Salahkah kita berbeda? Tentunya tidak. Perbedaan adalah anugerah Tuhan. Perbedaan itu membuat hidup kita semarak. Kita diciptakan Tuhan berbeda, itulah makanya kita tidak sama. Sebab itu, perbedaan itu tidak salah. Yang salah adalah cara pandang kita terhadap perbedaan itu.
Demikian benang merah dialog bertajuk “Harmonisasi Dalam Bingkai Jati Diri Bangsa” yang disampaikan Pdt Willem TP Simarmata MA yang diselenggarakan oleh FKUB Sumut di Hotel Madani Medan belum lama ini.
Pdt Simarmata hadir bersama para pimpinan majelis agama yang ada di Sumatera Utara seperti: PGI, Keuskupan Agung, MUI dan yang mewakili Hindu, Buddha dan Kong Fu Tse.
Dalam dialog yang dibuka Wakil Gubernur Sumatera Utara itu, WTP Simarmata menegaskan bahwa setiap orang menganggap agamanya yang terbaik adalah wajar saja, tetapi kalau agama yang saya anggap lebih baik itu kemudian dipaksakan kepada orang lain, maka ini yang tidak wajar lagi. Itu sudah menjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
Untuk itulah perlunya penghargaan atas perbedaan yang ada. Dalam hal ini misalnya, umat Kristen selalu menyuarakan kepada pemerintah agar negara benar-benar bertindak adil dan menjadi pengayom bagi semua penganut agama yang berbeda itu. “Negara tidak boleh bersikap diskriminatif,” ungkap Simarmata yang kini melayani sebagai dosen di STT HKBP Pematangsiantar dan juga Ketua Rapat Pendeta HKBP.
Begitu juga keputusan pemerintah mestilah berdasarkan konstitusi, dasar negara yaitu Pancasila dan UDD 1945. Negara tidak boleh mendasarkan keputusannya atas keputusan lembaga-lembaga yang bukan negara. Negara harus memberi peluang agar warganya bebas mengungkapkan imannya sesuai kepercayaan masing-masing. Karakter asli bangsa kita adalah kemampuan hidup berdampingan dengan yang berbeda dengan kita. Karakter asli bangsa kita adalah rukun. Mazmur 133 pun menyatakan hal itu; ”alangkah indahnya apabila bersaudara hidup rukun.”
Selain itu, umat Kristen juga terpanggil membangun kebersamaan dan kesejahteraan kota di mana umat Kristen tinggal sebab Kristen memahami bahwa kesejahteraan tempat di mana dia tinggal adalah kesejahteraannya juga. Seperti tertuang dalam Yesaya 29, “Doakanlah kota di mana kamu tinggal, sebab kesejahteraan adalah kesejahteraanmu juga.”
Hal penting lain yang disampaikan Pdt Simarmata yang pernah melayani selama 10 tahun sebagai Sekjend HKBP, yaitu; kurikulum di sekolah-sekolah perlu mendapat perhatian khusus agar isinya benar-benar membangun jati diri bangsa yang menghargai perbedaan dan kemajemukan. Termasuk pemahaman akan kemajemukan harus makin dipertajam dan agar generasi mudah memahami dengan benar dan jernih arti perbedaan itu sendiri. “Nation building” dan cracter building” itu perlu mendapat perhatian serius.
Tujuan akhir dari pendidikan kita adalah pembentukan karakter, yaitu pembetukan perilaku. Masalahnya adalah bahwa budi pekerti tidak ada lagi dalam kurikulum sekolah kita. “Karena itu sangat penting keteladanan dari yang senior kepada warga yang lebih junior agar ada panutan yang dapat diteladani yang seirama kata dan perbuatan,” kata Simarmata.
Pada kesempatan itu, Willem Simarmata, menyinggug Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI beberapa waktu lalu di Tobelo, yang membuahkan tiga pokok pikiran yaitu: mempererat persaudaraan/persekutuan, merawat kemajemukan dan memelihara lingkungan. Karena memang hidup gereja tak boleh dilepaskan dari oikumene, ekonomi dan ekologi. Bahkan lewat kotbah, bimbingan rohani, pertemuan-pertemuan, sekolah dan ibdah-ibadah, ketiga hal ini boleh disebarluaskan.
Pdt Simarmata menambahkan, dialog adalah salah satu upaya yang terbaik dalam membangun jembatan antarkelompok atau agama yang berbeda iman. Karena dengan dialog seperti ini diharapkan perjumpaan akan menghasilkan keakraban. Kemudian, keakraban yang terjalin akan menjadi tiang yang kokoh dari kerukunan. Sebab itu, agama-agama yang ada di Indonesia harus berperan aktif mengobarkan semangat kebangsaan yang menghargai perbedaan sehingga hidup rukun mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia.
Kekristenan pun, menurut Simarmata, tidak bertentangan dengan semangat kebangsaan itu sendiri. Seperti yang diajarkan Tuhan Yesus, yaitu; kasih, kesediaan berkorban untuk orang lain, anti kekerasan, rela mengampuni dan tidak dendam maka kerukunan akan terjamin. “Dalam keadaan yang berbeda itulah umat Kristen hadir sebagai pemersatu merajut kebersamaan,” ujar Simarmata.
Pada bagian lain, Pdt Simarmata mencontohkan, andaikan Indonesia ini adalah sebuah kapal besar, maka tidak ada penumpang gelap dalam kapal Indonesia. Tidak ada pula penumpang kelas satu dan kelas dua berdasarkan kelompok agama dan suku. Bangsa yang tidak menghargai kemajemukan akan pecah berkeping-keping seperti Kekaisaran Romawi dan Uni Soviet.
Dialog ini ditutup oleh yang mewakili Gubernur Sumatera Utara setelah sambutan dari Ketua FKUB Sumut Dr H Maratua Simanjuntak dan laporan panitia yang disampaikan Pdt Dr Elim Simamora.
Demikian disampaikan Pdt Willem TP Simarmata kepada Suara HKBP di Jakarta. bas
Jumat, 06 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar