Minggu, 27 Maret 2011
Calon Presiden Iklan
Baharuddin Silaen Akhir-akhir ini ada pemandangan yang menggoda dilirik, begitu keluar dari rumah—ke mana mata memandang di situ ada potret. Gambar para calon legislatif, calon presiden, berbagai ukuran dan full colour. Ada yang ditempel di tembok, di mobil, di tiang listrik, dipaku di pohon serta direntangkan di tempat strategis supaya gampang dilihat. Hampir semua ruang publik, tidak terkecuali pohon, tiang listrik, pagar, gardu di tepi jalan tidak ada yang sisa dihias gambar-gambar caleg, capres, malah banyak yang tumpang tindih dengan iklan produk—rebutan kavling. Cobalah iseng-iseng perhatikan sepanjang jalan dan jangan lupa membaca isi iklan para kandidat tersebut, mungkin Anda segera bereaksi; setuju, geleng kepala, tertawa, atau mungkin kesal lantaran dibohongi, barangkali juga murka gara-gara pesan iklan politik yang tidak mendidik, menyesatkan? Perhatikan juga wajah para calon yang dipajang; ada yang tersenyum malu-malu, tersenyum sampai kelihatan gigi, ada sama sekali mimiknya kalem bangat dan ada pula yang pelit tersenyum dengan pandangan lurus ke depan. Kalau dari sudut penampilan bolehlah—rata-rata baik; memakai kemeja koko, peci, jas dan dasi. Tak ketinggalan gelar kesarjanaan dipajang dekat nama; Drs, Ir, SH, SE, MA, MSi, Dr. Pokoknya pasang tampanglah! Salahkah gambar-gambar yang bergelantungan di tepi jalan? Terus terang, tidak ada yang salah memajang potret kampanye di ruang publik, terkecuali yang melawan aturan main yang sudah ditetapkan. Semua potret tersebut punya misi yang sama, supaya dipilih. Agar publik mengingat wajah mereka saat pemilihan April mendatang. Makanya semua berupaya menonjolkan diri sambil mengumbar janji. Seakan-akan, inilah saatnya semua simpanan dikeluarkan. Open house. Memang begitulah kompetisi, berlomba untuk pemenang. Namanya juga iklan kampanye. Secara prinsip hampir tidak beda dengan iklan produk. Kalaupun ada perbedaan, tergantung apa yang diiklankan, kalau reklame tentang produk—konsumen supaya membelinya, kalau iklan politik—agar rakyat memilihnya. Mengenai isi pesan hampir mirip; merayu, membujuk, memberi nilai plus ditambah iming-iming. Formulanya semua mirip—berkisah tentang; kehebatan, keistimewan, keunggulan, keperkasaan, kemanjuran, pokoknya serba super; super baik, super peduli, super memihak kepada masyarakat miskin. Sayang lupa memberitahukan; kelemahan dan kekurangan masing-masing. Pada satu sisi, kelemahan dan kekurangan caleg, capres maupun partai politik adalah hal yang sangat manusiawi, bukan aib yang harus disembunyikan. Padahal, memberitahu sisi negatif (kelemahan) adalah ciri informasi yang adil, lengkap dan publik pun perlu tau kelemahan tersebut. Tapi hampir tidak ada yang sudi menorehkan hal itu dalam iklan kampanye politik. Justru pesan iklan yang dipilih; menjelekkan, menghina, melecehkan, meremehkan, menghujat, menyindir, semua yang “berbau tidak sedap” diumbar menyerang saingan politik. Seolah-olah, dengan melontarkan sisi negatif lawan politik akan merubah sikap masyarakat untuk berpaling kepadanya. Jangan salah, hasil penelitian yang dilakukan pakar komunikasi; McCullough, MacLachlan dan Mainpour (1982) berkaitan dengan perubahan dan penguatan sikap (reinforcement) akan lebih gampang merubah sikap orang apabila ia menaruh positif terhadap kemampuan (enforcement) seseorang ketimbang materi iklan yang heboh (great) Baik juga direnungkan pendapat ini, untuk menjaga jangan sampai masyarakat terjebak dalam kemilauan iklan politik. Soalnya, materi iklan sehebat apa pun bisa diciptakan—apalagi punya dana banyak—tapi kepribadian, kemampuan dan kepemimpinan seseorang tidak bisa direkayasa melalui kemasan iklan. Perlu waspada dan jeli terhadap rayuan iklan politik partai yang akhir-akhir ini kian gencar ditayangkan di media elektronik dan dimuat di media cetak. Perlu dipermaklumkan, tidak ada pemimpin (presiden) bangsa lahir dari iklan politik. Capres lahir dari pilihan rakyat yang hidup dari alam demokrasi yang menilai seseorang bukan karena gemerlapnya iklan kampanye, tapi penilaian berdasarkan kemampuan dan kelayakannya. Boleh-boleh saja, dalam iklan tokoh dicitrakan bagaikan malaikat, tetapi dalam image realitas belum tentu berhati mulia. Belum lagi pengalaman masa lalu yang buruk masih melekat, belum pupus dari ingatan orang banyak, bagaimanapun tidak bisa diingkari iklan yang seperti inilah menghasilkan petaka bagi yang bersangkutan. Kasus citra (image) yang menimbulkan bencana karena manipulasi realita pernah diteliti Bernstein (1985) dalam “Gronroos” (1990) Lalu, Bernstein menyarankan kepada yang getol bikin iklan kampanye, program pengembangan dan perbaikan citra harus didasarkan pada realitas. Nah, hati-hati dan cerdaslah menilai iklan politik. Iklan kampanye politik di televisi harus diakui punya daya tarik kuat, apalagi tema yang dipublikasikan masalah sosial, seperti kemiskinan—pesannya cepat merasuk dan cenderung orang langsung memihak kepada figur yang tampil di belakang iklan. Makanya, iklan-iklan politik berkibar di mana-mana serta berebut mendekatkan diri kepada warga miskin, karena dia tau kemelaratan cukup ampuh menggugah simpati orang lain. Jargon iklan pun sengaja dipilih yang bersentuhan dengan kemiskininan untuk mendulang rasa simpati publik, “atas nama orang miskin di bawah pemerintahan yang tidak peduli?” Bukan berarti iklan kampanye tidak berguna? Banyak manfaat iklan politik, paling tidak masyarakat diberikan informasi tentang partai, figur dan program yang dirancang. Bahkan diyakini, semakin sering iklan politik ditayangkan, makin tumbuh kepercayaan publik kepada isi pesan iklan. Lantaran berulang-ulang dipublikasikan, yang dulu dianggap salah, lama kelamaan menjadi kebenaran. Tujuan iklan supaya orang banyak; mengingat, setuju, simpati, mendukung dan kemudian memilihnya pada pemilihan mendatang. Cuma, jangan tekabur memilih yang berkilau dalam kemasan iklan. Ada hal yang harus diperhatikan; iklan politik yang tidak mempublikasikan informasi yang lengkap dan adil, baik sisi positif maupun negatif, sebaiknya perlu dipertimbangkan matang-matang sebelum mengambil keputusan. Selamat berdemokrasi! Penulis pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk UKI dan Fikom UMB Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar