Jumat, 17 Juni 2011

Merubah Wajah Pelayanan Sosial

Ratusan warga gereja yang ada di Distrik 8 mengikuti seminar yang diselenggarakan Panitia Jubileum 150 Tahun HKBP Distrik Jawa Kalimantan, di HKBP Kebayoran Baru, Jl Hang Lekiu, Jakarta Selatan. Seminar ini menawarkan alternatif lain untuk merubah wajah pelayanan sosial HKBP yang padu serta menyentuh sisi kehidupan umat manusia.

Misalnya, Pdt Nelson Siregar, Kepala Departemen Diakonia HKBP pada kesempatan itu menyoroti sikap gereja terhadap pelayanan mahasiswa dan pemuda gereja. Ia mengakui, warga HKBP dikarunia Tuhan berbagai talenta dan masih ada komitmen menyekolahkan anaknya ke berbagai universitas di Indonesia. HKBP mestinya harus aktif dan serius mewujudkan pelayanan terhadap mahasiswa. Bahkan perlu berkorban memajukan peradaban melalui pendidikan (Amsal 4:7) “Merekalah kelak menjadi aset HKBP,” kata Pdt Nelson

Pengamatan Nelson selama ini, hampir seluruh kota provinsi yang ada universitas ada mahasiwa Kristen. Mereka memang sudah terlayani sebagian. Tapi konsep pelayanan masih sangat seragam. Kurang mendorong mahasiwa berpikir reflektif kritis terhadap tantangana zaman, apalagi dalam konteks nasionalisme bangsa dan negara Indonesia. Akibatnya, ada kesulitan mencari sosok mahasiswa yang peduli terhadap nasib bangsa dan negara, serta yang sudi memperjuangkan suara gereja.

Karena itu, ke depan, diharapkan pemulihan peran pemuda HKBP membangun jaringan mahasiswa yang tidak sungkan menyebut dirinya intelektual muda HKBP yang mau menyuarakan suara HKBP melalui media dan wacana pemikiran. Agaknya, perlu merubah wajah pelayanan sosial HKBP yang tangguh dan humanis. Ini kebutuhan yang sudah mendesak dibenahi, karena suara demokrasi saat ini tidak mungkin lagi dikembangkan melulu lewat dialog dan pertemuan langsung. “Perlu menyediakan fasilitas bagi mereka seperti retreat, pelayanan pastoral dan menyediakan beasiswa,” ujar Nelson Siregar.

Gagasan serupa dilontarkan Praeses Pdt Mori Sihombing MTh, setelah mempresentasikan sejarah perkembangan gereja mula-mula, masa kini dan gereja masa depan. Sampai kapan pun, gereja tidak boleh lepas dari panggilannya sebagai gereja yang melayani (diakonia) bersaksi (marturia) dan gereja yang bersekutu (koinonia) Sebab itu, ketiga panggilan ini, harus sama porsinya, jangan lebih besar perhatian terhadap diakonia, atau biasa-biasa saja terhadap marturia dan koinonia nyaris tak dapat perhatian. Atau kita membuat konsep sendiri, misalnya; biarlah gereja si A yang mengurusi diakonia, gereja B mengurusi marturia dan gereja C memperhatikan koinonia, ini keliru! “Pemahaman seperti ini hendaknya jangan sampai terjadi dalam pelayanan HKBP,” kata Mori Sihombing sambil menambhakan bahwa ketiganya harus sama kuat, sama-sama mendukung dan menopang pelayanan di gereja.

Sambil menjawab pertanyaan dari perserta, Mori Sihombing, menjelaskan, tugas yang diemban pendeta HKBP cukup banyak. Mulai dari mengurus yang hidup sampai yang meninggal, pendeta yang menangani. Belum lagi kegiatan lain, mepersiapkan sermon parahalado, mengajari parguru malua, sermon ina, melihat warga yang sakit di rumah sakit, melayani lansia, sermon guru Sekolah Minggu, pemberkatan nikah, partangiangan wijk dan masalah keluarga. Kalau bukan pendeta yang melayani dianggap kurang sah. Mungkin pedeta HKBP-lah tersibuk di antara pendeta gereja lain? Ini kenyataan, banyak pelayanan yang diserahkan kepada pendeta. “Saya tidak tau, apakah masih ada waktu istirahat pendeta, melihat tugas pelayanan yang begitu banyak,” ujar Mori.

Berkaitan dengan pendidikan, Prof WBP Simanjuntak MEd, PhD, melihat posisi HKBP dari sudut adat dan budaya Batak. Dia menyarankan, pikiran maupun semangat mempertahankan HKBP yang selalu membawa adat dan budaya Batak sudah perlu dipertimbangkan agar tidak terlalu dipertahankan secara fanatik. Pengertian dan pemahaman kata toleransi sudah harus mewarnai program Sekolah Minggu, remaja dan pemuda. Ada pepatah; “Di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung.” Tapi, agar tidak salah mengaplikasikan pepatah ini, maka pengetahuan dan pemahaman (proses pembelajaran) tentang toleransi budaya, toleransi etnik, toleransi agama, toleransi ras, toleransi gender, toleransi pendapat dan toleransi ideologis. “Semua ini, menjadi penting dalam konteks kurikulum Sekolah Minggu, remaja dan pemuda,” ucap Simanjuntak

Berdasarkan pengamatan WBP Simanjuntak, pendidikan agama Kristen di Sekolah Minggu, remaja dan pemuda (naposobulung) seperti berlangsung selama ini di HKBP, sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Pendidikan agama Kristen yang konvensional, yang mengutamakan pengetahuan Injil atau mengutamakan pengetahuan kognitif yang disebut kompetensi pengetahuan agama perlu diperlengkapi.

Selain itu, Simanjutank juga menyinggung kurikulum Sekolah Minggu HKBP yang belum lengkap dan masih banyak kelemahannya. Ia mencatat beberapa kelemahan; tidak jelas kurikulum, guru kurang qualified, tidak jelas tujuan umum ataupun tujuan khusus, tidak pernah ada evaluasi pencapaian hasil belajar, guru tidak memiliki buku panduan maupun buku pegangan anak-anak, pengelompokan umur kurang diperhatikan, penyusunan materi kurikulum belum memperhatikan ketiga domain “Taxanomy Bloon” beserta tingkat/kategorinya, belum meperhatikan “positive hidden curriculum” dan terutama “negative hidden curriculum” yang ada sekarang setelah globalisasi. Negative hidden curriculum (kurikulum negative tersembunyi) inilah paling berbahaya, tak bisa diatasi hanya melalui Sekolah Minggu, remaja dan pemuda atau pendidikan formal, pendidikan orang tua atau program gereja, tapi harus ada sinergi dari semua pihak terkait. Ia memberi contoh kurikulum negatif tersembunyi; seperti tayangan kekerasan di televisi dan berbagai adegan di internet. “Berbagai hal dapat disaksikan dan dapat diakses dengan gampang, kapan dan di mana saja,” kata Prof Simanjuntak, Pembantu Rektor Akademik, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.

Pada seminar ini, mantan Ephorus HKBP Pdt Dr JR Hutauruk menyampaikan “Refleksi Peran Diakonia Sosial Masa St Lucius Siahaan (1902-1978) Lucius Siahaan adalah seorang guru yang berjasa meletakkan dasar diakonia sosial gereja yang bernapaskan kasih yang diajarkan Yesus Kristus. Dia juga gigih melakukan berbagai reorganisasi, melakukan pendekatan kepada Kementerian Sosial, agar mengembalikan lembaga sosial Hutasalem, Laguboti.

Lucius Siahaan sempat mengajar di Hollands Inllandse School (HIS) Sibolga, tapi tetap setia menolong warga HKBP di mana ia bekerja. Guru di Sekolah Negeri (Gubernemen) Bandar Sakti, Tebingtinngi, Sumatera Barat.

Begitu juga St Payaman Simanjuntak, menguraikan, jumlah warga HKBP yang mengikuti kebaktian Minggu di Jabodetabek, belakangan ini, hanya sekitar 25-60 persen. Masalah sosial ekonomi, inilah penyebab paling dominan. Mereka adalah kelompok marjinal atau Kristen kapal selam. Hanya muncul dua atau tiga klai setahun, biasanya Paskah dan Natal. Ini menggambarkan pelayanan rutinitas yang dilakukan gereja, hanya bagi sekelompok warga gereja yang rajin mengikuti kebaktian. Indikasi ini sekaligus menunjukkan, sebagian besar warga HKBP tidak menerima pembekalan firman Tuhan secara berkesinambungan serta nilai-nilai dan keteladanan hidup yang dikehendaki Tuhan Yesus. Akibatnya, program yang digagas HKBP sering tak berhasil memobilisasi dana bersama, seperti; dana abadi, dana pensiun, ansuransi kesehatan HKBP. “Soalnya, yang mendukung program tersebut hanya sebagian kecil warga gereja,” kata Prof Dr Payaman Simanjuntak.

Payaman menyarankan, agar momen jubileum 150 tahun HKBP, sebaiknya diarahkan terhadap warga kelompok marjinal, sehingga mereka dapat dibawa kembali ke HKBP untuk mendapat bekal firman Tuhan dan keselamatan dari Tuhan Yesus. bas

Tidak ada komentar: