Minggu, 27 Juli 2008

Konglomerat jadi hamba Tuhan

Baharuddin Silaen


Apakah kolongmerat (orang kaya) boleh jadi penginjil? Boleh! Sah-sah saja kolongmerat jadi penginjil atau hamba Tuhan. Yang menggelitik, mengapa orang rame-rame putar haluan dan kepingin jadi “hamba Tuhan?”
Memang, fenomena itu sudah diprediksi bakal terjadi oleh peramal kaliber dunia, John Naisbitt, penulis “Megatrends 2000.” Ia juga bernubuat tentang kebangkitan agama, orang yang tadinya “menolak” ke gereja, malah berbondong-bondong memadati rumah Tuhan. Hebatnya, tidak sedikit dari antara mereka “menyodorkan” diri jadi evangelis (penginjil) kendati kehidupan mereka rata-rata sudah mapan dengan latar belakang dunia sekuler yang gemerlapan.
Ketidakpastian serta merasa tidak menemukan ketenangan jiwa, adalah pendorong utama bergerilya ke dunia religius—dari businessman, politikus, pengusaha, akademis—mendadak menjadi hamba Tuhan (pendeta) Anehnya, justru pendeta berlomba beralih profesi, jadi politikus—mengurusi partai politik dan pengusaha?
Biasanya, mereka ini lebih bangga dipanggil hamba Tuhan ketimbang pendeta. Sebutan hamba Tuhan barangkali lebih Alkitabiah, sedangkan pendeta cenderung sekuler? Tapi tidak semua pendeta “senang” dipanggil hamba Tuhan, cukup pendeta saja. Hamba Tuhan, bahasa Bataknya “na poso ni Debata.” (doulos tou Theos, Yunani)
Seiring dengan trend itu, sapaan syalom pun turut menghias pembuka pembicaraan antara sesama komunitas. Bahkan, kata syalom belakangan ini menjadi trend bagi “anak-anak Tuhan” masa kini. Tidak lagi hanya sapaan di tempat khsusus seperti gereja, tetapi sudah hampir di semua tempat dan kapan saja. Dulu, syalom masih terbatas pada surat menyurat, tidak pernah diucapkan secara lisan dalam pertemuan misalnya. Diperkirakan ucapan salom ini populer di awal 2000 terbawa arus maraknya gerakan kharismatik. Sapaan ini lama kelamaan berubah menjadi kewajiban, ketika bertemu atau saat masuk ke dalam rumah baik pada pertemuan setengah resmi maupun yang formal. Malah, sebelum berbicara didahului syalom dan setelah selesai ditutup pula dengan syalom. Anehnya, pendeta yang menyampaikan firman Tuhan, kalau tidak mengucapkan syalom, dianggap sekuler. Kaget bukan main, saya pernah ditegur karena tidak mengucapkan syalom.
Terus terang, belum pernah saya mengucapkan syalom di kala berkotbah, atau ketika berbicara di depan komunitas Krsiten. Tidak habis pikir, kenapa musti didahului dengan syalom? Apakah kata ini lebih sorgawi daripada kata Horas atau salam sejahtera? Atau merasa pengikut Kristus yang setia kalau menyebut syalom? Sambutan kita luar biasa ketika seorang Muslim mengucapkan syalom. Tepuk tangan bergemuruh.
Memang, kata syalom, dari kata syalom atau salaam—Ibrani. Salam (berkat) yang disampaikan kepada seseorang (2 Raja 4:29) Ucapan ini juga berkaitan dengan seruan perdamaian dalam tradisi Ibrani—sya’al l e’syalom. Atau “selamat” dari pertempuran—perang (1 Samuel 17:22) Salom adalah ucapan salam dalam bahasa Ibrani dan juga Arab—asalamualaikum. Yunani, salem—aman, damai. Kalau memang kata “salam damai” ini yang hendak diucapkan, kenapa harus pakai bahasa Ibrani, syalom, ucapkan saja dalam bahasa Indonesia “salam sejahtera.” Ingat, syalom bebas diterjemahkan, ia bukan milik bangsa tertentu yang memiliki otoritas mutlak. Jangan-jangan kita ikut-ikutan latah. Takutnya, lama-kelamaan di pintu rumah pun ada tulisan berbunyi “Sebelum masuk ke dalam rumah ini, ucapkan lebih dahulu syalom.” Bukan main!
Yang tak kalah serunya, cara para hamba Tuhan meluapkan kesaksian di hadapan warga. “Setelah saya dipenuhi kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru, saya bertambah sehat. Tadinya saya sempat susah jalan, bahkan mata saya tidak bisa melihat, tapi sekarang setelah mengenal Yesus dan menjadi hamba Tuhan, saya dapat melihat dengan terang, walaupun usia saya sudah 76 tahun.” Begitulah isi kesaksian yang mengaku hamba Tuhan itu. Kesaksian itu disambut tepuk tangan yang meriah. “Saudara-saudara, tepuk tangan untuk Tuhan Yesus,” ujar yang lain penuh semangat.
Luar biasa! Apalagi kalau kesaksian itu benar-benar terjadi (true testimony) Tetapi, bila kesaksian itu hanya rekayasa sekedar menuai rasa kagum sekaligus memposisikan diri untuk meraih ketenaran dengan mengatasnamakan kuasa Roh Kudus, agaknya ini pun menarik direnungkan? Puji Tuhan, kalau hal itu benar, tapi bayangkan seandaianya itu bohong-bohongan?
Tidak jarang terjadi “kesaksian palsu” dengan cara menjelek-jelekkan bahkan menghakimi kelompok lain. Mempopulerkan diri sambil “ngomingin” tetatangga. “Dulu saya sewaktu di gereja Anu tidak pernah merasakan kuasa Roh Kudus. Gereja saya dulu hanya sibuk mengurusi hal duniawi, sering ribut gara-gara duit. Setelah saya pindah gereja, barulah aku menemukan kuasa Roh Kudus dan lahir hidup baru.”
Kejadian di atas pengalaman seorang pendeta, yang langsung mendengar “nubuat” hamba Tuhan itu. Tentulah sang pendeta tersinggung, karena yang disebut-sebut hamba Tuhan itu adalah gereja pendeta tersebut. Rupanya sang hamba Tuhan yang berkotbah, tidak sadar bahwa di antara yang hadir itu ada sejumlah pendeta dari berbagai denominasi gereja. Usai ibadah, hamba Tuhan yang kotbah ditemui. “Kamu menyampaikan firman Tuhan kenapa seperti itu, nekad kamu menghakimi orang lain dari atas mimbar, menjelek-jelekkan gereja lain supaya kamu hebat. Dari mana kamu belajar etika berkotbah?” Perdebatan itu masih panjang, tapi kurang lebih seperti itulah inti percakapan pendeta terhadap hamba Tuhan tersebut. Ngeri juga, kalau kualitas materi kotbah hamba Tuhan seperti itu.
Selain kesaksian, ada beberapa sebutan yang sedang populer, yaitu; bertobat, lahir hidup baru, memenangkan jiwa, anak-anak Tuhan dan hamba Tuhan. Istilah ini sangat dominan mewarnai percakapan yang kadang kala sebagai “identitas” komunitas, sehingga dari sebutan itu sekaligus petunjuk bahwa kita sedang berada dalam wilayah kawanan “anak-anak Tuhan.” Bagi sebagian kelompok (gereja) istilah tersebut nyaris tidak populer, bahkan sama sekali kurang berminat menggunakannya.
Terus terang, tidak ada yang salah dari istilah itu. Istilah itu suatu bentuk ekspresi simbolik religius yang sedang bergelora. Perasaan bangga yang tak terbendung dari pengalaman rohani seseorang yang diikuti perasaan senang akan terpenuhi ketika orang lain tau bahwa dia punya pengalaman baru tentang apa yang diimaninya. Yang tidak perlu terjadi, ekspresi atau lakon rohani berlebihan, yang justru menyeret ke dalam keangkuhan rohani dan faith conceits (kesombongan iman—fistis en heautois)
Menuduh atau menghakimi orang lain dengan tergesa-gesa, suatu bentuk kesombongan iman. Umpamanya, orang lain dituduh belum bertobat, karena merokok. Orang lain belum lahir hidup baru karena tidak mau melayani. Orang lain bukan anak-anak Tuhan, karena tidak masuk persekutuan. Pendeta si Anu tidak dikuasai Roh Kudus, karena doanya tidak bisa menyembuhkan orang sakit. Gereja si A kurang rohani, karena tidak jalan persembahan persepuluhan? Gereja si B najis karena warganya pakai ulos.
Bayangkan, bila sentimen rohani seperti itu yang diangkat jadi topik kotbah di hadapan warga gereja atau di suatu KKR, betapa celakanya umat gara-gara ulah hamba Tuhan yang suka memplintir firman Tuhan sebagai topeng berbulu domba. Takutnya, yang terjadi malah bukan pencerdasan iman tetapi pembodohan dan pembusukan rohani—gemar menuduh, menjelekkan, melecehkan dan menghakimi orang lain. Pintar “mengulas” kelemahan orang lain, tapi tidak mau mengakui kekurangan sendiri.
“Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Matius 7:5)

Tidak ada komentar: