Kamis, 24 Maret 2011

Wanita itu 85 Tahun

Cerpen El Simamora
Kota kelahiran itu tidak banyak berubah . Rumah penduduk masih tetap dalam bentuk lama, dan juga dari bahan lama, papan-papan tua dan atap seng yang sudah cokelat gelap dan berkarat. Sebagian atap seng itu berwarna terang, tapi tidak baru, pertanda telah diganti dari yang sebelumnya. Pemandangan ke utara adalah hamparan sawah yang bersambung dengan bukit barisan berwarna hijau. Di punggung bukit itu pada saat tertentu tampak bus penumpang atau truk besar meliuk dan menghilang di telan hutan kecil. Suara mesinnya yang kadang terdengar sayup-sayup ke perkampungan, terbawa angin senja yang bertiup.
Kenangan masa kecil puluhan tahun lalu di kehidupan kota kecil itu membuatku termenung. Di kecamatan itu saya lewati masa kecil hingga ke masa remaja. Perguruan tinggi saya selesaikan di kota Jakarta. Setelah itu tinggal dan bekerja di Amerika Serikat.
“Pacarmu yang pertama sudah meninggal. Dia terkena kanker tulang,” tutur adik saya perempuan. Dia mengaduk bumbu-bumbu masakan daerah di dalam kuali dengan ayam yang baru dipotong halus. Saya sengaja meminta dibuatkan makanan khusus yang tidak banyak lemak dan tinggi kolesterol. Bagi kerabat-kerabat lain telah tersedia makanan etnik yang pedas-pedas yang sangat mengundang air liur.
“Berapa orang anak yang dia tinggalkan?”
"Tidak ada. Sebab setelah menikah dia keguguran. Setahun kemudian jatuh sakit dan meninggal. Semuanya cepat berlalu. Suaminya lalu menikah dengan wanita lain dan pindah ke kota Medan.”
“Teman-teman lain masih ada di sini?”
Adik saya menyebut nama sahabat-sahabat dari masa kecil yang tinggal di kota kecil itu. Juga kegiatan mereka. Tak ada yang istimewa di dalam riwayat mereka. Kehidupan mereka sama seperti kehidupan penduduk setempat. Lambat dan santai. Tidak ada pembaharuan. Mereka mengikuti sistem kehidupan yang sama dari generasi ke generasi. Mereka berkeluarga dan berketurunan.
Diceritakan pula, beberapa orang tua seumur ayah kami, telah meninggal dan berpindah tempat ke rumah yang Tuhan tentukan. Ayah meninggal 30 tahun silam, ditabrak bus yang datang dari Medan, sewaktu ia menuju gereja untuk marsermon. Di jalan perlintasan itu telah banyak korban jiwa berjatuhan. Para pengemudi selalu melaju dengan kecepatan tinggi seakan-akan mempersiapkan tenaga tambahan, agar mesin mobil lebih kuat menaiki tanjakan di pebukitan.
Kini ibuku berusia 85 tahun. Untuk merayakan hari lahirnya itulah saya terpanggil untuk pulang ke kampung halaman.
“Ibu tahu persoalan saya?” tanya saya.
“Tidak! Tak satu pun kami yang memberitahukannya. Kalaupun keluarga dari Jakarta datang ke mari, kami tak pernah membicarakannya di depan ibu. Dia wanita. Hatinya tulus. Dia membenci pertikaian dalam rumah tangga.”
“Tak ada rumah tangga yang tak pernah bertengkar!”
“Benar. Tapi tidak harus diakhiri dengan perceraian.”
Saya diam sejenak. Di dinding rumah itu terpampang foto kami sekeluarga tanpa ayah, di dalam satu bingkai. Foto ayah bentuk pasfoto sebesar kotak sepatu berwarna hitam putih terpisah dari yang lainnya. Ibu memiliki foto bersama dengan ayah, sewaktu mereka baru menikah puluhan tahun lalu. Tapi foto itu tidak lagi di dinding rumah itu. Ibu menyimpannya di album tua di dalam lemari di kamarnya sejak berpisah. Mereka memang telah berpisah. Berpisah karena kematian. Saya waktu itu masih SMP.
“Apa ibu tak pernah curiga kalau saya tak bertelepon?”
Adik saya menganggukkan kepala. “Tiga bulan setelah teleponmu terakhir berdering, dan lalu tak terdengar lagi, ibu menanyakannya. Dia heran mengapa tak ada kabar darimu.”
Memang sudah setahun lebih saya tak bertelepon kepada ibu.
Sejak rumah tangga saya ditimpa prahara, akibat dari keinginan istri saya.
Istri saya sudah memohon perceraian berbulan-bulan hingga akhirnya saya kabulkan di suatu hari. Semula saya perkirakan hidup di negara makmur seperti Amerika akan membuahkan kemakmuran dalam rumah tangga. Ternyata saya salah. Ketidaksesuaian pandangan hidup satu sama lain membuat kami hidup dengan kemauan sendiri-sendiri seperti pasangan yang tak pernah bersatu. Semua hasil pekerjaan berakhir di pembagian harta benda.
“Rumah di Jakarta milik saya, karena kita beli mengatasnamakan saudara saya,” kata istri saya.
“Apakah demi memiliki rumah itu kamu mengambil perceraian ini?” tanya saya.
“Bukan. Tapi saya mau berpisah saja.”
“Atau kamu terpikat laki-laki Amerika ini? Untuk apa? Untuk status kelegalan imigrasi?”
Istri saya diam. Saya tahu bahwa ia terpojok dengan pertanyaan saya. Belakangan ini, memang, sejak Amerika diserang teroris 11 September 2001, pemerintah Amerika mengetatkan keamanan di dalam negeri dengan cara mencurigai semua orang, terutama pendatang dari negara asing. Beberapa kebijakan pemerintah dilaksanakan untuk mencegah terjadinya malapetaka ciptaan manusia, seperti kisah teroris. Pelabuhan udara misalnya diperketat dengan menggeledah semua penumpang yang hendak berpergian dengan pesawat terbang. Polisi di beberapa negara bagian diberikan hak untuk menanyakan status keimigrasian pengendara mobil. Aturan ini belum pernah terjadi di seluruh Amerika. Akibatnya, banyak sekali para pendatang yang bekerja untuk hidup dan masa depan, terutama ilegal imigran, mejadi sulit tidur karena dikejar-kejar rasa takut kena tangkap.
Dua tahun setelah serangan teroris di 2001 itu, pemerintah Amerika mendata para pendatang laki-laki dari beberapa negara asing yang diseleksi, termasuk Indonesia. Saya waktu itu diwawancarai petugas FBI yang sopan dan ramah di kantor imigrasi ketika melakukan pelaporan diri sebagai warga pendatang. Hal yang sama juga dilakukan ke beberapa mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Amerika. Semua data kehadiran diri dan pekerjaan di Amerika saya uraikan dengan tulus. Foto saya diambil lewat kamera kecil di dekat komputer dengan sistem teknologi terbaru. .
Sejak pelaporan diri itu, komunitas Indonesia di Amerika drastis berkurang jumlahnya. Banyak teman yang pulang ke Tanah Air sesuai order dari pengadilan imigrasi Amerika. Tidak sedikit yang dideportasi karena lalai waktu dan tidak hadir di persidangan yang telah ditentukan. Mereka dijemput polisi di alamat masing-masing di pagi yang gelap, dan lalu dipulangkan ke Tanah Air, di antaranya ada yang meninggalkan anak dan istri yang terheran-heran dan ketakutan sewaktu penangkapan berlangsung.
Tetapi, dalam tempo sekejap, laki-laki atau wanita Indonesia, banyak sekali melakukan pernikahan mendadak dengan orang Amerika. Pernikahan itu tidak dibatasi usia tua ataupun penampilan wajah dan warna kulit. Apalagi agama. Pernikahan mereka disumpah dan dimeteraikan di depan petugas pemerintahan tanpa ada pesta yang dihadiri khalayak sebagaimana lazimnya pernikahan masyarakat Asia. Setahun kemudian kedengaran status orang Indonesia yang menikah itu terangkat menjadi sah sebagai penduduk Amerika. Namun, anehnya, tidak sedikit pernikahan itu berakhir dalam perceraian dalam tempo yang sekejap.
Perceraian juga terjadi di beberapa rumah tangga Indonesia, mengikuti perpisahan yang sudah lazim bagi banyak keluarga Amerika. Pemilik rumah tangga yang hancur-hancuran itu kemudian menikah dengan orang Amerika dan lalu pindah ke negara bagian lain.
Bagi pasangan yang menikah di Negara Indonesia sebelumnya, proses perceraian mereka berlangsung begitu saja tanpa perlu ke pengadilan Amerika karena tidak ada surat pernikahan yang mereka tanda tangani di Amerika sehingga tidak melanggar hukum Amerika. Sedangkan bagi yang menikah di Amerika, perpisahan harus disahkan lewat pengadilan yang menyita banyak waktu dan biaya, baik untuk berkonsultasi, maupun membayar pengacara yang mahal yang iklannya banyak ditemukan di buku-buku telepon. Karena beratnya perceraian itulah barangkali banyak orang Amerika tidak tercatat menikah sekalipun mereka telah memiliki beberapa anak dalam masa hidup bersama.
Istri saya mulai angkat bicara lagi. “Kalaupun saya menikah dengan orang sini, itu hak saya,” katanya.
“Tapi kita memiliki ikatan rumah tangga. Kamu itu adalah istri saya. Pikirkan itu.”
“Saya tahu. Tapi saya menginginkan perpisahan. Saya rindu pulang ke Indonesia dan bisa kembali ke Amerika ini. ”
“Dengan cara menikahi orang Amerika ini dan menghancurkan rumah tangga kita?”
“Iya, maybe. But, who care! Live must go on.”
Kami akhirnya bercerai setelah istri saya sering tidak pulang ke rumah. Rumah yang masih dalam pembayaran cicilan saya kembalikan ke home loaner untuk menghindari foreclosure. Kami melakukannya agar kredit kami bagus dan bisa kelak memberi rumah tanpa kesulitan dengan sejarah kredit sebagaimana berlaku di Amerika.
Tapi setelah perpisahan itu saya tidak lagi berniat membeli rumah. Saya memilih menyewa apartemen yang memiliki kolam renang yang biru. Sekali waktu bekas istri saya datang berkunjung dan berbincang-bincang di tepi kolam renang itu di musim panas. Saya tak pernah membukakan pintu apartemen untuk dia masuki. Dia bercerita tentang kesulitan hidup bersama yang dia hadapi dengan laki-laki Amerika itu.
“Kenapa kamu tidak lapor polisi ketika dia menampar pipimu?” tanyaku.
“Saya takut. Dia mengancam tidak akan meluluskan status keimigrasian saya.”
“Tapi yang dia lakukan itu adalah kriminal. Domestic violence. Polisi berhak menangkapnya berdasarkan laporanmu. Call saja 911. Memang status keimigrasianmu sudah sampai tahap apa? Sudah dia cover kamu? Sudah kalian hire attorney?”
“Tidak. Tidak pernah. Dia hanya berjanji setiap saya tanyakan hal itu. Kami sudah tidak memiliki uang yang cukup untuk itu. Gaji saya habis untuk pesta-pesta dia dan teman-temannya. Dia juga ternyata memiliki pacar yang lain. Itu saya tahu setelah kami tinggal bersama.”
Saya menatap wajahnya dengan tenang. Air matanya bercucuran, membuat saya terharu melihat kesedihan yang dia peroleh.
“Rencanamu selanjutnya apa?”
“Saya tak mau lagi tinggal dengan dia. Saya sudah tidak tahan. Tolong beri saya pengampunan.”
Saya menghela napas. “Minta pengampunan kepada Tuhan. Dia berkuasa mengampunimu daripada saya. Di akhir tahun ini saya berencana pulang ke Indonesia. Ibu saya berulang tahun yang ke-85”
Dia menahan napas sebentar sambil mengalihkan pandangannya ke kolam renang yang airnya beriak-riak kecil didera angin sore.
Kemudian dia menoleh saya lagi dengan isak yang tersengal.
“Apa boleh saya ikut dengan kamu?”
“Ke mana? Ke Indonesia? Saya akan tinggal di kampung saya selamanya. Saya tidak akan kembali lagi ke Amerika ini.”
“Apa kamu cerita bahwa kita bercerai?”
“Iya, saya bercerita, tapi hanya kepada saudara-saudara saya. Tidak kepada ibu. Saya tidak tega mengungkapkannya. Tak ada sejarah perpisahan dalam keluarga kami! Dari kakek ke cicit. Bahkan dari generasi lebih tua dari kakek. Adat telah memberi ikatan yang kuat dalam rumah tangga sebelum agama dan modernisasi datang.”
“Please…bawalah saya pergi,” sahutnya lagi memohon. “Bawalah saya beserta engkau, please. Maafkan saya atas kesalahan saya.”
Saya tidak memberi kepastian hingga dia pulang mengemudikan mobilnya. Bahkan ketika hari terakhir sebelum pulang ke Tanah Air, saya tak memberi jawaban kapan waktu kepulangan saya. Kepergian saya meninggalkan Amerika saya percepat dari waktu yang saya rencanakan. Udara dingin musim gugur membuat saya malas untuk berbicara.
Saya baru bicara banyak sewaktu tiba di kampung halaman di antara kerabat yang tinggal di kota kecamatan itu.
Mereka menyambut saya dengan kerinduan yang dalam seperti menyambut si anak hilang. Ibu saya menangis tersedu-sedu sambil memeluk saya dengan hangat. Suatu kehangatan yang membuat saya terkenang ke masa kecil, puluhan tahun lalu, di rumah tua, di kota kelahiran itu.
“Di mana menantu saya, kenapa dia tidak ikut?” tanya Ibu.
“Dia masih di Amerika,” jawab saya sambil memeluk tubuhnya. Saya tidak berani menatap wajahnya yang sudah tua dan keriput. Sorot matanya begitu tulus seakan-akan mengetahui ada sesuatu yang saya sembunyikan. Tapi saya juga tidak ingin hatinya terluka mendengar kemelut hidup saya di usianya yang ke-85, andaikan saya bercerita jujur. Dua malam lagi ulang tahun ibu akan dirayakan di akhir pekan bersama anak, menantu dan cucu-cucu yang datang dari Medan dan Jakarta dan kota-kota lain. Mereka datang sebagai keluarga yang memiliki mahligai yang utuh dan teguh, seperti kehidupan keluarga dulu kala dalam tradisi-tradisi yang bagus.
Dia wanita. Hatinya tulus!
Denver, Colorado, di suatu masa-
Note:
Foreclosure – Kasus penyitaan rumah yang tidak dibayar.
FBI – Federal Bureau Investigation, biro penyelidik kejahatan
911 - Nomor panggil emergency di Amerika untuk memanggil polisi, tim kesehatan, atau pemadam api
Si anak hilang (Lukas 15:11-32), anak yang melarat karena berfoya-foya, dan lalu pulang, dan disambut hangat oleh ayahnya

Tidak ada komentar: