Senin, 04 April 2011

MENULIS DI SURAT KABAR BEDA MENULIS SURAT

“Menulis di media massa cetak seperti surat kabar, tidak sama dengan menulis surat, undangan, pidato, kotbah dan warta gereja. Ada rambu-rambu yang perlu diketahui berdasarkan kaidah-kaidah jurnalistik yang berlaku di kalangan pers,” kata Baharuddin Silaen saat menyampaikan materi penulisan di HKBP Tangerang Kota. Lokakarya penulisan renungan Kristen ini berlangsung sehari diikuti 25 peserta yang diselenggarakan HKBP Tangerang Kota baru-baru ini. Pembicara: Pdt Dr Ladestam F Sinaga, Pendeta Resort HKBP Tangerang Kota, Pdt Drs Baharuddin Silaen MSi, Redaktur Eksekutif Suara HKBP dan Drs Lambas Goeltom MSi, Pemimpin Redaksi Suara HKBP. Topik yang disajikan Pdt Ladestam F Sinaga, “Memahami Firman Allah yang Tertulis.” Ia menguraikan metode membaca Alkitab, penerjemahan, strategi membaca, membaca kreatif, menghafal nas, menafsir dan merumuskan tujuan dari nas Alkitab. Membaca Alkitab yang kreatif menurut Ladestam, tema tiap buku harus dibaca, judul kecil pada setiap paragrap dan membaca nas pararel. Buku catan, pulpen, penggaris stabilo perlu disiapkan untuk memberi tanda apabila diperlukan. Menulis renungan yang baik dan praktis, kata Ladestam, harus dimulai dengan kemampuan membaca nas Alkitab secara benar. Membaca Alkitab bukanlah satu cabang ilmu teologi, tetapi jika dilihat dari sudut praktisnya metode membaca Alkitab sangat perlu bagi setiap umat Kristen agar ia dapat bergaul akrab dengan firman Allah. Baharuddin Silaen, pada kesempatan itu, menajikan materi; Bahasa Jurnalistik, Teknik Menulis Berita dan Menulis Renungan. Pada sesi bahasa jurnalsitik, Baharuddin menjelaskan beberapa ciri bahasa jurnalistik yaitu: lugas, singkat, padat, sederhana, lancar, menarik dan netral. Selain itu, ia juga menguraikan ekonomi kata, kata mubazir, kerancuan, kata-kata penat, penulisan huruf dan ejaan. Juga contoh kata rancu yang sering ditemukan dalam berita di surat kabar, seperti: “untuk sementara waktu, “sementara orang,” “selain daripada itu,” “dan lain sebagainya,” “demi untuk,” “agar supaya.” Kata mubazir, kata yang tidak perlu dalam suatu kalimat. Kata mubazir kata yang berlebih-lebihan. Masih sering dijumpai kata mubazir dalam penulisan berita di mass media cetak yaitu: adalah, telah, akan, sedang, untuk dan pemakain kata yang tidak benar. Dijelaskan juga mengenai penulisan gelar kesarjanaan yang benar dan berlaku umum di seluruh Indonesia, sesuai “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (1972) Penulisan gelar doktor (S3) yang benar, “Dr” bukan “DR.” Gelar dokter (S1) ditulis “dr” bukan “Dr.” Pada sesi menulis berita yang disampaikan Baharuddin Silaen, yang juga dosen bahasa jurnalistik di Fisipol UKI, menulis berita di mass media cetak seperti surat kabar, majalah dan tabloid ada pola yang harus diperhatikan. Formula Rudyard Kipling yang cukup popular , 5W+1H (What, when, where, who, why dan how) “Inilah panduan wartawan ketika mengumpulkan fakta di lapangan,” kata Baharuddin. Sedangkan pola penulisan berita lazim disebut “piramida terbalik.” Pola ini membantu wartawan menulis bahan berita agar dapat memilah mana fakta paling penting serta fakta yang kurang penting. Biasanya, fakta yang paling penting dan menarik ditulis di bagian atas atau sering disebut teras (lead/intro) Pada bagian tubuh berita (body) adalah penjelasan dari unsur 5W+1H. Bagian paling bawah, ending ditulis fakta yang kurang penting. Untuk menulis renungan di media massa cetak, ada beberapa kiat dan model disampaiakn Baharuddin Silaen. Dikatakan, agar renungan menarik sajikanlah dengan apa adanya (lugas) contoh (ilustrasi) aktual dan dikenal khalayak, jangan mengambang atau di awang-awang (hanya mengulas kenikmatan kehidupan di sorga) relevan dengan kehidupan. Dalam renungan harus ada pesan yang disampaikan kepada pembaca. Misalnya, menghibur, mendidik, meyakinkan, mengingatkan (menegur) dan menghilangkan kekhawatiran. Menulis renungan jangan terjebak ke dalam ayat (firman Tuhan) Menulis renungan bukan membahas ayat atau menafsir firman, karena itu jangan terlalu banyak mengutip ayat-ayat. Cukup satu atau dua ayat dalam satu renungan. Ayat biasanya dicantumkan di akhir renungan atau di awal tulisan. “Jangan menggurui dan mendikte dalam menulis renungan,” kata Baharuddin, dosen Fikom Universitas Mercu Buana, Jakarta ini. . Lokakarya penulisan renungan Kristen ini, Lambas Goeltom diundang sebagai pembicara yang khusus membahas fotojurnalistik. Kepada peserta dia menjelaskan sejumlah pedoman yang harus dipahami seorang fotografer. “Fotojurnalistik dan foto biasa (album) sangat berbeda. Fotojurnalistik, foto yang biasanya digunakan untuk pendukung suatu peristiwa (berita)yang akan dimuat dalam surat kabar atau majalah. Karena itu, harus ada kaitan foto dengan peristiwa yang dimuat di media cetak. Beberapa contoh foto dengan sudut pengambilan disajikan melalui in focus kepada peserta. Lambas, menguraikan macam-macam komposisi pemotretan: komposisi grafis, satu obyek, dua obyek, komposisi simetris, klasik dan tiga dimensi. Lambas Goeltom juga menyarankan, ketika hendak memotret, seorang fotografer sudah harus memiliki konsep atau rencana foto yang akan dihasilkan. Paling tidak ada bayangan dalam benak, foto yang diinginkan seperti apa. Dari pemikiran itulah kemudian menentukan posisi yang tepat. Sayang, kita tidak cukup waktu untuk praktek memotret. “Biasanya, dalam pelatihan selalu diberikan kesempatan kepada peserta memotret suatu obyek, kemudian hasilnya diperiksa dan dijelaskan kekurangan dan kelemahannya,”ujar Lambas. Lokakarya penulisan renungan ini diselenggarakan HKBP Tangerang Kota berkaitan dengan rencana gereja ini akan menerbitkan buku renungan populer. Sebelum menerbitkan renungan, sumber daya manusia dipersiapkan agar mereka mengerti kaidah-kaidah penulisan di media cetak. “Bagaimana renungan supaya menarik dan dibaca, ini juga sangat penting. Jangan hanya sekali terbit langsung mati,” kata Ladestam pada penutupan lokakarya. (bas)

Tidak ada komentar: