Minggu, 25 Oktober 2009

Jangan Bawa Marga Suami

Pada edisi sebelumnya sudah pernah dibahas di majalah ini cara penulisan gelar, nama dan marga yang benar dalam media massa cetak. Namun tulisan (berita) yang dikirim ke Suara HKBP pada umumnya belum mengindahkan norma-norma penulisan yang benar berdasarkan kaidah jurnalistik yang berlaku. Sedihnya, kesalahan bukan saja dilakukan penulis pemula, tapi penulis yang sudah berpengalaman pun melakukan hal serupa. Tapi sejauh ini masih dapat dimaklumi, siapa tau memang belum pernah membacanya atau boleh jadi tidak tau sama sekali caranya seperti itu.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menulis identitas (nama dan marga) seseorang. Pertama, jangan merasa bersala kalau tidak menuliskan marga suami dari narasumber yang Anda tulis. Kedua, harus dimengerti—menulis berita untuk surat kabar dan majalah berbeda dengan menulis surat biasa. Menulis berita, ada aturan main yang sudah baku. Misalnya, tidak perlu menulis marga suami dari narasumber apabila tidak ada peranan langsung saat kejadian itu terjadi.
Kesalahan seperti inilah yang masih terus dijumpai dalam tulisan dan berita yang dikirim ke Suara HKBP. Penyelaras bahasa (editor) bukan saja jengkel tapi juga bingung saat mengoreksi tulisan tersebut. Sulit membedakan, manakah di antara nama dan marga yang ditulis yang berkompeten? Suamikah atau istri?
Contoh; “Ny Dermawan Siringoringo SH br Nainggolan mengatakan dalam sambutannya, hendaklah para orang tua menjadi teladan dalam rumah tangga.”
Coba simak, siapakah sebenarnya yang mengatakan pernyataan ini? Dermawan Siringoringo atau Boru Nainggolan? Kalau yang dimaksud adalah Boru Nainggolan, kenapa marga suaminya dibawa-bawa? Apa fungsi Dermawan Siringoringo dalam berita itu? Apakah karena sebagai suami dari Boru Nainggolan, atau supaya orang lain tau bahwa Boru Nainggolan sudah berkeluarga (Ompu si A) bukan anak gadis lagi? Atau supaya hormat dan sopan kepada suami? Atau ada keharusan mencantumkan marga suami di depan marga istri?
Menurut kalimat dalam tulisan ini yang berkompeten adalah Boru Nainggolan, tapi yang menonjol justru Dermawan Siringoringo. Inilah yang bikin bingung.
Kemudian, supaya jangan keliru, tulislah siapa nama Boru Nainggolan, tidak cukup hanya marganya. Boru Nainggolan kan banyak. Tapi siapa namanya? Pasti ada nama, tidak mungkin tidak ada namanya. Terlepas apakah namanya disingkat (R) atau utuh (Rustiana) Penulis berita itulah yang menanyakan nama yang memberikan sambutan itu. Tulislah nama Boru Nainggolan, sebab dialah yang terlibat langsung (berperan) pada saat kejadian itu, bukan suaminya. Jangan-jangan suaminya Dermawan Siringoringo malah tidak hadir ketika istrinya Boru Nainggolan memberikan sambutan. Anehnya, marga suami dibawa-bawa dalam berita.
Lalu, tulislah seperti ini, “Rustiana Boru Nainggolan, mengatakan dalam sambutannya, hendaklah para orang tua menjadi teladan dalam rumah tangga.” Inilah penulisan yang benar. Jelas, akurat dan tepat. Apa susahnya menulis seperti itu? Sopan? Sangat sopan! Dijamin tidak ada yang salah dalam penulisan tersebut.
Meskipun tidak dicantumkan nama dan marga suaminya bukan berarti Rustiana Nainggolan statusnya masih anak gadis. Harap diketahui, pencantuman marga suami dalam berita bukan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan sudah bersuami. Penulisan marga suami tidak ada sangkut pautnya dengan status seseorang apakah sudah punya suami atau tidak.
Persoalan, kenapa kalau marga suami yang ditulis tidak pernah disertakan marga istri? Apakah lantaran dia suami, kepala keluarga, lebih hebat dari istri, sehingga tidak perlu dicantumkan nama istri?
Lihat contoh; “Barita Sidauruk MBA, terpilih kembali menjadi camat periode 2009-2013.” Mengapa nama istrinya tidak dicantumkan? Mengapa kalau istri harus disertakan marga suami? Dapatkah kita pastikan Barita Sidauruk MBA masih status lajang, hanya karena marga istrinya tidak disebutkan?
Contoh lain yang salah; “Ny Bosar Rumahorbo br Harahap terpilih menjadi Ketua Punguan Parompuan se-Kota Medan.” Lucu, Boru Harahap yang terpilih menjadi ketua punguan parompuan, tapi nama suaminya Bosar Rumahorbo yang ditulis di depan nama istri. Padahal tidak ada sangkut paut Bosar Rumahorbo dengan jabatan Ketua Punguan Parompuan se-Kota Medan. Ketua Punguan Parompuan adalah Boru Harahap, kenapa nama dan marga suaminya dibawa-bawa?
Sangat baik, apabila dicantumkan nama lengkap dari sumber berita. Jangan hanya marga, sebab marga tidak mewakili identitas diri seseorang. Contoh; Hotnida Boru Siahaan. Boru harus ditulis dengan huruf besar, jangan disingkat (br) sebab boru adalah bagian dari identitas seseorang.
Sekali lagi, tulislah nama dan marga yang terlibat pada saat kejadian itu berlangsung. Hindari penulisan bapak, ibu, nyonya, tuan, beliau, yang dipertuan agung, paduka yang mulia. Sebab, bahasa yang digunakan pers adalah bahasa jurnalistik yang menjujung tinggi sikap netral.
Pers melihat status semua orang sama tidak ada yang distimewakan. Entah apa pun pangkat dan jabatannya, yang jelas di hadapan pers semua sama!

Baharuddin Silaen, pengajar di Fisipol UKI, Jakarta mengampu mata kuliah bahasa jurnalistik.

Tidak ada komentar: