Setelah pulang dari Amerika, 2004, dia datang mengunjungi aku di PGI, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta. Kaget. Tak menduga sama sekali. Yang aku tahu, dia berada di Denver, Colorado.
Dia menceritakan suka dan duka selama tinggal di Amerika. Teman kami Lamsihar Simamora disinggung juga dalam ceritanya. Teman kami sewaktu kuliah di “Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik” (IISIP) Lenteng Agung. Bahkan mereka sempat menerbitkan koran “Indonesia News” berbahasa Indonesia di Colorado. Aku juga ikut sebagai redaktur di Jakarta.
Bagiku Lambas Goeltom adalah sahabat yang baik dan menenangkan. Santun, kalem dan tidak banyak bicara. Meskipun pengalaman jurnalistiknya seabrek-abrek, tapi tetap rendah hati. Bukan hanya di bidang jurnalistik, belahan dunia ini pun sudah banyak dijelajahinya. Pribadi Lambas yang low profile inilah membuatku diam-diam mengaguminya.
Memang, kami sudah lama berteman. Sejak kuliah di IISIP (dulu namanya Sekolah Tinggi Publistik-STP) Sewaktu di kampus kami beda kelompok (bergaul dan tempat nongkrong) Boleh dikatakan antara aku dengan Lambas tidak terlalu akrab. Aku lebih suka bergaul dengan mahasiswa asal Medan. Selain itu, aku kurang betah lama-lama di kampus, karena waktu itu sudah ada kegiatan—wartawan di “Sinar Indonesia Baru” kantornya di Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat.
Hubungan akrab dengan Lambas terjalin kembali tujuh tahun lalu. Ketika kami sama-sama di majalah “Devotion” yang diterbitkan, John Bidel Pasaribu. Latar belakang jurnalistiknya dan pengamalaman di luar negeri, tentulah sangat mengena untu penerbitan. Itulah alasanku mengajaknya bergabung.
Waktu itu Lambas ditugasi mengurusi berita luar negeri. Banyak kisah menarik ditulisnya dengan gaya penulisan feature yang enak. Dalam sekejab berita yang dikutip dari internet langsung jadi. Maklum, bahasa Inggrisnya sangat memadai.
Nilai plus yang lain, dia adalah penulis serba bisa. All event! Apa saja yang dia tulis pasti enak dan menarik.
Pernah tulisannya mendapat protes dari pembaca Devotion. Ketika itu Lambas malah tersenyum ketika diceritakan ada yang komplein. Tak gentar sama sekali. “Seorang jurnalis, harus berani menulis berita berdasarkan fakta apa adanya,” kata Lambas waktu itu. Dia juga sangat konsisten menjaga wibawa redaksi. Paling tidak suka kalau ada pihak lain yang ingin intervesi redaksi soal berita. Termasuk wartawan yang coba-coba intervesi kebijakan redaksi.
Persahabatan kami, boleh dikatakan cukup langgeng. Setelah Devotion tutup, Lambas aku ajak bergabung dengan majalah “Suara HKBP.” Semula aku ragu, apa dia mau atau tidak. Soal finansial? Setelah kupaparkan apa adanya, dia bersedia. “Tidak apa-apa, nanti ada saatnya berubah,” jawab Lambas waktu itu.
Hampir lima tahun kami bersama di Suara HKBP. Banyak ide yang dikemukakan untuk memajukan majalah ini. Sampai akhir hidupnya, dia menjabat Pemimpin Redaksi menggantikan Pdt Puji Handoko Aritonang STh.
Lambas juga yang menggagas pada ulang tahun kelima majalah ini, 2010, agar digelar penobatan tokoh Batak. Ide itu disambut baik oleh teman lain. Lambas dengan cekatan membuat proposal dan yang berkaitan dengan penobatan tersebut. Meskipun pada malam penobatan hasilnya tidak maksimal. Dia termasuk yang kecewa.
Sampai Lambas meninggal, panitia HUT Suara HKBP belum dibubarkan. Sebab Lambas tak kunjung sembuh dari sakit. Ketua Panitia Kampler Marpaung, sudah pernah menanyakan soal kesehatan Lambas. Ternyata, sahabat kami Lambas, tidak akan pernah lagi bersama kami untuk selama-lamanya dan tidak akan pernah ikut dalam pembubaran panitia HUT yang digagasnya.
Benar, masih banyak program yang belum terlaksana. Setahun lalu dia merencanakan akan mendirikan komunitas penulis Kristen. Draf proposalnya sudah dikerjakan. Impian itu pun buyar, bersama kepergian sahabat kami yang baik, Lambas.
Malah Maret ini, Lambas seharusnya sebagai narasumber untuk pelatihan penulisan yang diadakan HKBP Duren Sawit. Materi yang akan disampaikan: Wawancara Jurnalistik, Fotografi Jurnalistik dan Teknik Membuat Blog.
Terlalu cepat dia pergi. Aku adalah sahabatnya yang sangat kehilangan. Sepertinya dia belum meninggal. Sosoknya masih terbayang duduk sambil menghadap komputer tempatnya mengetik berita dan tulisan.
Beberapa waktu belakangan ini, dia sudah sering mengeluh, tentang penyakit yang dia derita; gula dan prostat. Sebelumnya, sudah pernah operasi usus buntu. Sejak kadar gulanya tinggi,dia rajin membawa gula sendiri ke kantor.
Ketika kami dari Suara HKBP menyampaikan turut berduka di rumahnya, di Kompleks Perumahan Depsos Pasar Rebo, anaknya Ferrari, 13 tahun (SMP Kelas 1) tampak menangis sesengguhan menyaksikan ayahnya terbujur kaku dalam peti. Sesekali ompunya membelai Ferrari dengan kasih sayang yang tulus. Almarhum lahir di Bandung, 15 Juli 1960. Meninggal, Selasa 15 Februari 2011 di Jakarta.
Meskipun aku sebagai sahabatnya, tidak semua hal diceritakan. Aku punya firasat, selain penyakit yang dideritanya, ada pergumulan batin yang ditutupinya. Tapi, aku tidak pernah berani menanyakannya. Apalagi dia tidak pernah terbuka hal-hal yang pribadi.
Yang aku tahu, dia pekerja keras dan tekun. Sayang, kalau sudah di depan komputer lupa semuanya. Termasuk makan. Rokok adalah sahabatnya paling setia. Secangkir kopi panas selalu mendampinginya. Pemandangan itu tidak akan pernah lagi terlihat di atas mejanya di kantor Redaksi Suara HKBP di Cinere.
Sahabatku, terlalu cepat engkau pergi! Selamat jalan Lambas. baharuddin silaen
Kamis, 24 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar