Senin, 04 April 2011
CINTA UANG
Setelah rekaman penyadapan percakapan telepon pengusaha Anggodo diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi, segeralah dimaklumi, ternyata ada tangan mafia yang leluasa menggerayangi bilik-bilik pejabat di negeri ini dengan iming-iming duit miliaran rupiah. Serunya, nama-nama pejabat Polri dan Kejaksaan Agung yang diduga terkait persekongkolan disebut dalam rekaman. Hasil sadapan itu juga sekaligus membeberkan bagaimana mafia ini dengan gampang mengatur pejabat—seolah-olah republik ini ada dalam gemgaman mereka. Setelah rekaman itu diputar secara terbuka oleh Mahkamah Konstitusi, publik marah dan sekaligus prihatin menyaksikan mental para pejabat di negeri ini rupanya rapuh dan rentan terhadap uang—“rakus uang” dan “cinta uang.” Publik pun geram dan gelisah. Maklum, selama ini dibodohi dengan halus dan sistematis berkedok jabatan, kuasa dan pangkat di balik menara gading yang setril dari tipu muslihat. Kemarahan publik itu bermula dari rekayasa pembodohan yang dilakoni pejabat, lalu berubah bentuk menjadi kumpulan massa yang berhimpun dalam wadah “cicak versus buaya.” Sejumlah unjuk rasa marak di mana-mana, dari ibu kota sampai ke daerah mengalir di jalan raya—massa kompak menggugat mental pejabat yang gampang disuap oleh mafia yang punya duit. Lihatlah dukungan di Facebook untuk Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah sudah melampui angka satu juta. Ini salah satu bukti, publik sudah cerdas dan tidak sudi dikibuli sama pejabat yang serakah di negeri ini. Tapi, Amien Rais malah melontarkan komentar, jangan berlebihan mendewakan KPK, sebab KPK bukan malaikat. Betul juga! Yang jelas, dukungan itu tak boleh dianggap remeh. Ketika jalur menuju hukum ditutup oleh deretan birokrasi—keadilan dengan sendirinya akan mencari lorong-lorong yang bisa dilalui. Ibarat air yang tersumbat, akan mencari jalan lain sehingga bisa mengalir. Banyak cara dilakukan untuk menghadang hukum—mengutak-atik pasal hukum hanya untuk membenarkan pihak tertentu—membeberkan argumentasi normatif yang diramu kepintaran bresilat lidah, berikut sumpah serakah yang dipadukan dengan air mata. Yang mendengarkan pun terkesima, diam dan terpana—lalu ada yang mengamininya, tapi ada juga yang mencemoh “air mata buaya.” Sebenarnya bukan cerita baru lagi di negeri ini soal suap menyuap penguasa dan pejabat. Harus diakui, tidak sedikit yang ditangkap dan masuk bui, namun banyak juga licin bagaikan belut—susah ditangkap. Contoh, Edy Tamsil, entah di mana hingga saat ini, tidak ada yang tau rimbanya. Kelihatan aneh, sudah tidak ada lagi rasa malu, mengembat yang bukan miliknya dianggap hanya lantaran silap. Manusia seolah tidak ambil pusing lagi dengan dosa. Malah dosa dianggap konsep yang dibesar-besarkan manusia. Lantas konsep dosa pun digugat—biar maling asal kaya. Koruptor juga adalah manusia. Memang kisah pahit yang melilit para “pemburu” uang sudah sejak lama menghias sejarah kehidupan manusia. Itulah sebabnya Rasul Paulus melalui surat yang dikirimnya kepada Timoteus—menasehati agar jangan “cinta uang”—sebab bahaya besar akan menimpanya. “Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai duka.” (2 Timoteus 6:10) Menarik direnungkan ucapan Paulus, ketika orang heboh membicarakan kasus “cicak lawan buya.” Anggodo yang punya duit, para pejebat, penguasa dan penegak hukum yang menanggung malu dan berduka. Bukan saja yang bersangkutan tapi juga keturunan, keluarga hingga anak cucu ikut dihimpit derita. Memang begitulah resiko bagi yang cinta uang. Impolan di hepeng. Memalukan memang. Sisi lain yang menarik, meskipun berbagai penjelasan dipaparkan, tetap saja publik tidak menggubrisnya, soalnya sudah terlanjur tidak percaya terhadap keberadaan beberapa konstitusi yang disebut-sebut dalam rekaman yang disadap. Sangat wajar apabila publik susah mempercayainya. Boleh-boleh saja orang membatah, bahwa tidak benar menerima suap. Apalagi mana ada maling mengaku maling. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, segala upaya dikerahkan untuk meyakinkan pihak lain bahwa yang bersangkutan tidak pernah melakukannya. Yang jelas, publik kembali menyorot Polri. Kapolri pun menjawab, citra polisi sedang diuji publik. Apa yang dilakukan Anggodo Widjojo benar-benar telah melukai rasa keadilan masyarakat—satu sisi kita tidak berdaya menghadapinya. Apabila kasus ini dibiarkan berlarut-larut atau setengah hati mengungkapnya, itu sama dengan menyampaikan pesan buruk kepada masyarakat. Benar kata Paulus, akar segala kejahatan adalah cinta duit! Baharuddin silaen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar