Minggu, 27 Maret 2011

Aku Warga HKBP

Baharuddin Silaen Persis 2011 tahun depan, HKBP genap berusia 150 tahun. Meskipun setahun lagi, namun gaungnya sudah bergema di mana-mana. Sebagai orang Batak yang sekaligus Kristen, aku bangga sebagai warga HKBP. Aku bersyukur lahir dan tardidi, malua dan tarpasupasu di HKBP. Tak dapat dipungkiri, pengalaman sebagai warga gereja dimulai di gereja ini. Selain orang tuaku yang sudah lebih awal anggota jemaat HKBP mereka juga memberikan pemahaman serta memperkenalkan gereja ini secara berkesinambungan sehingga kecintaanku terhadap gereja ini terus bertumbuh alami. Aku sebagai warga HKBP, harus mengakui, pemahamanku tentang Bibel pastilah berdasarkan bahasa Batak. Bibel yang kubaca sangat mengena karena bahasa yang digunakan adalah bahasa ibuku. Terus terang, sebagai orang Batak sekaligus warga HKBP sangat bangga terhadap semua itu. Beberapa istilah di HKBP pun satu per satu akrab di telingaku, misalnya: tardidi, malua, martumpol, pelean, partangiangan, pesta gotilon, tingting, manghatindanghon haporseaon, tondi porbadia, marminggu dan hamauliateon. Namun, pengalaman puluhan tahun lalu itu tidaklah serta merta bisa diterapkan lagi saat ini. Bahasa Batak, misalnya, bukanlah bahasa “sorgawi” yang suka atau tidak suka harus tetap dipertahankan dalam kegiatan gereja. Memang pro dan kontra belum reda—tapi pertentangan seperti itu sangatlah wajar. Soalnya, warga HKBP sudah banyak yang lahir di perkotaan—lingkungan yang dihuni pelbagai latar belakang sosial, suku, ras dan agama. Mereka, orang Batak keturunan ketiga yang lahir di luar bonapasogit dan mereka adalah warga HKBP saat ini. Di antara mereka, ada sintua dan tidak sedikit jadi pendeta, bahkan ada yang aktivis HKBP. Apakah mereka harus tersisih gara-gara tidak mengerti dan tidak bisa bahasa Batak? Haruskah bahasa memisahkan mereka dari suatu persekutuan yang gerejani? Pemakaian dua bahasa dalam kebaktian di HKBP adalah sebagai bukti perkembangan yang harus diterima dengan rendah hati. Bahkan tidak jarang parhalado menitip pesan kepada parjamita agar mencampur bahasa Indonesia dalam kotbah. Meskipun kebaktian di gereja itu ada kebaktian bahasa Indonesia. Untuk urusan bahasa seperti ini, memang harus ada yang mau mengalah dan menjauhkan sikap kaku terhadap fungsi bahasa sebagai alat perantara dalam suatu proses komunikasi. Bahkan beberapa gereja di Jakarta ada yang melakukan kebaktian bahasa Indonesia pada kebaktian Minggu pagi dan sore. Sedangkan kebaktian bahasa daerah (Batak) hanya satu kali (kebaktian Minggu siang) Ini adalah juga salah satu fakta di lapangan, sekaligus sebagai antisipasi eksodus warga gereja. Harus juga dimaklumi, menjadi warga HKBP bukanlah otomatis harus lancar ngomong Batak? Boleh saja orang Batak lebih fasih bahasa Indonesia, Inggris, Jerman, Belanda, Prancis dan Mandarin daripada bahasa Batak, apakah karena tidak bisa bahasa Batak, lantas diragukan identitasnya sebagai orang Batak serta eksistensinya sebagai warga HKBP perlu dicurigai? Semua setuju, kalau orang Batak idealnya bisa ngomong Batak. Betul sekali, bahasa Batak perlu dilestarikan jangan sampai punah karena individu pengguna dan pemilik bahasa itu kurang peduli. Tapi jangan pula bahasa dijadikan sebagai satu-satunya alasan mempertahankan identitas suatu gereja seperti HKBP sehingga dengan sigap menyingkirkan apa saja yang tidak berbau Batak. Aku sebagai warga HKBP sangat setuju memelihara serta melestarikan bahasa Batak hingga dunia ini berakhir. Apalagi, bahasa Batak adalah “teman” sehidup semati HKBP yang terus akrab sejak dahulu kala hingga saat ini. Sebab itu, tak perlu gelisah—bahasa Batak tidak akan pernah punah selama HKBP masih berdiri kokoh di dunia ini. Perlu diutarakan, sebagai warga HKBP, aku juga merasa nyaman dan sama sekali tidak terusik ketika berada di pesta adat Batak. Sebab, aku tau, di balik margaku, ada perangkat “Dalihan na Tolu” yang mengatur kekerabatan orang Batak dengan nilai-nilai luhur yang tertib dan santun. Bahkan aku tidak risih ketika suatu waktu ke gereja dengan menyandang ulos. Maklum, gereja tempat di mana imanku dibina bukanlah aliran anti ulos dan adat yang hypocrite. Kembali ke soal bahasa. Sebetulnya dua bahasa dalam kegiatan gereja bukan saja dijumpai dalam kebaktian Minggu di HKBP yang berdomisili di kota, tapi ditemukan juga pada pertemuan akbar di HKBP—seperti rapat pendeta dan Sinode Godang HKBP. Pengalaman saya pertama kali mengikuti rapat pendeta dan sinode sekitar 1980, boleh dikatakan materi rapat dan percakapan masih didominasi bahasa Batak. Tapi, belakangan sudah hampir separoh acara dengan bahasa Indonesia. Tidak terkecuali tata ibadah dan nyanyian dari Kidung Jemaat ikut memeriahkan acara. Memang dalam praktek tidak semua berjalan mulus—ada saja yang aneh? Misalnya, kalau pendeta HKBP tidak fasih bahasa Batak sering dicemoh, apalagi kalau dia pendeta di bonapasogit. Sebaliknya, pendeta yang bahasa Indonesianya “marpasirpasir” sering pula bahan tertawaan di gereja yang di kota. Percayalah, kebiasaan ini masih bisa diperbaiki. Apalagi ke depan—pendeta HKBP tidak boleh tidak harus cakap bahasa Batak dan fasih bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ada hal yang tidak dapat disembunyikan dan benar-benar menjadi kebanggaanku, yaitu; pengelolaan sistem administrasi yang dikemas dengan sistematis, tersusun rapi dan transparan. Aku pun pernah mendengar—di antara lembaga/insitusi resmi negara yang ada di negeri ini, sistem administrasi HKBP termasuk nominasi terbaik? Soal kelemahan dan kekurangan HKBP tentulah ada, tapi maaf, aku tidak membahas itu pada kesempatan ini! Aku sebagai warga HKBP, “bermimpi,” gereja terbesar di Asia Tenggara ini suatu hari nanti punya stasiun televisi yang bergengsi. Aku yakin—mimpi itu bukanlah mengada-ada. Sebab, potensi warga HKBP sangat memungkin untuk itu. Bahkan sumber daya manusia yang ada di HKBP lebih dari cukup yang dapat diajak berpikir luas dengan ide-ide cemerlang. Seandainya ide ini diangkat sebagai momentum 150 tahun HKBP agaknya tidaklah berlebihan. Jumlah warga HKBP yang diperkirakan enam juta jiwa adalah aset HKBP dan berkat Tuhan yang luar biasa kepada orang Batak. Kalau HKBP sudah memiliki TK, SLTP, SLTA, Universitas HKBP Nommensen, STT-HKBP, Rumah Sakit HKBP Balige, Panti Sosial, media Immanuel, Radio Bonafit, Suara HKBP, kenapa tidak, suatu saat HKBP memiliki stasiun TV? Aku juga pernah mendengar, HKBP adalah aset negara sebagai pelaku, pemelihara moral serta menciptakan manusia yang santun, beradab, humanis dan religius. HKBP disebut juga sebagai pilar penopang bangsa dalam mewujudkan kehidupan sosial dan kerukunan umat beragama di Indonesia. HKBP sebagai lembaga keagamaan juga turut serta mendukung program pemerintah untuk mensejahterakan umat. Suatu hal yang aku banggakan sebagai warga HKBP, gereja ini sangat komit dan gigih memperjuangkan sikap toleransi, saling menghargai, menghormati dan menjujung tinggi hakekat kepelbagian yang berbeda-beda. Aku masih tetap yakin teguh, HKBP masih mengemban amanat itu hingga saat ini! Bukan itu saja membuat aku bangga sebagai warga HKBP, juga isu lingkungan hidup, pelestarian alam adalah bagaian dari pelayanan HKBP yang tidak pernah berhenti disuarakan demi kelangsungan kehidupan orang banyak. Sebagai gereja yang tertua yang berdiri di tengah dunia, pantaslah HKBP berada pada barisan terdepan memelihara, merawat dan melestarikan alam ciptaan Tuhan. Sekali lagi, aku warga HKBP. Aku cinta HKBP. Teruslah berkibar di bumi Indonesia. Horas HKBP.

Tidak ada komentar: