Temanggung, kota berhawa sejuk dan tentram di Jawa Tengah, tiba-tiba berubah menjadi panas dan beringas. Beberapa gereja menjadi sasaran amuk massa.
Bermula dari ulah orang yang tidak menerima keputusan majelis hakim yang dibacakan Dwi Dayanto, vonis lima tahun bagi Antonius terdakwa penistaan agama. Tiba-tiba ada melepar kayu ke arah hakim Dwi. Massa menuntut supaya terdakwa dihukum mati atau seumur hidup.
Di luar pengadilan, massa mulai mengamuk. Massa yang berkumpul dekat kantor salah satu bank membaur dengan massa yang marah. “Ayo kita ke barat. Target kita bukan pengadilan, tapi gereja,” teriak seseorang dari tengah kerumunan.
Benar! Mereka merusak Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus, jaraknya sekitar dua kilometer dari pengadilan. Massa menghancurkan kaca pintu, kemudian masuk ke gereja lalu mengobrak-abrik kursi, patung dan langit-langit. Gereja ini hanya dipisahkan satu rumah dengan kantor Kepolisian Resor Temanggung.
Belum puas merusak Gereja Santo Petrus, massa bergerak menuju Gereja Pantekosta. Tiga mobil dan enam motor yang diparkir di belakang gereja dibakar. Massa melempar bom Molotov ke pintu besi gereja, kemudian mendobrak pintu samping. Mereka memecahkan kaca-kaca jendela. Setelah itu, mereka juga merusak Sekolah Kristen Shekinah, milik Gereja Bethel.
Selesai membakar, massa menuju pertigaan Jalan Sudirman, dari tempat ini mereka bubar.
Aktivis dan tokoh agama yang aktif mengikuti sidang perkara ini mengatakan tidak mengenal para penyerang. Setiap kali sidang, ruang Pengadilan Negeri Temanggung selalu penuh pengunjung. Forum Umat Islam Bersatu, yang terdiri atas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Ansor, Banser, Pemuda Muhammadiah dan Gerakan Pemuda Ka’bah, selalu hadir. “Kami tidak anarkistis,” kata Farid Ibrahim, Ketua Gerakan Pemuda Ka’bah Temanggung.
Peristiwa itu seperti ditulis Tempo, pada 23 Oktober pagi tahun 2010, Bambang Suryoko, 60 tahun, mendapati dua buku kecil dibungkus plastik di depan pintu rumahnya, Desa Kranggan, Temanggung. Satu buku berwarna biru, lainnya kuning. Awalnya dia berpikir itu undangan. Begitu membuka buku, ia terenyak. Ia menganggap isi buku itu melecehkan Islam. “Saya tanya tetangga sebelah rumah, siapa yang melempar,” kata Bambang.
Masrur, tetangganya, memberi tahu, buku berasal dari seseorang yang sedang berjalan keliling kampung menenteng tas. Mereka mengenalinya sebagai Antonius Richmond Bawengan, yang semalaman menginap di rumah Likik Haryono, adik iparnya. Ia membawa tumpukan buku berjudul “Ya Tuhanku, Tertipu Aku” (tebal 60 halaman) dan “Saudaraku, Perlukah Sponsor” (35 halaman)
Bersama warga Kranggan lainnya, Bambang dan Masrur mengejar Antonius. Mereka menangkap Antonius dan membawanya ke rumah Fatkhurozi, ketua RT setempat, yang juga anggota Kepolisian Sektor Kaloran, Temanggung. Ditanya alasan menyebarkan buku, Antonius menjawab, “Biar tambah pengetahun.”
Menurut Bambang ketika itu hadir juga Minggus,anggota jemaat Gereja Bethel. Minggus pun tersinggung dengan isi buku yang dibagikan Antonius. Warga kemudian melaporkan Antonius ke Kepolisian Sektor Kranggan, yang selanjutnya melimpahkannya ke Kepolisian Resor Temanggung.
Pada 2 November 2010, berkas perkara Richmond dinyatakan lengkap. Sidang pun dibuka pada 13 Januari 2011, dilanjutkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli pada 20 dan 27 Januari. Hakim Dwi membacakan putusan yang menghukum Antonius lima tahun penjara, hukuman maksimal untuk pasal penistaan agama dalam Kitab Undangn-Undang Hukum Pidana.
Pengunjung sidang langsung merangsek. Hakim, jaksa dan Antonius dievakuasi petugas. Kaca-kaca dipecahkan. Ketika keributan pecah polisi melempar gas air mata dam melepaskan tembakan. Pada saat itulah kepala Sholahuddin, putra KH Amin Fastoni, pengasuh Pondok Pesantern Al-Munawar, Kertosari, Temanggung, terserempet peluru karet. Ia dibopong ke rumah sakit. Muncul rumor, ia meninggal. Massa semakin beringas.
Ketika sidang 27 Januari, tanda-tanda kerusuhan sudah dirasakan. Massa merangsek ke kursi terdakwa, Antonius dipukuli. Polisi saat itu mampu mengatasi keributan. Sehari menjelang sidang pada Februari lalu, aparat keamanan meminta warga waspada. Sekolah Kanisius Temanggung meliburkan siswanya.
Menurut Bupati Tumenggung, Hasyim Affandi, seperti dikutip Tempo, penjagaan tak ditingkatkan. Sebab, rapat musyawarah pimpinan daerah memutuskan polisi yang dibantu tentara hanya akan bertindak persuasif. “Makanya cuma ada enam polisi yang menjaga gereja,” tutur Hasyim.
Hasyim menyatakan, rapat digelar karena aparat sudah mengetahui ada konsentrasi massa yang akan menyerbu Pengadilan Negeri Temanggung.”Kami sudah dapat data dari intelijen daerah,” ujar Hasyim sambil menyebutkan massa muncul dari Pekalongan, Solo dan Sumowono—pegunungan Ambarawa.
Kepala Kepolisan Daerah Jawa Tengah, Inspektur Jenderal Edward Aritonang memperkirakan sekitar 800 orang hadir ketika putusan dibacakan. Mereka datang dari luar Temanggung karena memperoleh pesan pendek berisi undangan dakwah. “Mereka berbaur dengan masyarakat Temanggung. Tapi undangan itu dibelokkan menjadi kerusuhan,” ujar Aritonang. bas.
Kamis, 24 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar