persiapan matang. Selain berdoa juga dibutuhkan kerja keras. Sebab medan perjalanan HKBP ke depan tidak selalu mulus, rintangan pun diperkiran cukup banyak. Sebab itu berhentilah sejenak pada kilometer 2008 untuk menyatukan pendapat yang simpang-siur agar rintangan yang menghadang dapat dilalui dengan selamat. Berhentilah dan mengaso menjernihkan pikiran di kilometer ini untuk mempersiapkan siapa yang memimpin perjalanan selanjutnya?
Siapa pun yang memimpin HKBP ke depan sangat dibutuhkan pribadi yang arif dan konsisten terhadap jati diri HKBP. Apalagi pada era teknologi komunikasi yang canggih seperti sekarang ini, mampu merubah gaya hidup dalam tempo singkat. Pada saat bersamaan itulah sangat penting jati diri dilindungi dan dijaga, jangan sampai tercabut dari akarnya. Hal itu dapat terwujud melalui sentuhan tangan seorang pemimpin yang memahami perangkat tugas pelayanan seperti Confessi, Aturan dan Peraturan, Agenda HKBP secara benar dan baik. Kita tunggu hasilnya!

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan semua isinya tanggung jawab penulis. Email: baharuddinsilaen@yahoo.com