Renungan Memasuki 2009
Damai Sejahtera dan Umat Stres
Baharuddin Silaen
Dahlan (sebut saja begitu namanya) berdiri di atas pembatas jalan dekat lampu merah Ciledug, Tangerang. Saban pagi dia berdiri di tempat itu dengan posisi yang sama menghadap ke arah timur, tangannya seperti orang menghormat. Pakaian rapi layaknya orang kantoran. Sepintas tidak ada yang aneh dari penampilan Dahlan, sehingga yang melintas pun tidak terlalu menghiraukannya.
Belakangan diketahui, Dahlan usia sekitar 45 tahun itu, ternyata mengalami “gangguan pikiran,” stres, karena putus hubungan kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja. Rupanya semasa aktif, Dahlan selalu menunggu jemputan di dekat lampu merah Ciledug. Mungkin ia merasa masih bekerja, pagi-pagi sudah datang ke tempat itu. Berdiri berjam-jam layaknya orang menunggu bis.
Dahlan tidak sendirian, nasib sama dialami ribuan pekerja korban PHK, walaupun belum sampai stres? Pada Desember 2008 saja sudah 20 ribu terkena PHK di Indonesia. Jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah pada Januari 2009, menjadi dua juta orang. Pemandangan barisan panjang korban PHK bukan hanya di Indonesia, juga akan terjadi di belahan dunia, 20 juta pekerja di dunia akan memeriahkan barisan pengangguran—dipicu gelombang krisis keuangan global.
Nasib serupa juga menimpa pekerja Indonesia di Korea. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia mencatat 300 orang tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Korea dipecat sehubungan krisis global. Pekerja yang dipecat itu kebanyakan bekerja di sektor manufacturing.
Sumber lain melansir, akibat himpitan ekonomi jumlah orang stres di Indonesia meningkat tajam sepanjang periode 2008. Bahkan pasien beberapa Rumah Sakit Jiwa disebutkan terus bertambah. Malah pihak rumah sakit kewalahan menampung pasien baru. Sumber itu merinci, jumlah yang stres paling banyak justru di Sumatera Utara. Penyebab stres rata-rata karena kesulitan ekonomi.
Apabila data itu benar, logikanya—penduduk Sumatera Utara banyak orang Batak. Orang Batak tersebut kebanyakan Kristen dan orang Batak Kristen di Sumatera Utara lebih banyak warga HKBP.
Contoh lain, ketika Merpati Nusantara Airlines (MNA) memberhentikan 1300 karyawan, dari antara yang terkena PHK ada puluhan warga HKBP. Ini baru dari satu perusahaan. Bayangkan berapa banyak warga HKBP pengangguran pada 2009? Kalaupun itu benar-benar terjadi, semua berharap dan berdoa jangan sampai ada yang stres apalagi terganggu pikiran.
Betul, selain berdoa, sebaiknya ada upaya konkrit dari gereja, soalnya faktanya sudah di depan mata. Para korban PHK perlu mendapat perhatian pihak gereja. Memang sangat dimaklumi, gereja bukan bursa kerja yang menyediakan lowongan pekerjaan, tetapi bukan pula gereja tidak punya tanggung jawab moril terhadap warganya yang dilanda kesusahan. Sekecil apa pun yang disumbangkan gereja, itu sangat berarti bagi mereka yang sedang terguncang karena benturan krisis ekonomi. Seperti tuntunan hidup agar tetap kokoh kendatipun badai menerpa—jangan sampai putus asa, apalagi menempuh “jalan pintas” yang tidak wajar. Begitupun kotbah, sebaiknya menyentuh dunia riil, jangan di awang-awang—melulu tentang indahnya sorga. Lebih baik lagi kalau didukung kotbah yang mencerahkan umat sehingga mampu menerima kenyataan serta tau membedakan mana pangunjunan (cobaan) dan mana pangago (yang jahat)
Berdasarkan catatan yang dihimpun, rata-rata yang stres menempuh jalan pintas (bunuh diri) lantaran menutup diri terhadap dunia luar. Mengurung diri. Karena itu mengurung diri bukanlah cara yang tepat. Sebaiknya terbuka dan mau berbagi kepada orang atau sahabat yang dipercaya. Sangat berguna melakukan kegiatan maupun kegemaran apa saja yang disukai
Rumitnya masalah yang dihadapi umat manusia masa kini, inspirasi bagi beberapa kalangan mendirikan pusat pelayanan krisis. (Crisis Centre) Termasuk lembaga keagaamaan (gereja) Di kota-kota besar di dunia termasuk Indonesia pusat pelayanan krisis tidak susah dicari. Ada yang on line 24 jam. Ada juga yang bisa diakses lewat internet. Ada yang profesional tapi ada juga amatiran. Serunya, ada yang mengemas label iklan pelayanan dengan tulisan “Sebelum Anda bunuh diri hubungi kami.”
Belum lagi berapa banyak keluhan umat manusia yang dikirim lewat email dan SMS saban hari. Ini juga sebagai bukti, umat manusia masa kini ingin diperhatikan dan didengar. Curhat. Masalahnya, siapa yang mau memperhatikan dan mendengar keluhan orang lain?
Agaknya, krisis global bukanlah satu-satunya pemicu stres, tapi juga ketertutupan dan sifat egoisme turut memperparah keadaan saat ini. Manusia saat ini cenderung tidak perduli kepada orang lain—bahkan menutup diri terhadap dunia sekitar. Orang di sekitar bahkan di depan pagar rumahnya pun tidak dikenal, jangankan membantu, menegur pun ogah. Begitu juga deretan rumah-rumah mewah dipagar besi menjulang tinggi—wajah rumah itu mendadak sangar dan tidak bersahabat sebagai bukti tingginya egoisme manusia. Namun, tindakan menembok rumah tidak bisa disalahkan, soalnya banyak faktor kenapa orang tertutup. Sebut saja tragedi Mei 1998 misalnya, masih menyisahkan trauma berat akibat penjarahan dan kekerasan yang menimpa warga tertentu. Sejak tragedi itulah warga rame-rame menembok rumahnya rapat-rapat dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitarnya.
Bersamaan dengan Tahun Diakonia HKBP 2009 yang menggagas persekutuan warga jemaat secara nasional yang memikirkan pelayanan diakonia berkelanjutan, menyongsong jubileum 150 tahun HKBP, merespon berbagai masalah kemiskinan, kekerasan, keterbelakangan dan masalah lingkungan serta merespon masalah demokrasi dan globalisasi. (Suara HKBP, Desember 2008) Moment ini diharapkan sebagai ajang aksi sosial sekaligus terebosan untuk menyentuh kaum marjinal termasuk umat yang terimbas dampak krisis keuangan global.
Kendatipun dalam agenda tidak ada tercantum pelayanan bagi warga yang stres, bukan berarti diakonia tidak solider terhadap kesulitan yang dihadapi warga gereja—termasuk bagi warga yang sedang stres.
Kalau selama ini Departemen Diakonia cukup tanggap dan sigap mendatangi serta memberikan sumbangan kepada yang tertimpa bencana, diharapkan pada 2009 departemen ini juga memperhatikan umat yang ditimpa stres. Warga sangat mendambakan kehadiran gereja untuk menyentuh sisi kehidupan riil yang benar-benar dialami dan terjadi di dunia, saat ini. Setidaknya, Departemen Diakonia bisa menterjemahkan simbol keagaamaan yaitu kasih menjadi ikan dan roti bagi warga yang mebutuhkannya.
Lalu, damai sejahtera dari Allah bukanlah sebatas angin sorga tetapi juga bukti kepedulian terhadap umat yang dililit kesusahan dan stres.
Buku Ende No 286 “Unang ma tangishon” menarik juga direnungkan—siapa tau bisa menghibur.
Unang ma tangishon holso ni roham
Tu Jesus aluhan arsak ni roham
Molo humaliang gaor pe sasude
Sai porsea monang do luhut muse
Sai adong deba marsak songon ho
Ho ma paboahon na mangapul ho
Rap ho martangiang dohot angka i
Paima dipasonang Jesus sasude.
Selasa, 23 Desember 2008
Langganan:
Postingan (Atom)