Minggu, 27 Juli 2008

Praeses tulis huruf besar?

Baharuddin Silaen


Sewaktu sosialisasi Aturan Peraturan HKBP 2002, saya salah satu anggota dari tim yang ada di Jakarta. Tim terdiri dari delapan orang, saya paling muda di antara kami. Saya dipercayakan mengetik kembali naskah serta mengetik semua hasil diskusi dengan perbaikan di sana-sini.
Setiap diskusi, tim kami benar-benar serius membahas pasal demi pasal AP yang disampaikan panitia pusat. Percakapan kadang alot dan hangat. Pokoknya, personel tim memiliki kompetensi yang cukup baik menurut penilain saya.
Ada hal yang selalu saya ingat dari percakapan tim kami. Salah satu teman yang selalu duduk di samping saya, rajin mengingatkan supaya nama jabatan praeses yang tercantum dalam naskah ditulis dengan huruf besar. “Jangan lupa menuliskan huruf besar pada jabatan praeses. Praeses nanti marah kalau ditulis huruf kecil,” katanya waktu itu.
Terus terang tidak pernah mengomentari saran itu. Bahkan tanpa sepengetahuannya tetap saya tulis dengan huruf kecil sesuai kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Kapan ditulis huruf besar dan kapan huruf kecil tentu ada aturan mainnya. Bukan mentang-mentang praeses lantas ditulis huruf besar, kapan saja dan di mana saja?
Rupanya pola pikirnya lebih tunduk kepada perasaan daripada logika berbahasa Indonesia yang benar dan baik. Sulit memang menyampaikan fakta ketika perasaan dipergunakan sebagai patokan kebenaran. Padahal, antara perasaan dan logika kerap berseberangan, ibarat langit dengan bumi. Apa menurut logika benar, belum tentu “enak” dalam perasaan. Celakanya, kalau perasaan yang selalu mendahului logika di situlah sering terjadi kesimpulan yang mengada-ada. Ia berasumsi praeses marah kalau nama jabatannya ditulis dengan huruf kecil. Tidak logis? Makanya, mengukur perasaan itu ruwetnya bukan main?
Padahal persoalannya cukup sederhana dan tidak perlu pusing kalau mau berpatokan kepada “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.” Dalam pedoman tersebut jelas diuraikan, pemakaian huruf besar dipergunakan sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan dan keagamaan yang diikuti nama orang. Misal; Nabi Ibrahim, Haji Nurdin, Pendeta Lambe, Praeses Sangap Ginting.
Apabila tidak diikuti nama orang, harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Sudah tiga tahun ia menjadi pendeta. Tahun lalu dia diangkat jadi praeses. Belum lama pangkatnya naik jadi jenderal. Foto calon gubernur dipajang sepanjang jalan.
Semua jabatan di bawah ini harus ditulis dengan huruf kecil, kalau tidak diikuti nama orang. Misal; ephorus, sekretaris jenderal, praeses, pendeta, guru huria, sintua, evangelis, diakones, bibelvrouw. Jabatan apa pun jikalau tidak diikuti nama yang bersangkutan maupun nama instansi jangan ragu menuliskannya dengan huruf kecil.
Lantas, kapan saja huruf besar dipakai? Huruf besar dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi atau nama tempat. Misal; Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sumatera Utara, Ephorus HKBP, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah. Kapolri Jenderal Sutanto. Rektor Universitas HKBP Nommensen. Kepala Dewan Diakonia HKBP Pdt Nelson F Siregar.
Kalau tidak diikuti nama orang, nama instansi atau nama tempat harus ditulis dengan huruf kecil. Misal; Direncanakan presiden akan ke Bali. Masyarakat menyambut kunjungan gubernur. Para petani sudah lama menunggu janji menteri. Tahun ini HKBP melaksanakan pemilihan ephorus. Inilah yang logis, baik dan benar sesuai pedoman yang berlaku di seluruh penjuru Indonesia.
Ketika membaca AP-HKBP yang berlaku 2004 itu, terngiang kembali apa yang pernah diucapkan teman satu tim, “jabatan praeses ditulis huruf besar” kendatipun tidak pada tempatnya. Wah, ini namanya penulisan berdasarkan selera dan perasaan? Setelah sadar, saya berkomentar pada diri sendiri, rupanya pedoman bahasa Indonesia tidak berlaku dalam penulisan AP-HKBP?

Penulis pengajar di Fisipol UKI Jakarta, mengampu mata kuliah Bahasa Jurnalistik. Bagi yang berminat bertukar pikiran bidang jurnalistik silahkah menghubungi email: Baharuddinsilaen@ Yahoo.Com.

Tidak ada komentar: