Senin, 01 Agustus 2011

CERDIK DAN LICIK

Baharuddin Silaen

“Menghadapi persoalan bangsa hendaknya disikapi dengan cerdik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan peserta Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Gedung Sasana Budaya Ganesha Bandung. (Kompas 4/7)

Kata “cerdik” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia; lekas mengerti dan pandai mencari akal, pintar, berakal, panjang akal. Lawan kata cerdik adalah “licik.” Licik artinya; banyak akal yang buruk, pandai menipu, culas, curang.

Sungguh cerdik SBY memilih kata untuk mengurai suatu makna agar artinya terang benderang. Menghadapi persoalan bangsa hendaknya disikapi dengan cerdik; lekas mengerti dan pandai mencari akal, pintar, berakal serta panjang akal.

Pilihan kata itu sungguh tepat dalam kondisi bangsa yang ingin keluar dari budaya licik ke budaya unggul (cerdik) Sebab yang tertangkap mata dalam ruang publik adalah perilaku licik yang dibungkus apik dengan kepura-puraan dan basa-basi. Perilaku licik—banyak akal yang buruk—pandai menipu—culas—curang. Gambaran buruk inilah yang kita saksikan saban hari yang juga dipertontonkan lewat media televisi dan yang ditulis di media massa cetak.

Ini juga adalah wajah kita yang betah tampil berpura-pura sambil menjaga perasaan ketimbang mengungkap fakta apa adanya. Lalu mendadak berubah menjadi pribadi yang tak pecaya diri—rapuh serta acap menduga-duga yang bukan-bukan. Menduga orang lain akan marah, tersinggung—lalu akan mejadi lawan yang habis-habisan membeberkan aib keluarga. Akhirnya ketika menyampaikan sesuatu pun tidak lagi mampu jujur tapi malah berdusta sambil memilih kata yang dianggap pas menutupi fakta.

Bahkan menjadi terbiasa mempelintir fakta. Buktinya, kita sebut aman padahal ricuh. Dikatakan rukun padahal saling menyerang. Kita sebutkan pemerintah bersih tapi koruptor merajalela. Kita katakan bangsa yang ramah padahal gampang marah. Disebutkan demokratis padahal diskriminatif. Disebutkan sejahtera padahal di depan pintu rumah berjejer orang miskin. Dikatakan tidak ada teroris tapi bom sering meledak. Rajin menyebut nama Allah tapi maling. Disebutkan cerdik padahal licik.

Dusta itu pun bukan lagi hanya sebatas pilihan kata, namun sudah merembes ke mana-mana. Dia sudah akarab dalam reklame. Heboh di iklan pemukiman. Ditulis dalam iklan, lokasi perumahan bebas banjir. Padahal, hanya 30 menit hujan turun sudah tergenang banjir. Ditulis dalam iklan, dapat ditempuh hanya 15 menit dari Semanggi padahal lebih dari satu jam. Memperpanjang KTP/SIM tidak dipungut biaya, ternyata ada salam tempel. Tidak dipungut uang pembangunan sekolah, padahal dipungut juga. Licik!

Kebiasaan buruk ini terus tumbuh subur dengan akar yang tertancap kukuh dalam keseharian kita. Tak heran kalau jumlah orang yang suka mencari jalan pintas terus marak. Lebih suka menyogok daripada berlama-lama antri. Manusia semacam ini masuk kategori licik atau cerdik?

Antara licik dan cerdik menjadi remang-remang. Agaknya, orang cerdik tidak bakal populer kalau tidak licik. Manusia cerdik adalah manusia yang berpikir obyektif—jujur dan berbudaya. Tapi di negeri ini, orang jujur disingkirkan, diusir dari tempat tinggalnya. Bukankah seorang ibu wali kelas seorang anak SD di Surabaya yang jujur dan berani menyuarakan kecurangan (licik) nyontek massal saat ujian nasional di sekolah itu malah diserang dan dimusuhi?

Inilah akibat ulah yang salah kaprah yang sudah lama dibiarkan. Sikap kita yang berlebihan memuja dan memperlakukan orang berduit, berkuasa, tampil menawan dengan mobil yang menyilaukan mata. Menyambut dan mempersilahkannya duduk di tempat istimewa. Tapi kurang peduli menghargai dan menghormati orang jujur karena tampil apa adannya. Sebenarnya, inilah wajah budaya kita yang benar-benar masih pada level di permukaan—memandang seseorang dari merek mobilnya—rumahnya—hartanya dan kekuasaannya. Belum mampu melihat seseorang dengan cerdas; obyektif, jujur dan bermartabat.

Begitu juga figur orang jujur, nyaris terlupakan oleh media massa cetak dan media massa elektronik. Maklum, sosok orang jujur kurang menjanjikan dalam banyak hal—tak mampu mendongkrak tiras dan tak sudi orang membacanya. Tapi, berita gossip, selingkuh, percerain selebritis, koruptor ditayangkan berulang-ulang. Rupanya, berita miring ini menjadi komoditas yang menggiurkan bagi media?

Harap diingat, jangan sampai ada kesan seolah-olah orang jujur dilarang berbicara di negeri ini. Hanya manusia licik, curang dan pandai menipu yang “dihargai” dan ditakuti bahkan berkoar-koar. Nazaruddin adalah contoh manusia licik saat ini, mengubar isu dari persembunyiannya dengan memanfaatkan digital dan skype bahkan wancaranya diunggah di Youtube. Benar-benar licik, buktinya tidak ada yang punya nyali menangkap dan membawanya pulang ke Indonesia.

Bahkan Presiden SBY hanya sebatas memohon agar Nazaruddin pulang ke Tanah Air. Luar biasa liciknya Nazaruddin, presiden saja hanya mampu “menasehati” dia supaya pulang. Kenapa tidak mencarinya dan membawanya pulang ke Indonesia?

Tampaknya, kali ini orang cerdas kalah mutlak terhadap orang licik?

Penulis mengajar di Fisipol UKI dan Fikom UMB Jakarta

Tidak ada komentar: