Jumat, 06 Mei 2011

Seragam di Distrik Jawa Kalimanta

Selama tiga hari, pendeta yang berada di HKBP Distrik 8 Jawa Kalimantan, rapat di Putri Duyung Ancol, Jakarta. Rapat pendeta ini membahas perkembangan liturgi, tatacara dan pelayanan yang terus mewarnai tata ibadah di HKBP.
Pada kesempatan ini, dua pembicara, Praeses Pdt Mori Sihombing MTh dan Pdt Gomar Gultom MTh, Sekretaris Umum PGI menajikan topik yang saling berkaitan. Meskipun topik sudah acap kali dipercakapkan namun tetap relevan diangkat dalam Rapat Pendeta Distrik 8.
Pdt Mori Sihombing di hadapan peserta rapat, melontarkan sejumlah fakta di lapangan yang dianggap bergeser dari dokumen HKBP. Dokumen itu meliputi: Agenda, Konfensi, Aturan dan Peraturan (AP) Ruhut Pamincangion Pamahanion (RPP) dan Katekismus Martin Luther.
Berdasarkan fakta itu, Mori meminta semua pendeta yang ada di Distrik 8 agar sama-sama memberi tanggapan dan saran supaya ada kesamaan berpikir dan keseragaman bertindak. “Minimal keseragaman itu kita mulai di Distrik Jawa Kalimantan. Perlu ada keseragaman serta kesamaan berpikir,” kata Mori.
Pokok diskusi yang paling banyak disoroti yakni: nyanyian/ende dan musik, nyanyain interval, musik (manopoti dosa) singers (pemandu lagu), paragendaon, patik (Hukum Taurat) manopoti dosa, epistel, manghatindangkan haporseaon, tangiang pangondianon, pasupasu (berkat) mangan di bagas gereja, bersalaman, pemberkatan nikah, susunan acara partangiangan wijk, paduan suara (koor)
Dalam diskusi yang kadang alot, Praeses Mori Sihombing meminta perhatian yang serius dalam menerima hal-hal yang baru dan yang aktual. “Kita tidak boleh melanggar atau meniadakan hal-hal yang substansional, dalam arti teologis-dogmatis dan etis praktis,” ujar Mori.
Ia memberi contoh yang tak sesuai dengan Agenda HKBP. Pengkotbah (parjamita) mengajak jemaat bernyanyi dalam interval kotbah, ini tidak pernah diajarkan dalam homiletik. “Style HKBP sudah cukup standar dan sesuai dengan kebiasaan gereja mula-mula,” tegas Mori Sihombing sambil menambahkan dia mendapat gambar pengkotbah itu yang dikirim seseorasng ke handpone-nya.
Hal lain yang sering tidak seragam adalah apa yang tertulis dalam Agenda, tidak diucapakan seperti apa yang tertulis. Kenapa harus ditambah-tambah apa yang sudah tertulis dalam agenda. Apa yang sudah tertulis dalam Agenda, itula yang diucapkan. Kenapa harus ditambah redaksinya? “Inilah yang perlu kita seragamkan. Jangan di gereja A lain, di gereja B lain lagi. Kembalilah ke Agenda HKBP yang sudah ratusan tahun kita pergunakan dalam kebaktian Minggu,” jelas Praeses Pdt Mori.
Gomar Gultom dengan bahasan “RPP HKBP: Ortodoksi atau Reinterpretasi?” Dalam makalah ia menguraikan tradisi gereja-gereja Lutheran yang mengenal dua tanda gereja (nota ecclesiae) pemberitan firman dan pelayanan sakramen. Gereja-gereja Reformed menambahkan satu lagi; hukum siasat gereja (ruhut parmahanion) Gereja Reformed yang mewarisi pengajaran Calvin memang dalam beberapa hal berbeda dengan Lutrher.
Calvin, misalnya, menekankan disiplin (siasat gereja) yang perlu ada dalam gereja sebagai alat membina tingkah laku warga jemaat, sesuatu hal yang sangat berbeda dengan Luther. Pada sisi lain Calvin mengatakan, hokum siasat bukanlah corak hakiki gereja, karena ketaatan kepada hokum siasat lebih merupakan tindakan manusiawi, bukan perintah ilahi seperti firman dan sakramen. Namun, hukum siasat itu perlu demi menjaga kesucian.
Calvin, ternyata mengikuti gagasan Agustinus yang mengatakan, gereja tidak mungkin sempurna dan suci, tapi karena gereja merupakan umat Allah, maka harus ada usaha warga jemaat untuk hidup sesuai dengan firman Allah. “Dalam kondisi seperti inilah pentingnya hukum siasat,” kata Gomar.
Dia juga memperbandingkan Konfessi HKBP 1951 dan 1996 yang menyebutkan; Ia tanda ni huria na sintong ima: a. Molo polin Barita na Uli i dijamitahon jala dipodahon. b. Molo sintong diulahon sakramen na dua i (Matius 29: 19, Markus 16: 15-16) c. Molo sintong dilulahon ruhut parmahanion dhot paminsangon (Bindu 7E) Bandingkan kalimat berikutnya: “marhite poda on taondolhon do na dipapatar Debata do diriNa huthut na patupahon pardengganan di bagasan Jesus Kristus marhite Barita na Uli dohot sakramen na dua i.”
Pada topik yang sama Gomar juga menyinggung dokumen “Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima” yang ada dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) Dalam praktek ternyata kegamangan identitas masih kuat mempengaruhi implementasi dokomen PSMSM tersebut. Ia memberi contoh kasus; seorang pendeta mengenakan RPP kepada putrinya yang menikah kepada warga Pentakosta. “Padahal Pentakosta adalah anggota PGI.”
Mungkin masih ada kasus-kasus lain untuk isu yang berbeda seperti atestasi. Hal ini diperparah lagi dengan tiadanya penjelasan tentang siapa yang dimaksud dengan “huria na mamulik” dalam RPP. Belum lagi tidak adanya daftar “huria na so maralo haporseaonna tu haporseaonta.” Akibatnya, tejadi bermacam “improvisasi” dan bahkan membuka luas kemungkinan melihat “situasi” dan “kondisi.” Kalau hal ini memang merupakan suatu peluang yang sengaja diberi ruang oleh HKBP, tidak masalah. Namun, kekuatiran kemungkinan saling menyalahkan di antara sesama pelayan HHKBP yang berbeda pendapat dalam menyikapi hal-hal tersebut. “Saya memandang perlunya HKBP memiliki kejelasan dan ketegasan mengenai hal ini,” ujar Gomar Gultom.
Dalam diskusi muncul usul, agar RPP diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diharapkan dengan dua bahasa, sosialisasi RPP kepada generasi muda HKBP akan lebih efektif.
Pada acara yang sama diadakan juga pembekalan kepada istri pendeta yang ada di Distrik Jawa Kalimantan. Pembekalan disampaikan Prof Dr Frieda Mangunsong dengan topik “Sikap, Penampilan dan Komunikasi yang Baik.” Selain itu, mereka juga dilatih merangkai bunga.
Rapat pendeta ini mendapat respon cukup baik dari peserta atas akomodasi serta fasilitas yang cukup memadai selama rapat berlangsung. Tak terkecuali suasana kekeluargaan sesama pendeta sangat terasa saat ibadah penutupan yang diadakan di lapangan terbuka yang menghadap ke laut.
Begitu juga hiburan spontan dari peserta menambah keakraban sesama pelayan di Distrik 8. Mereka bernyanyi bersama yang dimeriahkan Pdt Nasser A Silalahi, Pdt Baharuddin Silaen, Pdt Wilson Tampubolon, Pdt Sawari Togatorop dan Praeses Pdt Mori Sihombing dan istri Boru Sinambela. bas
Tahun ini, Rapat Pendeta Distrik 8 Jawa Kalimantan, dipercayakan kepada HKBP Pasar Minggu, Jakarta yang diketuai; Pdt WK Siahaan STh, Pendeta Resort HKBP Pasar Minggu, yang didukung St MH Panjaitan, St I Hutauruk, St H Pandiangan dan seks-seksi. bas

Tidak ada komentar: