Minggu, 25 Oktober 2009

Provinsi Tapanuli Tercemar Sebelum Mekar

Luar biasa, hampir semua media cetak dan elektronik secara terus-menerus memberitakan tragedi Medan yang menewaskan Abdul Azis Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara. Inilah berita politik terheboh yang menyedot perhatian—mulai dari presiden sampai orang-orang di lapo tuak. Maklum, nilai beritanya (news value) cukup tinggi—tidak tanggung-tanggung, seorang ketua dewan tewas di antara himpitan demonstran yang kecewa setelah tujuh tahun tidak ada jawaban pasti akan nasib pemekaran provinsi yang mereka perjuangkan. Mereka bergerak dan terus merangsek diselingi teriakan dan kepalan tinju yang diarahkan kepada Azis, sang ketua pun lunglai, tidak sadarkan diri dan akhirnya tewas. Apa pun penyebab kematian Aziz, kita prihatin—demonstrasi brutal mengakibatkan nyawa melayang.
Komentar pun mengalir deras terkait tewasnya Ketua DPRD, termasuk komentar pemerhati politik yang ditayangkan live, tidak terkecuali tanggapan pemirsa yang semuanya bernada miring dan mengutuk unjuk rasa pemekaran provinsi Tapanuli yang berakhir anakis. Sialnya, insiden ini membawa komunitas Batak ikut terkena getahnya.
Wajar, soalnya tersangka yang diduga dalang kericuhan hampir semua orang Batak, korban pun sebenarnya orang Batak juga—dari subetnik Papak. Angkat adalah marga Pakpak. Sayang, nalar orang terlanjur digiring ke suatu argumen kurang lengkap, orang Batak identik dengan kekerasan. Padahal, semua suku berpotensi melakukan tindak kekerasan.
Tidak berhenti di situ, beberapa nama disebut-sebut orang Jakarta sebagai otak intelektual kerusuhan. Ketika Jenderal (Purn) Luhut B Panjaitan diwancarai tv-one pada “Berita Petang” (11/2) Luhut membantah, tidak ada aktor intelektual di belakang tragedi pemekaran provinsi Tapanuli. “Yang ngomong itu, kampungan,” kata Luhut menjawab pertanyaan presenter TV One.
Selain sifat Batak yang dianggap keras, potensi anarkisme politik dalam kerumunan tidak boleh dikesampingkan—sebenarnya ini yang mendesak ditelisik. Kenapa tindak melawan hukum sering terjadi pada massa yang berkerumun? Entah itu pemilihan kepala daerah, pemekaran kabupaten, provinsi dan pembebasan tanah, kerap kali berujung ricuh dan anarkis.
Karena itu, kurang sportif kalau hanya menyalahkan permintaan daerah otonomi sebagai pemicu insiden itu. Pemekaran wilayah merupakan wujud keinginan rakyat mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik. Betul sekali, tak semua ide pemisahan daerah didasari niat luhur menyejahterakan masyarakat desa. Ada juga didasari keinginan beberapa pemrakarsanya bercita-cita menjadi kepala daerah atau kesempatan mencari proyek.
Entah apa pun itu, para sosiolog seperti Emile Durkheim dan Gustave Lebon (1841-1931) mengakui, “siapa pun yang ada dalam kerumunan pasti berpikir, merasa dan bertindak serupa. Kekuatan emosional dan irasional berkecamuk. Begitu juga nafsu barbarian bergerak liar menyerabas. Identitas sosial individu tercabik-cabik oleh kekuatan homogenitas kerumunan.” Asal tau, hal serupa akan terjadi pada bentuk kerumunan di daerah mana pun dan suku apa pun, bukan hanya di Medan dan orang Batak.
Kerumunan (crowd) menurut sosiologi disebut juga kelompok sosial yang tidak teratur. Kerumunan adalah kehadiran orang-orang secara fisik—tidak terorganisasi. Akan segera mati, setelah orang-orang bubar. Sifatnya pun sementara (temporer) Interaksi spontan dan tidak terduga. Seorang politikus misalnya; guru, mahasiswa, pegawai, saudagar, dokter, wartawan, tukang becak dan tukang sayur sama-sama menunggu kereta api—mereka mempunya kedudukan yang sama. Siapa pun yang ada dalam kerumunan gampang tersulut dan mudah meniru tingkah laku orang lain. Satu orang berteriak, yang lain akan meniru karena didorong perasaan satu nasib dan terjalin sifat saling mendukung.
Pada dasarnya, tiap kerumunan rentan terhadap kerusuhan. Soalnya individu yang berkumpul gampang kehilangan jati diri—anonimitas. Dalam momen kerumunan individu-individu tercerabut dari personalitasnya. Kerumunan cepat menularkan kekerasan. Ketika satu orang memukul, yang lain mengikutinya.
Tipe kerumunan pun berbeda, ada kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs) Tipe ini diwarnai perlawanan norma hukum (lawless) Mobokrasi adalah kekuasaan yang dikendalikan mob—kerumunan yang emosional serta irasional yang berbuntut aksi destruksi. Aksi seperti ini bisa terjadi ketika ada pihak yang dianggap menghambat dan menghalang-halangi niat orang-orang dalam kerumunan. Atau karena hak-hak mereka diinjak-injak atau lantaran ketidakadilan. Kerumunan akan bertambah beringas dan agresif menyerang siapa yang dianggap penghalang keinginan mereka—dipukul atau dihajar rame-rame dan dikeroyok. Tipe kerumunan seperti itulah yang terjadi pada Ketua DPRD Sumatera Utara, Azis Angkat.
Betul, tidak semua kerumunan menciptakan kerusakan dan kehancuran. Literatur ilmu sosiologi membagi empat tipe kerumunan. Seperti kerumunan tidak tetap (casual crowd) Keberadaanya amat singkat dan terorganisasi secara longgar. Tipe ini bersifat spontan. Misal, orang yang bersama-sama melihat gedung terbakar atau kecelakaan. Kerumunan konvensional (convensional crowd) Tipe ini terjadi secara terencana dan berperilaku teratur. Contoh, penonton dalam teater atau pertandingan sepak bola. Kerumunan bertindak (acting crowd) keterlibatannya didasari pada permusahan atau aktivitas destruktif. Misal, mob yang melakukan pembantaian. Kerumunan ekspresif (expressive crowd) muncul melampiaskan emosi dan ketegangan. Umpama, para penonton konser musik rock.
Sialnya, kalau kerumunan berada di wilayah politik, yang kerap terjadi adalah anarkisme. Anarkisme suatu keadaan ketika tidak ada lagi otoritas yang mengatur dan mengendalikan. Situasi bisa berubah mendadak menjadi brutal, apalagi di lokasi kerumunan tidak ada pihak keamanan yang memadai. Bisa saja polisi kalah kuat dengan gelombang demonstran yang kecewa dan prustrasi. Sketsa anarkisme politik kerumunan seperti inilah yang terjadi di Medan.
Kita hanya bisa beradai-andai—seandainya pengamanan dilakukan maksimal, barangkali korban tewas bisa dihindarkan.
Apa pun itu, provinsi Tapanuli sudah tercemar sebelum mekar. Amang tahe!

Penulis, Baharuddin Silaen staf pengajar sosiologi di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Mercua Buana, Jakarta.

Tidak ada komentar: