Senin, 28 Maret 2011

Empati

Empati, suatu sikap humanis (nilai-nilai kemanusiaan) yang termasuk disenangi beberapa sarjana komunikasi saat proses komunikasi, termasuk pada tingkat komunikasi antarpribadi. Sebut misalnya, Yoseph DeVito yang menempatkan empati dalam tabel perspektif humanistis. Stephen W Littlejohn dan Karen A Maros, keduanya adalah profesor di Univercity of New Mexico termasuk di antara sarjana tersebut. Paparan kedua profesor ini dituangkan dalam buku “Theories of Human Communication.” Sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, 2009. Empati adalah suatu sikap yang dimiliki seseorang yang senantiasa berorientasi pada posisi orang lain. Hanya saja, memposisikan diri terhadap peranan orang lain bukanlah hal gampang. Soalnya, memahami orang lain atau kelompok yang ada di di luar kelompok kita dibutuhkan kerelaan berkorban yang terkait dengan status—pangkat, jabatan dan kekuasaan. Pada tahap berkorban seperti inilah kesulitan serta benturan kepentingan kerap muncul membayangi rasa empati seseorang. Biasanya yang tampil kepermukaan adalah sifat egoistis dan kemudian sifat ini berupaya menghalangi sikap empati menjadi sebatas simpati saja. Hanya sebatas ucapan, lips service. Aduh kasihan! Apalagi kalau status sosialnya jauh lebih tinggi daripada orang yang ada di sekitarnya—ada kesulitan menanggalkan status (pangkat, jabatan, kekuasaan) yang disandangnya. Jangankan melepaskan atribut sosial, melepas gelar yang disandang pun kadang kala susahnya minta ampun. Lucunya, marah-marah ketika gelarnya tidak dicantumkan di depan namanya. Padahal, tidak selalu gelar kesarjanaan harus dicantumkan di depan nama atau di belakang nama. Kecuali berkaitan dengan konteks keilmuan. Di Amerika misalnya, jarang orang mencantumkan gelarnya. Paling kalau dia profesor atau doktor, itu pun langka. Tapi ketika menjadi anggota arisan, ronda kampung, panitia pajongjong tugu, daftar lelang apa perlunya gelar dicantumkan? Membuka maupun melepas atribut bagi seseorang tidak ada kompromi, tapi malah kondisi seperti inilah membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih penting, hebat, unggul daripada orang lain. Anehnya, sifat seperti itu ternyata tidak diam dalam suatu wilayah tertertu, tapi juga merambah ke bagian lain. Contoh, agama sayalah yang paling baik, agama orang lain tidak ada apa-apanya, budaya kamilah yang paling hebat, budaya orang lain tidak becus, kelompok kamilah yang paling bagus, kelompok orang lain jelek, partai kamilah yang paling merakyat, partai orang lain hanya mementingkan golongannya. Apabila sifat serba “hebat” ini terus dilakoni dalam pergaulan akan terbentuk suatu perilaku yang dominan terhadap komunitas yang lebih kecil. Beriringan dengan itu, simbol dan lambang keperkasaan dari yang lebih dominan pun ikut heboh menghias ruang publik meskipun terasa dipaksakan. Simbol-simbol itu sekaligus bukti bahwa mereka berkuasa. Sebab, dari balik simbol yang dipamerkan ada pesan komunikasi yang kurang lebih “kami ada di daerah ini dan taatilah aturan kami.” Bukan itu saja, kadang simbol atau lambang tersebut membuat orang lain menjadi gamang dan takut—tidak merasa nyaman berada di wilayah itu. Pemaksaan lambang, simbol atau atribut di ruang umum adalah bentuk lain dari perampasan nilai kebersamaan yang seharusnya dilindungi dan dirawat bersama. Strategi komunikasi yang begini adalah wajah lain dari kesewewenangan yang dipicu nafsu semata. Menurut teori Thomas Hobbes, ahli filsafat dan ahli politik Inggris, manusia pada mulanya dikuasai nafsunya sehingga sifatnya mirip serigala (lupus) yang tak segan-segan memakan kawannya sendiri (homo homini lupus) Gambaran homo homini lupus masih sering terjadi di belahan dunia ini tidak terkecuali Indonesia. Banyak contoh yang dapat disaksikan dalam praktek kekuasaan yang didominasi kelompok besar dan berkuasa. Mulai dari kasus Bank Century, kasus Gayus Tambunan dan tragedi Koja, Tanjung Priok. Peristiwa di kawasan Makam Mbah Priuk, Koja, Jakarta Utara, salah satu contoh yang sangat releven dengan teori Thomas Hobbes. Adegan saling membantai, memangsa, memakan, membacok, membunuh kawannya sendiri. Padahal tak perlu terjadi tragedi itu, seandainya setiap orang mendahulukan sikap empati. Sebab, empati adalah salah satu sikap mulia dan kesatria yaitu memahami orang lain dengan cara masuk ke dalam diri orang itu. Empati dapat mencairkan komunikasi yang beku di antara dua pihak yang bertikai. Karena empati dapat merasakan langsung, terlibat langsung (action) ke dalam pribadi orang lain sehingga benar-benar dapat memahami orang tersebut. Bukan hanya memahami dari bagian luar atau kulitnya. Hanya melihat dari permukaan bisa tertipu seperti fata morgana, hanya banyangan semu—inti persoalan tidak jelas. Inilah nasehat Yesus yang sangat empati. “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.” (Lukas 6:31) baharuddin silaen

Tidak ada komentar: