Setelah kaum muslimin menunaikan salat, mereka memberi kesempatan kepada umat Kristen melakukan misa. Hari itu Minggu siang di Kairo.
Imam berjubah Al-Azhar yang baru saja memimpin salat, tampak membantu Pdt Fauzi Khalil naik ke kursi yang semula dipakai muazin. Pendeta membuka doa kecilnya, lalu memulai misa. “Bismillah, dengan namaMu ya Bapa yang ada di surga…”
Pdt Fauzi, membaca Mazmur, kemudian menutup misa di Midan Tahrir (Medan Merdeka) dengan doa. Ribuan orang, Islam dan Kristen mengamini doa tersebut. Seorang wanita berjilbab ikut mengangkat tangan dan mengucapkan amin setiap doa dipanjatkan.
Sebenarnya, di luar Tahrir sekalipun kerukunan antarumat beragama di Mesir terjaga baik. Hampir tidak pernah ada bentrok antara umat Kristen dan Islam. Sejumlah bentrokan di bagian selatan Mesir lebih dipicu oleh soal tanah dan keluarga, bukan soal agama.
Memang ada beberapa kali bom di gereja. Seperti pada saat tahun baru lalu. Bom meledak seusai misa tahun baru di Gereja AL-Qeddesine (Gereja Dua Santo) Setidaknya 23 orang tewas dan sekitar 90 orang cedera dalam insiden itu.
“Tapi saya tak pernah yakin itu dilakukan oleh kelompok Islam,” kata Pdt Fauzi seperti dikutip Tempo. Pdt Fauzi kemudian menghampiri Syekh Salahuddin dari Al-Azhar dan menyalaminya. “Kami akan menjaga gereja, itu tanggung jawab kami,” kata Syekh Salahuddin.
Bukan hanya Fauzi yang mempercayai hal itu. Mikail Munir, seorang demonstran beragama Kristen, mengatakan bahwa yang menekan rakyat Mesir, Islam atau Kristen adalah pemerintah. Ini dibuktikan selama hampir dua minggu demonstrasi, ketika polisi menghilang entah ke mana, justru tak ada serangan terhadap gereja-gereja.”Kami, rakyat yang menjagannya bersama-sama,” ujar Mikail.
Umat Kristen di Mesir memang minoritas, hanya 10 persen dari 80 juta penduduk. Tapi, mereka adalah kelompok Kristen terbesar di Timur Tengah. Sekitar 95 persen umat Kristen di Mesir warga Gereja Ortodoks Komptik Aleksandria. Mereka punya paus sendiri, namanya Baba (Pope) Shenouda III, yang sudah 40 tahun menjabat. Agama ini ada di mesir sejak abad pertama Masehi, jauh sebelum Islam masuk enam abad kemudian. Keberadaan umat Krsiten amat mudah dikenali dengan tato di atas nadi. Seperti halnya Pdt Fauzi Khalil, punya tato salib di atas urat nadi tangan kanan.
Kelompok Islam garis keras seperti Ikhwanul Muslimin sekalipun, punya hubungan kuat dengan Gereja Koptik. Saat Hassan al-Banna, pendiri Al-Ikhwan, meninggal, satu-satunya pejabat tinggi negara yang mengantar jenazahnya adalah Makram Obeid, hakim agung beragama Kristen yang rajin membaca Al-Quran. Saat Natal Koptik, 7 Januari lalu, para pemimpin Al-Ikhwan mendatangi pemimpin Gereja Aleksandria. Ketika Ramadan, giliran para pendeta ikut berpuka puasa bersama mereka.
Kebersamaan dan rasa persaudaraan begitu terlihat. Ketika terjadi serangan bom tahun baru di gereja, jutaan warga Mesir memasang logo “Mesir untuk Semua” di foto profil Facebook mereka.
Bahkan, ketika unjuk rasa menentang Mubarak di Midan Tahrir , ratusan bendera dengan simbol bulan sabit dan salib berkibar, melambangkan persatuan Islam dan Kristen.
“Baju” yang berbeda tak memisahkan mereka. Bahkan ‘baju’ seolah dilepas. Mereka bersama berusaha mencapai tujuan mulia untuk negeri yang lebih baik. Baik Fauzi maupun Salahuddin mengatakan, apa yang mereka lakukan di Tahrir ini adalah atas pribadi. Lembaga yang menaungi mereka, Gereja Koptik dan Al-Azhar, memang tidak tegas mendukung demonstrasi di Tahrir, apalagi setelah Mubarak menyatakan akan mundur September mendatang.
Mungkin karena tak ada wakil dari gereja inilah, panitia demonstrasi membuat badan khusus umat Kristen. Untuk umat Kristen, koordinator demonstrasi menyediakan sayap khusus bernama Munazhim Aqbath (Koordinator Koptik) Merekalah yang mengoordinasi sembahyang bagi umat Kristen dan mendatangkan pendeta ke Tahrir.
Begitu juga di luar Minggu, kita bisa mendapati spanduk-spanduk yang menggugah rasa persatuan. “Lihat, kami semua bersatu,” kata novelis dan aktivis feinisme Nawal el-Saadawi, sambil menunjuk poster yang dibawa perempuan berjilbab besar berbunyi: “Muslim, Nasrani, kita semua satu.”
Mereka merasa perlu menegaskan persatuan itu, karena ada upaya membelokkan revolusi ini menjadi revolusi Islam. Pemerintah Mesir menuduh Ikhwanul Muslimin ada balik krisis politik ini. Adapun pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, mengatakan, demonstrasi di Mesir adalah revolusi Islam.
Tapi, semua yang hadir di Tahrir tahu suara yang mereka teriakkan tak mengenal agama. Juga pria yang patah kakinya dan sesenggukan setelah misa. “Perlawanan ini membuat kami semakin bersatu,” kata pria itu.
Di sekitar kami, orang sudah ramai menriakkan yel-yel persatuan. “Demi Injil, demi Al-Quran, Mubarak harus keluar.” Atau, “Ya Muhammad, ya Paulus, Mubarak tak boleh terus.”
Sejumlah salib dan Al-Quran juga diangkat bersama-sama dengan latar belakang bendera Mesir berwarna merah, putih dan hitam serta gambar elang di tengahnya tampak berkibar-kibar menghias langit Mesir. baharuddin s
Kamis, 24 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar