Selasa, 15 Maret 2011

Setan Mandilat Porhas

Suasana Balairung pagi itu masih sepi. Hanya Dede penjaga Balairung yang tampak di ujung ruangan merapikan meja dan kursi. Di tempat ini, tugas penjaga Balairung yang paling utama membersihkan puntung rokok dan tidak boleh ada asbak di atas meja. Balairung harus benar-benar bebas asap rokok. Maklum, pendiri dan komunitas Balairung paling anti terhadap perokok. Perokok bagi mereka adalah orang setengah manusia dan setengah setan. Bahkan bagi mereka sudah harga mati, tak akan pernah menerima perokok masuk di lingkungan Balairung apalagi berbicara dalam diskusi mingguan. Perokok bagi mereka pembawa petaka dan najis.
Pernah karyawan dipotong gajinya, gara-gara ketaun merokok sama kepala Balairung. Sejak itu, di ruangan ditempeli stiker “Dilarang Merokok Dalam Ruangan Ini.” Stiker juga ditempel di dapur, di kamar mandi, di kamar Dede yang berada di belakang Balairung. Dede juga pernah dimarahi kepala Balairung karena meletakkan asbak di atas meja. Dede dipanggil menghadap ke ruangan kepala Balairung, Pa Berlan.
“Kamu tau filosofi asbak, ” tanya Berlan di ruangan kerjanya.
“Maaf, tidak tau Pa,” jawab Dede polos.
“Begini, supaya kamu tau, asbak itu adalah tempat menampung debu rokok dan puntung rokok. Nah, kalau ada asbak di atas meja, itu artinya, di tempat itu boleh merokok. Sama artinya mempersilahkan merokok. Orang yang berpendidikan paham akan hal itu. Kalau tidak ada asbak di tempat itu berarti tidak boleh merokok. Tapi kalau ada asbak itu artinya boleh merokok. Itulah filosofi asbak, sudah paham?” tanya Berlan.
“Paham Pak!”
“Nah mulai sekarang tugas utama kamu di tempat ini, singkirkan semua asbak rokok dari lingkungan Balairung. Kamu harus ingat, motto Balairung ini, “hidup segar dengan udara bersih tanpa asap rokok.”
Beberapa tokoh dan pakar sudah berdatangan dan sudah duduk di tempat yang disediakan di ruangan pojok Balairung. Hari itu agenda mereka akan mengulas isu-isu hangat yang terjadi di kalangan masyarakat. Salah satu topik yang dibahas, soal begu ganjang yang bikin heboh. Sebelumnya, para pakar sudah diminta mencari sebanyak-banyak informasi tentang begu ganjang, baik melalui internet maupun kejadian di lapangan.
Pak Berlan membuka diskusi serta memberikan pengarahan. “Ada informasi yang perlu kita tanggapi serius. Semua yang hadir pada pertemuan ini harus memberikan masukan yang mendukung rencana kita ke depan. Tolong masing-masing kita, agar serius terhadap isu hangat yang terjadi akhir-akhir ini, khususnya soal begu ganjang. Isu begu ganjang ini harus kita angkat menjadi suatu program yang layak jual. Kita kemas dengan cantik sehingga jangan sampai kelihatan misi kita yang sebenarnya. Isu begu ganjang ini sangat pas dimanfaatkan menyebarkan misi Balairung yang kita cinta ini. Tragedi begu ganjang yang menelan korban, harus kita katakan sebagai bukti kegagalan pihak yang di luar Balairung. Dari kegagalan itulah kita masuk ke wilayah mereka yang di luar Balairung sambil mengusung misi kita. Kami sudah bentuk tim pada minggu lalu. Nama tim itu “Sentan Mandilat Porhas.” Jadi, sandi kita nanti di lapangan “SMP.” Jangan samapai ada yang lupa sandi ini!”
“Selain itu, pola kerja kita pun diadopsi dari cara kerja virus. Virus dengan mata telanjang tidak kelihatan. Seperti itulah cara kerja kita di Balairung ini. Virus itu ternyata dipelihara dan dilindungi. Penemu virus contohnya, dipelihara dan dilidungi para mafia perusahaan raksasa perangkat komputer. Ternyata, penyebar virus itu susah dilacak, tapi mungkin juga dia dibayar mahal? Buktinya, hampir semua perusahaan komputer, mencipatkan alat anti virus. Bayangkan berapa miliar keuntungan perusaahaan hanya dari anti virus. Seluruh pengguna komputer di seluruh dunia memakai anti virus di komputer. Nah, seperti virus itulah model ajaran di Balairung ini. Dimusuhi tapi dipelihara dan malah dibayar.”
“Perlu dikemukankan pada kesempatan ini, program yang akan kita adakan membasmi begu ganjang, membutuhkan dana yang tidak sedikit, diperkirakan sekitar Rp 2 miliar. Ini biaya operasional selama enam bulan di lapangan. Dana ini kita harapkan dari menjual program begu ganjang yang sudah dipersiapkan selama tiga bulan di Balairung ini. Dapat ditambahkan, bahwa biaya paling mahal adalah mendatangkan orang pintar yang bisa memanggil begu ganjang dari berbagai penjuru dan bisa berbicara langsung dengan kita. Teman-teman yang lain, agar mempersiapkan diri sebagai pembicara pada seminar begu ganjang nanti. Kita akan ulas soal begu ganjang dari berbagai aspek: sosiologi, antropologi, teologi, hukum, lingkungan, sumber daya manusia, sumber daya alam, supranatural dan black magic. Saya yakin potensi yang ada di Balairung ini cukup untuk itu.”
“Interupsi ketua,” potong Darius
“Silahkan,” balas Berlan.
“Ada baiknya dijelaskan dalam diskusi ini, cara dan langkah apa kira-kira yang paling tepat kita lakukan membasmi isu begu ganjang?” ujar Darius
Baik. Langkah yang kita tempuh, pertama, meningkatkan cara mendongeng yang baik. Selain itu, jumlah pendongeng harus ditambah di wilayah timur yang satu ide dengan komunitas kita. Menurut hemat saya, merebaknya isu begu ganjang, adalah akibat ketidakmampuan mendongeng. Dongeng mereka yang selama ini terlalu monoton, kaku dan tidak dipersiapkan dengan matang. Akhirnya mereka yang tinggal di daerah timur pergi mencari pendongeng yang baik dan bermutu.
“Boleh tanya Pa?”
“Silahkan Pa Syukur.”
“Mendongeng yang baik dan bermutu seperti apa, boleh bapak jelaskan. Supaya kita yang hadir dalam diskusi ini sama-sama mengerti?”
“Pertama, persepsi kita harus sama dulu, bahwa mendongeng dan bercerita itu sedikit berbeda. Mendongeng, lebih cenderung menghibur tapi di dalamnya ada pesan. Materi dongeng boleh fiksi, tidak musti berdasarkan fakta. Bercerita, lebih ilmiah dan harus didukung fakta serta data. Bercerita mengisahkan kejadian berdasarkan fakta. Dongeng, materi ceritanya lebih bebas, entah itu benar-benar terjadi atau cuma sebatas mitos. Tapi seorang pendongeng, harus juga punya keahlian dan krakter yang jelas, agar yang mendengar dongeng itu senang, terhibur dan kalau perlu bisa sampai meninabobokkan. Ini harus diingat, bagaimana agar dongeng itu ampuh meninabobokkan banyak orang. Sampai orang itu lupa, seolah-olah dia sudah berada di dunia lain, pada hal kakinya masih menginjak tanah. Begitu pa Syukur, penjelasan saya,”jawab Berlan.
“Saya sependapat dengan Pa Berlan,” kata Putra menimpali seperti orang yang tak sabar menunggu giliran berbicara. “Memang belakangan ini, di luar Balairung yang kita kelola ini, para pendongeng sudah dicemoh dan dijauhi para pendengarnya. Banyak kelemahan mereka. Salah satu contoh, mereka pada umumnya masih doyan merokok. Bagimana menjadi teladan, padahal merokok. Pendongeng perokok tidak disukai lagi saat ini. Perokok sama dengan belum bertobat. Kotor dan itulah salah satu komitmen kita di Balairung ini, tidak menerima anggota yang perokok. Barangkali, perlu ditegaskan, ketika mendongeng supaya jangan meyinggung apalagi menegur kesalahan para pendengar, tapi harus diupayakan dongeng yang enak didengar, sesuai selera, jangan sampai ada yang tersinggung. Kalau tersinggung mereka tidak datang lagi mendengar dongeng kita. Pokoknya, materi dongeng dan cara menyampaikannya harus disesuaikan dengan selera pasar. Apa yang sedang populer, itulah yang kita terapkan, yang penting bagaimana supaya mereka tertarik sehingga jumlah pengikut kita terus bertambah banyak.
“Maaf Pa Putra, saya berbeda pendapat dengan bapak,” tukas Syukur. “Dulu bapak juga perokok berat, tapi karena dokter menyarankan supaya berhenti merokok, sebab di paru-paru bapak banyak ditemukan plek. Sejak dulu aku kenal bapak perokok dan sampai riwayat berhenti merokok juga aku tau persis. Kog, tiba-tiba bapak seperti orang suci dan soleh. Tapi kenapa suka menghakimi orang lain? Sebaiknya, pemikiran seperti itu jangan diulangi di Balairung ini. Itu ajaran sesat! Tidak mendidik dan tidak memberikan pencerahan. Jangan terlalu gampang menyamaratakan kasus. Sepertinya bapak selalu memposisikan diri di atas kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap seperti itu sebaiknya jangan dipelihara. Maaf pa ketua, masih bisa saya lanjutkan,” tanya Syukur.
“Silahkan!”
“Begini, ini pendapat saya. Kita ini yang bergabung di Balairung ini kan, rata-rata sudah mapan. Begitu juga latar belakang pendidikan kita, boleh dikatakan hampir semua kita pernah mengecap pendidikan tinggi bahkan di luar negeri. Sekarang kita sudah pensiunan. Awal berdirinya Balairung ini juga, adalah sebagai tempat kita bertemu, kangen-kangenan, karena tidak ada lagi kegiatan kita. Mengadakan diskusi hal-hal yang menyegarkan rohani. Maaf, kalua saya berterus terang, ada di antara kita lantaran kecewa, karena ide dan gagasan yang disampaikan ditolak orang yang di luar Balairung. Lantas, kita sakit hati. Kita menuduh mereka tidak becus, belum bertobat. Lalu sekarang, kita mengangkat isu begu ganjang kenderaan kita mau masuk ke wilayah ajaran mereka. Supaya keberadaan ajaran Balairung diterima. Supaya kita dihargai dan diperhatikan. Lalu, kita katakan mereka tidak berbuat. Mereka malas. Dongeng mereka itu-itu juga. Pendongengnya tidak berkualitas, belum lahir kembali. Hanya memikirkan jabatan dan hal duniawi. Apakah kita mau menjadi pahlawan dan ingin berjasa sebagai penyelamat jiwa-jiwa yang tersesat?”
“Saya juga sering berkujung ke rumah teman-teman. Tidak etis menyebutkan nama mereka di ruangan ini. Sempat terkesima, melihat pemadangan di rumah teman-teman, ada ruangan khusus seperti bar. Berbagai jenis minuman yang mulai dari rendah alkohol sampai beralkohol tinggi ada di rumahnya. Tentu harganya pun ada yang murah dan ada pula yang sangat mahal. Kadang susah membedakan rumah atau bar. Tapi kita tidak pernah iri, cemburu apalagi menghakiminya, belum bertobat. Malah anehnya, sering kita membela diri.Hanya untuk kesahatan dan supaya enak tidur. Biar kuat dan enerjik. Tapi kalau teman yang merokok, begitu cepat kita menuduhnya setengah manusia dan setengah setan serta tidak layak bagian dari kita. Ini sangat memprihatinkan. Maaf kalau penjelasan saya terlalu panjang.”
“Terakhir, izinkan saya pada kesempatan ini menyampaikan, bahwa kita semua yang ada di Balairung inilah yang sebenarnya pertama-tama harus merubah sikap dan bertobat dari kepura-puraan dan kemunafikan. Jangan hanya pintar menyalahkan orang lain. Jangan cuma bisa melihat debu di kelopak mata orang lain dan jangan hanya menganggap diri paling baik dan benar. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya,” ujar Syukur mengakiri pembicaraan dengan suara datar dan tenang.
Lalu, Pa Ketua memberikan aba-aba, bahwa diskusi akan dilanjutkan setelah makan siang! Pokok pembicaraan mengenai dana Rp 2 miliar.

Baharuddin Silaen, Cipondoh, Januari 2011

Tidak ada komentar: