Selasa, 27 Desember 2011

Natal dan Wajah Kita

Langkah Ramses tergopoh-gopoh sambil menjinjing tas berisi sandal, payung dan sepatu. Sejurus ditatapnya langit, cuaca hari itu cerah. Tidak ada awan hitam menggelayut di langit. Satu per satu isi tas dikeluarkan, lalu disusun dengan rapi di atas plastik yang sudah digelar di trotoar jembatan. Sudah bertahun-tahun di jembatan ini ia mengais rezeki. Bagi Ramses jembatan ini adalah lahannya mencari nafkah.

Tidak selamanya nasib Ramses di jembatan itu mulus. Kadang ia harus pulang tanpa membawa uang, karena tidak bisa jualan. Lantaran hujan. Atau lantaran Satpol PP berjaga-jaga di sepanjang jembatan. Memang para pedagang di tempat ini sering menjadi sumber kemacetan. Ramses juga harus sigap dan gesit di kala pihak keamanan dan ketertiban kota mendadak mucul. Ia harus cepat berlari sambil dan mengusung dagangannnya.

Selain Ramses ada juga Rustam, nasib mereka sama—jualan di pinggir jalan. Bedanya, Rustam, jualan CD dan VCD. Sekitar pukul 16.00, ia baru bisa menggelar jualannya di lapak. Soalnya, sepanjang jalan ini dilarang berjualan sebelum pukul 16.00. Sesekali terdengar lagu Natal dari tempat Rustam jualan. Juga lagu pop Batak terdengar dari speaker dengan suara keras.

Di ujung jalan tidak jauh dari jembatan ada Piter, penambal ban. Ia duduk di samping compressor satu-satunya miliknya yang paling berharga. Ia sengaja memilih tempatnya dekat pohon di pinggir jalan agar bisa berteduh dari terik matahari. Terkena razia sudah bagian dari hidupnya. Tapi Piter tak pernah menyerah meskipun sudah berulang kali barang-barangnya diangkut pihak ketertiban kota. Dia sangat sadar, itu adalah resiko penambal ban pinggir jalan. Ia sama dengan yang lain, tetap semangat dan berharap akan masa depan yang lebih baik. Siapa tahu, suatu saat nanti ia kedangatangan tamu dari Senayan—anggota dewan—menambal ban mobilnya Lexus RX 270 yang seharga Rp 2 miliar.

Di dalam terminal ada Rospita, perempuan setengah baya ini berjualan kopi keliling dengan bermodalkan satu termos besar. Langganannya adalah sopir dan kernet di terminal. Pagi-pagi Rospita sudah ada di terminal bersama termos dan beberapa bungkus kopi seduh dan menjelang sore ia baru pulang. Jual kopi keliling sudah beberapa tahun dilakoninya setelah keluar dari tempat kerjanya dari salah satu pabrik.

Mereka yang disebutkan adalah hanya beberapa dari sekian banyak yang mengadu nasib di pinggir jalan. Sebut saja pedagang sayur, ikan, buah, es, koran, bakso, gorengan dan rokok. Mereka adalah riil dan benar-benar ada di antara kita. Saudara dan sahabat dan mungkin sering bersama-sama kita ke gereja? Mereka adalah bagian dari wajah kita juga.

Adakah yang pantas diteladani dari mereka? Semangat dan ketegaran agaknya perlu dicontoh. Tidak tergantung kepada orang lain. Berani dan punya tekad yang kokoh. Tidak cengeng dan merengek-rengek, meminta-mita ke sana kemari. Hidup apa adanya dan menikmati hidup seadanya. Itulah kesan berharga yang dapat ditangkap dari kehidupan mereka. Layak ditiru bahkan perlu diteladani.

Bahkan, rutinitas mereka tidak terganggu dengan berita heboh para koruptor. Di benak mereka hanya satu; bagaimana agar hari ini bisa jualan dengan aman. Pikiran mereka sangat jauh dari cara mengembat duit miliaran rupiah dari jalan yang salah. Apalagi merampok uang negara—bukanlah tipe mereka. Mereka tidak pintar dan tidak pernah tahu bermain kong-kalikong dengan bagian anggaran proyek.

Berita bekas Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang menyilep uang proyek Wisma Atlet senilai Rp 191 miliar tak membuat semangat mereka surut untuk berjualan di pinggir jalan. Berita Gayus Tambunan pun tak mampu mengalihkan perhatian mereka dari kaki lima dan pinggir jalan. Meskipun saban hari disiarkan di televisi dan tiap hari diterbitkan di surat kabar, mereka tak ambil pusing dengan berita itu. Bagi mereka yang penting, bagaimana hari ini mendapat rezeki dari jalan yang benar, dengan kerja keras dan doa.

Jangankan ikut demo ke KPK, menyaksikan Melinda yang menangis terisak-isak di televisi pun tak sempat. Sebab, waktu mereka sangat terbatas—menjajakan jualan di pinggir jalan sambil merayu orang yang lewat untuk sudi membelinya. Mereka, tidak punya waktu membahas dan mendiskusikan kasus koruptor yang menggurita di negeri ini.

Tapi mereka perlu diperhatikan. Dicontoh dan dihargai. Bagaimana mereka berusaha dan berjuang untuk bisa hidup layak. Mereka yang banting tulang dan kerja keras, tidak cengeng dan merengek-rengek, masih banyak ditemukan di negeri ini. Mereka yang bergelut di pinggir jalan, di jalanan, pasar, pabrik, kantor, sekolah, kampus, rumah sakit, sawah, laut dan di pantai, puluhan juta jumlahnya. Mereka adalah bagian dari wajah kita. Mereka adalah anak bangsa yang punya budi pekerti yang luhur. Patutlah kita bangga sebagai anak bangsa, bahwa masih banyak di antara kita yang berpegang teguh terhadap kebenaran, hidup jujur, kerja keras serta melakukan apa yang diajarkan agama yang dianutnya dengan benar.

Mungkin saja, di antara mereka ada yang warga Kristen dan warga HKBP. Ketika Natal tiba, mereka juga turut merayakannya, sama seperti kita. Mungkin, saat di gereja Ramses berdoa dalam hati; “Ampunilah aku Tuhan, kalau hanya pada Natal ini aku datang ke rumahMu.”

Si Rustam, Piter dan Rospita, juga ada di antara barisan orang yang akan menerima Perjamuan Kudus di gereja. Meskipun mencari nafkah di pinggir jalan, tapi mereka sadar—begitu berada di gereja apalagi di hadapan Tuhan, semua umat manusia sama! Sebab, tidak ada orang yang istimewa di hadapan Tuhan. Semua umat manusia yang berada di kolong matahari adalah sama di hadapan Tuhan. Mereka adalah wajah kita juga.

“Jangan takut, sebab sesungguhnya akau memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa. Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan di kota Daud.” Lukas 2: 10-11.

Selamat Natal. baharuddin silaen

Tidak ada komentar: