Catatan harian saya, sudah lama terselip di antara tumpukan buku-buku, secara tidak sengaja kutemukan kembali sewaktu mencari buku di lemari buku. Setelah kubaca ulang, biasa-biasa saja, tidak ada yang layak diberikan nilai plus. Informasinya sangat minim, bahkan kering. Lama aku termenung, menerawang ke masa lampau, 29 tahun silam di sebuah desa kecil di Parausorat. Begini kisahnya.
Saya diajak Pdt Prof Dr Adelbert A Sitompul (alm) menemaninya pada acara evangelisasi di HKBP Sipirok (1980) ketika itu aku masih pendeta praktek di HKBP Pangaloan. AA Sitompul saat itu baru bertugas di Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung, setelah pulang dari Geneva. Meskipun hanya dua hari kami menjelajah pelosok Sipirok, banyak hal yang didapat.
Di perjalanan, aku bertanya kepada AA Sitompul, kenapa bukan yang lain diajak menemaninya, kenapa saya? “Kamu sering menulis di surat kabar, tulislah nanti perjalanan kita ke Parausorat,” jawab Sitompul waktu itu. Terus terang saya senang mendapat kesempatan menemaninya, karena sewaktu mahasiswa, Pdt AA Sitompul adalah dosen yang saya kagumi. “Petualangan” kami itu dimuat di “Sinar Indonesia Baru” Medan.
Pagi-pagi kami menuju Parausorat setelah lebih dulu menjelajahi Bungabondar. Kami sempat mengunjungi beberapa gereja tua serta makam para misionaris yang pernah melayani di Sipirok. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Parausorat. Di tempat ini bertemu dengan beberapa warga Kristen yang masih tetap pengikut Kristus. Mereka tinggal dekat gereja yang di Parausorat, yang warganya waktu itu hanya tinggal enam kepala keluarga. Gereja ini tidak jauh dari bekas Sekolah Guru yang didirikan 1868. Bangunan sekolah ini tidak ada lagi, habis ditelan waktu, hanya ada bekas tiang tertancap (1980) itu pun sudah lapuk dan tinggal 30 sentimeter dari permukaan tanah. Di dalam gereja berukuran lima kali delapan meter tergantung foto Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, inilah orang Batak pertama masuk Kristen. Waktu itu kami dipandu Pdt Sabar P Simanungkalit, Pendeta Resort HKBP Spirok waktu itu. Sekarang Pendeta Resort HKBP Kernolong, Jakarta.
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan, tapi kali ini “petualangan” dari rumah ke rumah penduduk. Rupanya, ada misi lain yang baru belakangan diberitahu AA Sitompul kepada saya, dia mau menulis buku tentang orang-orang Batak yang pertama masuk Kristen. “Buku seperti ini belum pernah ada yang tulis,” ujar AA Sitompul bersemangat.
Sudah lupa saya berapa rumah kami kunjungi waktu itu, tapi yang jelas dari tiap rumah yang kami kunjungi, pasti ada buku yang dibawa pulang. Dengan perjanjian kepada pemilik buku, “pinjam” dan akan dikembalikan. Buku-buku yang kami pinjam itu, hampir semuanya ditulis tangan oleh para misionaris dan penggantinya. Tulisannya sangat rapi dan jelas. Ada yang sebagian sudah dimakan rayap, ada yang sobek dan ada yang kena air sehingga tulisan tidak terbaca lagi. “Jangan ada yang tertinggal, bawa semua, ” Sitompul berulangkali mengingatkan saya.
Saya ditugasi waktu itu mencatat setiap buku, alamat dan nama pemilik buku. Lumayan juga bundelan yang kami angkut hasil petualangan mencari buku/catatan para misionaris. Waktu itu Sitompul bilang kepada saya, namamu akan saya tulis dalam buku yang akan diterbitkan. “Nunga dohot ho loja mandongani au mandiori angka catatan ni parbarita na uli parjalo tu Sipirok, husurathon pe goramu di buku i,” Sitompul berjanji.
Selang beberapa tahun kemudian buku terbit berjudul “Sitotas Nambur Hakristenon.” “Hebat juga Pdt AA Sitompul, jadi juga terbit buku yang menarik yang mengisahkan perjalanan orang Batak masuk Kristen,” kata saya dalam hati. Walaupun nama saya tidak tercantum seperti dijanjikan, saya tidak kecewa. Mungkin dia lupa. Saya tetap bangga kepada Pdt Adelbert A Sitompul, di sela-sela kesibukannya dia masih sempat menulis buku yang sekaligus memperkaya karya-karya yang bermanfaat bagi warga HKBP dan yang membacanya.
Sayang, ketika dia meninggal, sebulan kemudian saya baru dapat informasi. Padahal sama-sama di Jakarta. Hanya penesalan yang terlontar. Saya terlalu cuek ketika mendengar dia dirawat. Tidak menjenguknya ketika dia terbaring sakit.
Pada kesempatan lain, saya pernah mewancarainya, ia mengatakan; pendeta harus rajin membaca, jangan karena di desa membaca dianggap tidak perlu. Kalau pendeta malas membaca, khotbahnya pun jadi “pollung tubu” (apa yang muncul saat itu-pen)
Nasehat AA Sitompul ini terngiang kembali, ketika ada yang mengeluh mengenai kotbah pendeta dari itu ke itu, bolak-balik—sudah pernah dikotbahkan diulang lagi. “Pendeta kami kurang membaca, khotbahnya tidak menarik. Mulak-ulak. Tidak ada persiapan,” komentar salah satu warga gereja.
Ada juga benarnya komentar warga gereja ini. Apalagi pendeta yang melayani di kota besar seperti Medan, Bandung, Jakarta, buku dan membaca adalah kebutuhan yang harus dipelihara. Bayangkan, seorang pendeta lima tahun melayani pada satu gereja (resort) berapa kali dia berkotbah dalam satu minggu, belum lagi ke kategorial, punguan, partangiangan. Bagaimanapun “hebatnya” pendeta berkotbah suatu saat pasti mengalami kejenuhan—habis kamus. Tahun pertama, kedua dan ketiga kotbahnya masih menarik, maklum masih banyak stok. Tahun keempat dan kelima mulai kalang kabut.
Mengatasinya, tidak ada jalan lain kecuali banyak membaca buku, majalah, surat kabar, rajin bersilancar di dunia maya. Pokoknya harus senantiasa mengaktualisasikan diri sehingga bisa berdampingan dengan kehebatan teknologi komunikasi masa kini. Bukan mengada-ada, soalnya, warga gereja yang dialayani sudah terbiasa dengan website, internet, bayangkan kalau pendeta membuka email pun susah. Orang sudah terbiasa membuka Alkitab Elektronik, pendetanya boro-boro membuka, melihat pun belum pernah? Betul, tidak jaminan menguasai website, internet lebih hebat, tapi paling tidak menambah wawasan dan percaya diri.
Kebutuhan buku bagi pelayaan gereja sudah keharusan apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta. Tak heran, beberapa gereja di Jakarta sudah menyisihkan dana untuk pos pemebelian buku dan internet pelayaan (pendeta) Ini langkah maju yang perlu dicontoh.
Menarik cerita Pdt Dr Richard M Daulay, Sekretaris Umum PGI, bagaimana dia mempersiapkan kotbahnya. “Saya tidak berani berkotbah kalau saya tidak mempersiapkan materi kotbah dengan benar. Kadang harus saya ke toko buku membeli buku dua sampai tiga di luar buku-buku tafsir, “ ucap Richard.
Begitu juga Pdt Dr Einar M Sitompul, yang sering diundang ceramah dan berkotbah di berbagai gereja, selalu mempersiapkan kotbahnya dan banyak membaca. Pendeta ini sejak mahasiswa sampai sekarang kebiasaan membeli buku secara teratur masih terus dilakoninya. Tiada hari tanpa membaca. Ke mana saja dia selalu membawa buku dan tentu membacanya.
Ketika pendeta di Bandung, hampir semua tempat penjualan buku bekas dijelajahinya. Sekarang pun kegemaran itu masih terus ditekuninya, jangan heran kalau suatu ketika ketemu Einar Sitompul di tempat penjualan buku bekas di Pasar Senen, Jakarta. “Tidak harus baru kan, yang bekas pun masih bagus, yang penting isinya,” kata Einar sewaktu kami sama-sama di Bandung yang pernah menghadiahkan saya buku “Speaker’s Sourcebook” karya Eleanor Doan.
Memang repot kalau pendeta kurang membaca!
Minggu, 25 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar