Minggu, 27 Juli 2008

HKBP pada kilometer 2008

Baharuddin Silaen

Tersebutlah Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar orang pertama dari orang Batak yang masuk Kristen. Mereka berdua dibabtis Pdt van Asselt, 147 tahun silam, tepatnya 31 Maret 1861, di Sipirok. Pdt van Asselt kala itu ditugaskan ke Tapanuli Selatan atas referensi Pdt Witteven dari Ermelo, Holland.
Sayang, tidak banyak dokumen yang mencatat profil Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Bagaimana awalnya mereka tertarik masuk Kristen. Catatan mengenai mereka berdua sangat minim, bahkan boleh dikatakan nyaris tidak ada. Kendati demikian, pada mulanya dari dua orang Batak yang bersedia menjadi pengikut Kristus, kini berlimpah menjadi lima juta jiwa setelah 147 tahun tonggak kekristenan ditancapkan di Tanah Batak yang sekaligus cikal bakal lahirnya HKBP.
Tentulah berkat Tuhan yang harus disyukuri, dari dua orang menjadi lima juta jiwa, bukanlah jumlah yang sedikit bagi suatu komunitas keagamaan seperti HKBP. Ditambah resort yang tersebar di mana-mana, meliputi 2619 resort, terdiri atas 26 distrik dilayani sekitar 1300 pendeta bergelar S1, S2 dan S3, lulusan dalam dan luar negeri. Gerejanya ada di Singapura, Malaysia, Denver, California dan New York—Amerika Serikat. Ini pulalah mengangkat popularitas HKBP sampai ke tingkat dunia dan bahkan disebut-sebut gereja terbesar di Asia Tenggara. Gereja ini pun dijuluki “HKBP na Bolon i.” Bukan hanya itu predikat yang disandangnya, Pdt Justin Sihombing pun dengan bangga menobatkan “HKBP do HKBP.”
Adakah yang salah dari julukan itu? Tidak! Bukan pula sikap angkuh atau “besar kepala” yang menonjol dari balik sebutan itu. Kalaupun disebut HKBP na Bolon i, maupun HKBP gereja terbesar di Asia Tenggara dan HKBP do HKBP, memang itu adalah fakta, bukan berita fiktif yang dikarang-karang. Memang besar dan pihak lain pun mengakui, HKBP itu besar.
Hanya saja, seperti pernah dilontarkan Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu, HKBP memang besar (bolon) tapi “kaki” dan “tangannya” pendek, sehingga tidak mampu menjangkau semua lini pelayanan. Ini pun betul dan benar sekali.
Karena itu, memahami HKBP dengan atribut-atribut yang disandang, haruslah dengan rasional, bukan emosional. Dengan berpikir rasional dan positif, prasangka buruk dapat ditepis dari sebutan HKBP na bolon i, sehingga nama besar yang melekat bukan sebatas basa-basi atau semboyan kosong, tetapi lebih dari itu. Saoalnya, nama besar yang dianugerahkan kepada HKBP adalah juga sebagai bukti kemampuan gereja ini menerima perbedaan pendapat, entah itu komentar ataupun kritikan yang menyakitkan. Kalau HKBP merasa dirinya besar (memang besar) itu artinya tidak langsung lunglai ketika dikritik, atau linglung ketika terjadi beda pendapat. Tetapi justru sebaliknya, tangguh menghadapi dinamika yang berkembang, itulah karakter yang menonjol dari suatu gereja besar seperti HKBP. Betul, tidak gampang mempertahankan nama besar, apalagi memelihara dan melestarikannya. Nama besar bisa sirna, apalagi kalau tidak ditopang sumber daya manusia yang kuat dan berakhlak mulia.
Lalu, bagaimana dengan sebutan “HKBP do HKBP?” Sama dengan sebutan lain, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam hal ini, apalagi kalau dipahami dengan positif, bukan dengan sinis, yakinlah tidak ada makna miring dalam hal ini. Kendatipun sampai saat ini perdebatan seputar identitas belum tuntas dibicarakan. Apakah HKBP menganut sinodal, presbiterial atau episkopal? Tapi jangan silap, apabila disebutkan HKBP do HKBP justru yang tertangkap adalah unsur mempertahankan identitas atau jati diri. Apalah artinya nama besar, tetapi tidak punya jati diri? Apa artinya gereja besar jemaatnya berjubel, tapi tidak punya ciri khas. Itu sama dengan gereja abal-abal.
Perlu diketahui, ciri khas suatu gereja adalah juga membedakannya dengan gereja lain. HKBP do HKBP adalah menunjukkan ciri khas, identitas yang tidak dimiliki gereja lain. Artinya, hanya di HKBP-lah “keunikan” itu dijumpai. Apa yang dimiliki HKBP belum tentu dimiliki gereja lain, atau sebaliknya. Keunikan itulah membuat warga HKBP menyatu dengan gerejanya. Ia menjadi daya tarik tersendiri yang kemudian membentuk suatu pengalaman rohani umatnya. Justru kekhasan itulah membawa HKBP tetap kokoh berdampingan dengan gereja lain hingga di usianya yang ke-147 tahun. Bahkan ke depan harus menjadi suri teladan terhadap gereja lain.
Sekali lagi, tidak ada kesan negatif kalau dikatakan HKBP do HKBP. Bukan pula identik dengan sikap menutup diri terhadap dunia luar. HKBP do HKBP tidaklah pantas diterjemahkan sebagai tanda kesombongan, tidak peduli, kaku memahami tuntutan dunia sekitar.
Perlu diingat, gereja ini acap dituding kurang terbuka, kaku, monoton dan tidak dinamis, termasuk kotbah pendeta tidak menarik sehingga jemaat pindah gereja dan meninggalkan HKBP. Betul dan harus diakui ada warga yang pindah, namun hingga saat ini belum ada data akurat yang menunjukkan korelasi perpindahan warga jemaat dengan sikap HKBP yang monoton dan kaku tersebut. Harap diketahui, persentasi penyebab perpindahan jemaat HKBP ke gereja lain belum pernah diukur melalui data-data di lapangan hingga saat ini. Sayang, sudah terlanjur beredar informasi sepihak dan malah diyakini pula warga HKBP pindah gereja gara-gara pelayanan maupun liturgi monoton, kaku dan tidak bergairah. Apakah betul hal itu penyebabnya? Barangkali HKBP sudah harus segera melakukan survei tentang kontraversi tersebut dan mengumumkan hasilnya secara terbuka kepada publik.
Sebab itu, jangan tergesa-gesa merubah tata ibadah yang sudah ratusan tahun berakar dan bertubuh dalam tubuh HKBP hanya untuk memenuhi nikmat sesaat. Jangan pula hanya untuk kesenagan orang tertentu fundasi yang sudah kukuh luluh-lantak dan dikorbakan. Banyak suara, entah itu dari jemaat, majelis dan pendeta mengatakan supaya liturgi HKBP diganti dan disesuaikan dengan selera warga masa kini. Sangatlah naif, menempuh jalan dengan merubah tata ibadah hanya untuk menjaga warga jangan pindah gereja. Kekhawatiran itu sangat mengada-ada, tidak masuk akal bahkan emosional. Ingat, tidak jaminan, liturgi suatu gereja membuat warganya betah dan tidak mau pindah gereja. Sehebat apa pun tata ibadah tidak jaminan bahwa warganya tidak akan pindah ke gereja lain. Terlepas, apakah gereja tersebut ikut ibadah aliran klasik, pop, hura-hura dan ibadah aliran alternatif.Yang penting, jangan sampai ada ibadah, tetapi Tuhan tidak hadir di sana (Menghindari Ibadah Tanpa Tuhan, Suara HKBP, Juli 2008)
Kembali ke HKBP. Oktober mendatang gereja ini berumur 147 tahun. Selama itu pula gereja ini tidak henti-hentinya menorehkan pelbagai pengalaman bergereja, bermasyarakat dan berbangsa serta secara terus-menerus membina warganya sebagai umat Tuhan yang cinta damai, bermoral, memiliki akal budi yang luhur dan pengharapan yang abadi.
Ibarat suatu perjalanan, HKBP saat ini berada pada kilometer 2008. Rute perjalanan yang amat melelahkan, berliku, mendaki, menurun dan berkelok-kelok namun dapat ditempuh dengan selamat selama 147 tahun. Badai dan angin kencang tak luput mengiringi perjalanan gereja ini dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali kemelut yang berkepanjangan pernah melilit gereja ini. Namun HKBP tetap HKBP, berdiri kokoh mengibarkan panji kebesaran Tuhan dan mengumandangkan hari kemenangan Tuhan di dunia ini. Puji Tuhan!
Setelah berada pada kilometer 2008, apa yang harus dilakukan HKBP? Ibarat mobil, perlu dicek mesin serta semua indikator. Siapa tau sudah ada yang harus diganti. Apalagi perjalanan masih jauh. Perlu persiapan matang. Selain berdoa juga dibutuhkan kerja keras. Sebab medan perjalanan HKBP ke depan tidak selalu mulus, rintangan pun diperkiran cukup banyak. Sebab itu berhentilah sejenak pada kilometer 2008 untuk menyatukan pendapat yang simpang-siur agar rintangan yang menghadang dapat dilalui dengan selamat. Berhentilah dan mengaso menjernihkan pikiran di kilometer ini untuk mempersiapkan siapa yang memimpin perjalanan selanjutnya?
Siapa pun yang memimpin HKBP ke depan sangat dibutuhkan pribadi yang arif dan konsisten terhadap jati diri HKBP. Apalagi pada era teknologi komunikasi yang canggih seperti sekarang ini, mampu merubah gaya hidup dalam tempo singkat. Pada saat bersamaan itulah sangat penting jati diri dilindungi dan dijaga, jangan sampai tercabut dari akarnya. Hal itu dapat terwujud melalui sentuhan tangan seorang pemimpin yang memahami perangkat tugas pelayanan seperti Confessi, Aturan dan Peraturan, Agenda HKBP secara benar dan baik. Kita tunggu hasilnya!

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan semua isinya tanggung jawab penulis. Email: baharuddinsilaen@yahoo.com

Tidak ada komentar: