Senin, 04 April 2011

TEROR ATAS NAMA ALLAH

Beragama berarti santun, sejuk, toleran, aman dan damai. Ini yang dipahami sejak lama. Tapi tidak bagi sebagian orang yang mengaku umat beragama. Atau setidaknya, ada makna yang luput dari isi yang diajarkan atau memang sengaja diingkari sehingga berubah menjadi sangar dan mengerikan. Malah tak jarang berubah mendadak menjadi sosok beringas dan berprasangka buruk terhadap pemeluk agama yang berbeda. Tak bersahabat dan berupaya mencari kesalahan lalu mengarak massa untuk meluluhlantakkan yang yang dianggap berbeda. Ironis dan konyol. Apakah ini yang dimaksud Samuel P Huntington, bahwa aspek agama yang adalah roh peradaban, tetapi agama pulahlah yang banyak berperan dalam konflik antarperadaban. Lalu, agama tidak hanya berfungsi sebagai wacana spiritual yang menghadirkan rasa aman dan damai, tetapi agama juga bisa meletupkan konflik dan pertikaian ketika diinterpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak umat atau kelompok agama. Agama adalah keyakinan terhadap yang transenden—yang melampaui segala sesuatu yang ada. Terhadap yang transeden tidak ada tawar-menawar—kecuali ‘ya‘dan ‘tidak’—selebihnya siap mati di jalan Allah? Sayang cara mati yang ditempuh adalah akibat pembelokan makna dari sifat religius yang damai oleh mereka yang menggap paling pintar dan menghafal habis dogma hasil penafsiran yang tak utuh dipahami. Belum lagi tokoh spiritual diposisikan sebagai “nabi” yang punya otoritas wahyu yang tak boleh dibantah oleh pengikutnya. Selalu benar dan tak boleh disanggah! Selain pola nalar yang keliru, campur-baur antara sentimen agama dan fanatisme golongan acap pemicu dendam kesumat terhadap umat yang berbeda. Anehnya, semua simbol yang dianggap berkaitan dengan agama tertentu juga disingkirkan dan dikafirkan? Bayangkan, “demokrasi” pun digugat. Ditolak habis-habisan! Dicerca dan disingkirkan jauh-jauh. Sebab, demokrasi disebutkan tidak cocok dalam peradaban Timur—demokrasi adalah perpanjangan tangan Barat. Terakhir, demokrasi adalah baju lain yang berisi ajaran Kristen? Lalu, demokrasi pun dituding memanjakan sifat hidup sekularisme. Demokrasi adalah alat pemerintah merangkul golongan minoritas untuk berkuasa di tengah kaum mayoritas. Kemudian, isu panas itu ditebar ke mana-mana, tak terkecuali ke akar rumput yang dianggap gampang tersulut akan kebencian yang tak ketulungan. Memang sekali waktu, menghadapi umat beragama susahnya minta ampun. Beringas, sadis, tak kelihatan sikap umat beragama. Soleh dan rajin meyebut nama Allah, tapi, galak terhadap manusia yang berada di depan pagar rumahnya. Karena agama dipahami sebagai keyakinan yang menyatu dengan jiwa, merasup dalam sanubari dan mengalir dalam darah yang bergelora. Siapa pun umat beragama, akan marah dan berupaya membela agamanya apabila dilecehkan orang lain. Sayang agama telah dirubah para pengikutnya menjadi suatu yang pradoks, menjadi kompensai menggiurkan, dihormati, dimanjakan, disanjung, dimaklumi dan selalu dihoramti istimewa. Kalau ingin aman sentoasa, yang lain pun harus tunduk pada rambu-rambu yang mereka kibarkan di suatu negara yang mayoritas pemeluk agama tersebut. Kalau memang itu yang terjadi, agama bukan lagi pilihan yang sangat pribadi, tapi menjadi alat kekuasaan untuk mencurigai keberadaan agama lain. Anehnya, kelompok keras agama tak pernah sepi sepanjang masa. Ingat misalnya penembakan etnis di California dan Illinois, 1999. Serangan terhadap keduataan Amerika di Afrika, 1998. Pemboman klinik abosrsi oleh seorang pastor di Albania dan Gerogia, 1997. Peledakan bom pada Olimpiade Atlanta. Penghancuran kompleks perumahan militer AS di Dhahran, Arab Saudi, 1996. Penghancuran bangunan federal di Oklahoma City, 1995. Peledakan WTC di New Yrok City, 2001.Pemboman di Bali, 2002. Pemboman beberapa gereja di malam Natal di Jakarta, 2000. Peledakan Hotel Mariott di Jakarta, 2003 dan 2008. Peristiwa ini memiliki keterkaitan dengan ekstrim keagamaan. Ini sebagai petunjuk, agama berpotensi memiliki kelompok keras, tidak terkecuali Islam, Kristen. Malah menurut Mark Juergensmeyer, yang sering mendorong terjadinya aksi-aksi terorisme adalah agama. Dalam sejarah tradisi-tradisi agama, mulai dari perang biblikal hingga Perang Salib dan aksi-aksi kemartiran, kekerasan menjadi suatu kenyataan yang samar-samar. Ia menjadikan agama kian gelap, simbol-simbol yang lebih misterius. Boleh jadi, kebencian terhadap agama lain akibat semangat keagamaan berlebihan yang berbelok ke arah penghasutan sebab menganggap agama orang lain acaman, sehingga perlu segera dienyahkan. Sikap menyalahkan agama orang lain dimiliki semua agama yang pada mulanya mereka peroleh dari tokoh spiritual yang dikultuskan sebagai wakil Tuhan. Bibit kebencian terhadap agama lain tumbuh ketika mereka belajar agama dari guru-guru yang menafsirkan salah ayat-ayat kitab suci. Apalagi ayat itu dianggap merendahkan kesucian agama tertentu, maka berbagai hal akan diupayakan menentang hal itu serta menyatakan sebagai musuh dan harus dilawan. “Kafir,” kata mereka. Teror atas agama adalah contoh di mana ajaran agama dimanipulasi oleh pemuka agama untuk tujuan tertentu yang diyakini sebagai penebusan dosa. Otoritas kebenaran dimanipulasi untuk melegitimasi rasa permusuhan terhadap orang yang berbeda agama. Bukan hal baru, pembunuhan dilakukan oleh orang saleh dan taat beragama, namun tidak merasa bersalah ketika ia mempropokasi kelompoknya melakukan kekerasan terhadap umat yang berbeda agama. Sebab itu, agama jangan lagi berjuang sendiri-sendiri, namun saling terkait dan bahkan harus saling mendukung, baik dalam dialog menuju keuniversalan kebenaan, keadilan, kasih serta menolak semua bentuk kekerasan. Bahkan sangat mulia apabila para pemuka agama, cendikiwan dan teolog ikhlas memperbaiki serta meluruskan ajaran agama pada sumber autentik dan akurat untuk suatu niat mewujudkan rekonsiliasi perdamaian serta menghalau cara menyuburkan permusuhan maupun perang. baharuddin

Tidak ada komentar: