Rabu, 28 Desember 2011

Setelah 150 Tahun HKBP

Darah Batak Masih Mengalir

Baharuddin Silaen

Setelah 150 tahun HKBP adakah yang berubah? Ada yang berubah dan ada pula yang tidak berubah sama sekali. Yang tidak berubah misalnya, sebutan “ompui” kepada ephorus tidak pernah berubah sejak Pdt IL Nommensen menjabat Ephorus Batakmission (1881-1918) hingga sekarang.

Apakah waktu itu, kepada istri Ephorus Nommensen dipanggil “ompung boru” juga?” Sayang tidak ada dokumen yang bisa dijadikan referensi? Yang pasti, sudah 13 orang ephorus selama 150 tahun gereja ini, namun sebutan “ompui” untuk Ephorus HKBP tak pernah berubah.

Dulu, ketika Pdt Dr JR Hutauruk, terpilih menjadi Ephorus HKBP (1998-2004) sempat mengganti panggilan ompui menjadi amang kepada ephorus. Sangat sederhana alasannya, supaya tidak jauh “jarak” ephorus dengan sesama pendeta. “Kebetulan saya belum punya pahompu. Jadi, cukup dipanggal amang saja,” kata Pdt JR Hutauruk waktu itu.

Tapi respon warga kala itu tidak seragam. Ada yang memanggil “amang” dan ada juga memanggil “ompui.” Hanya sebentar Ephorus Hutauruk dipanggil “amang” dan selanjutnya kembali dipanggil “ompui” bahkan ada pula yang manggil ompung?

Ini suatu bukti, merubah kebiasaan tidaklah gampang. Apalagi sudah ratusan tahun lamanya panggilan “ompui” teman sehidup HKBP. Kalaupun gelar ompui dijadikan semacam “trade mark” atau ciri khas gereja ini, sah-sah saja?

Yang menarik, meskipun sudah berusia 150 tahun, tetap saja warga HKBP orang Batak. Tidak berubah. Masih bergaul dengan mempertahankan kekerabatan “Dalihan na Tolu.” Punya ulos, yang masih dipakai pada waktu tertentu. Memiliki uninguningan tradisionil. Begitu juga warganya, ada yang fasih bahasa Batak dan ada juga yang tidak bisa sama sekali. Mereka juga terikat dengan tarombo (silsilah) serta saling martutur (marga)

Di antara mereka ada yang tinggal di desa, dan juga di kota. Ada di luar negeri. Ada yang kaya dan ada pula yang miskin. Ada yang dermawan dan ada juga siholit (pelit) Ada yang hidup sederhana dan ada pula yang mewah. Ada yang dapat jodoh melalui internet. Martandang (chatting) di internet dipasupasu di HKBP.

Dalam komunitas mereka masih kental mengalir “darah Batak.” Buktinya, mereka turun-temurun masih tetap berinteraksi di lingkungan kekerabatan “Somba marhulahula, manat mardongan tubu, elek marboru, tapi sekaligus Kristen dan HKBP pula?

Ketika mereka menyelenggarakan pesta pernikahan misalnya, selalu dibarengi “tudutudu ni sipanganon” atau “namargoar.” Entah apa pun jabatan orang tua pengantin namargoar pasti suatu yang penting. Tak ketinggalan berbagai jenis ulos tampil memeriahkan pesta adat na gok. Macam itulah Batak Kristen yang HKBP.

Meskipun tumbuh dari tradisi lokal ribuan tahun silam—tapi mereka lekas beradaptasi di wilayah multikultural. Termasuk garis keturunan sebagai suku bangsa (antropologis) tetap terpelihara dengan baik, maupun ketika mereka bersentuhan dengan dunia migran (etnodemografis) kultur Batak tetap terjaga. Basis ikatan sosial ternyata masih kukuh meskipun mereka berada di perkotaan.

Ikatan sosial ini, kian berkualitas setelah ajaran Injil 150 tahun silam menjadi pedoman hidup yang diterima dengan prinsip sukarela bukan terpaksa dan dipaksa. Rupanya, bangsa Batak yang homogen masih menjunjung tinggi nilai religius (Injil) serta nilai kebersamaan dalam berbagai kegiatan (marsiadapari) dan sekaligus tidak mengingkari dirinya sebagai orang Batak.

Misalnya, Batak yang sudah lama di Bandung, tradisi, bahasa, nilai dan norma telah mewarnai kesehariannya seperti orang Sunda. Begitu juga Batak yang sudah lahir di Jakarta, merasa tidak asing lagi dengan budaya Betawi. Batak di Surabaya dan Yogyakarta, bahasa dan norma diwarnai budaya Jawa. Batak yang sudah lama di Padang, perilaku kesehariannya sedikit banyak diwarnai nilai-nilai budaya setempat, yaitu suku Minang. Tapi mereka tetap orang Batak dan bergereja ke HKBP? Inilah bukti, darah Batak masih tetap mengalir.

Sayang, adakalanya terkesan terlalu percaya diri (over confidence) saat berada di tempat baru mereka. Ini pun bukan tanpa resiko—tapi justru acap harus dibayar dengan mahal—gara-gara kurang tanggap dengan nilai budaya setempat.

Potensi lain yang layak disebut adalah kaum intlektual Batak. Pernah saya bersilancar ke website beberapa universitas dan perguruan tinggi terkenal di Indonesia, hampir semua perguruan tersebut memiliki dosen orang Batak, bergelar S2 dan S3 serta beberapa profesor. Hasil penelurusan selanjutnya, tiga perempat dari jumlah mereka adalah warga HKBP. Kagum dan bangga!

Setelah 150 tahun

Harus diakui, berbagai perubahan telah terjadi setelah HKBP berusia 150 tahun. Meskipun tidak dapat disebutkan dengan angka absolut, tapi persentasi perubahan cukup signifikan hingga di usianya yang ke-150 tahun. Tapi jangan silap, perubahan ini pun tidak terjadi secara tunggal—sejumlah faktor turut berjasa menetaskannya.

Sebutlah perubahan paling tinggi persentasinya adalah perubahan pola pikir yang ditandai dengan sikap hormat terhadap orang yang berbeda pendapat. Bukan hanya di kalangan pelayan (pendeta) tapi juga dalam kehidupan sesama warga jemaat. Sikap ini tampaknya sangat diyakini akan menguntungkan serta menjajikan peluang terhadap kebersamaan warga gereja ini.

Data yang dihimpun dari berbagai dokumen seperti: notulen Rapat Pendeta, Sinode Godang, kotbah tahun baru yang ditulis ephorus di Almanak HKBP, sambutan (pidato) baik yang di distrik dengan kategori; pembicara, materi pembicaraan, isi pernyataan, jawaban yang disampaikan serta jumlah orang yang bertanya, ditemukan indikasi bahwa sikap menghargai perbedaan pendapat sangat kuat. Ditambah dengan fakta yang disaksikan langsung sewaktu mengikuti beberapa sinode dan rapat-rapat resmi di HKBP—sikap menghargai pendapat orang lain cukup tinggi nilainya.

Jangan pula lupa—suasana “aman” berbeda pendapat ini, kian kokoh serta mendapat angin segar sejak pascarekonsiliasi HKBP (1998) masa Ephorus Pdt JR Hutauruk dan Sekretaris Jenderal Pdt Willem TP Simarmata. Mungkin belajar dari masa lalu yang “pahit” yang pernah dialami gereja ini. Betul, dari peristiwa itu diperoleh pelajaran yang sangat mahal harganya.

Hal itu juga tidak lepas dari genderang reformasi yang bertalu-talu di seantero negeri ini (1998) Pada zaman reformasi masyarakat cenderung lebih berani menyampaikan pendapat meskipun berbeda—dibanding era Presiden Soeharto. Orang takut berbeda pendapat apalagi dengan penguasa. Pada rezim Soeharto semua harus seragam sesuai patron yang dirancang penguasa.

Pendukung lain adalah faktor gender. Faktanya, pendeta HKBP tidak lagi hanya pria (baoa) Sejak Pdt Norce P Lumbatoruan STh ditabalkan jadi pendeta perempuan yang pertama di HKBP (27 Juli 1986) sekarang sudah banyak pendeta HKBP perempuan. Demikian halnya dengan sintua ina tak terhitung lagi jumlahnya yang ikut melayani di gereja. Pastilah ada pengaruhnya dalam pelayanan, percakapan maupun saat mengambil keputusan akan terasa.

Selain itu, pendeta HKBP yang memperdalam ilmu teologi tidak lagi hanya sekolah ke Jerman. Tapi juga ke negara lain seperti Amerika, Australia, Singapore, Philipina dan Hongkong. Begitu juga disiplin ilmu yang dipilih tidak lagi hanya teologi, tapi sudah bervariasi. Ini pun sangat mempengaruhi sikap anggota komunitas dalam wawasan perbedaan. Termasuk pola pergaulan banyak berubah yang diduga pengaruh derasnya arus informasi, budaya, agama, politik, ekonomi lintas dunia (globalisasi)—diyakini turut mempercepat arus perubahan dalam masyarakat dunia.

Sangat diyakini pula, HKBP setelah berumur 150 tahun, pasti bisa—bahkan harus pionir serta contoh untuk diteladani di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan beragama terhadap pemikiran yang berbeda. Mengingat gereja yang senantiasa bersumber pada Injil berdasarkan ajaran Kristus yang tidak pernah membedakan orang dan senatiasa berada di atas semua kepentingan dan kelompok.

Memang, sudah sejak lama gereja menghargai dan menghormati hak individu berdasarkan kasih. Bahkan sejak awal, gereja selalu berdiri di depan mengawal perjalanan kesetaraan, toleransi dan perbedaan. Hal yang sama, yakni otoritas Injil yang dibangun di atas landasan firman Tuhan yang direfleksikan ke dalam kebersamaan, kepeduliaan, penghargaan terhadap sesama umat manusia, sekaligus menjadi ciri yang tetap dirawat dengan baik. Ciri-ciri Injil ini dikemudian hari diterjemahkan menjadi “demokrasi.”

Hasil penelitian Samuel P Huntington yang dituangkan dalam bukunya “Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia,” menguraikan, umat Kristen sejak dini sudah terbiasa hidup saling menghormati dan menghargai orang lain. Mereka belajar menghargai perbedaan itu justru dari Injil yang diajarkan Yesus Kristus. Sebab itu negara yang penduduknya mayoritas Kristen, di negara itu demokrasi akan tumbuh subur.

Harap dimaklumi pula—ke depan—sangat sulit diterima tipe pemimpin yang otoriter dan diktator yang alergi terhadap pendapat yang berbeda. Apalagi dalam suatu lembaga keagamaan (gereja) sangat diyakini tidak ada tempat bagi pemimpin otoriter dan diktator. Lihatlah negara-negara yang dipimpin para pemimpin penguasa otoriter (Mesir, Libya) yang tidak rela menerima perubahan—satu per satu terhempas, runtuh dan hancur oleh rakyatnya sendiri.

Lalu, setelah HKBP 150 tahun, gereja ini pun tetap terpanggil menyampaikan kabar baik kepada orang miskin, memberitakan pembebasan, penglihatan kepada orang buta dan membebaskan orang tertindas. (Lukas 4: 18-19)

Selamat Tahun Baru. Horas

Tidak ada komentar: