Senin, 04 April 2011

Demokrasi Paman Sam Inspirasi Dunia

Pada musim gugur, 1963, di negeri Paman Sam (Amerika Serikat) Martin Luther King Jr merajut mimpi. Mimpi itu dihamparkan lewat pidato yang amat menggetarkan seantero Amerika. Pidato yang sangat berani dibungkus pesan tentang masa depan warga kulit hitam di AS. “I have a Dream.” Martin Luther King Jr, bermimpi melihat anak-anaknya suatu hari nanti hidup di suatu negara yang mampu menilai mereka tidak dari warna kulit, melainkan dari kepribadian dan watak. Ia juga bermimpi orang hitam pergi ke kolam renang, ke toilet umum dan naik bus tanpa harus duduk di kursi paling belakang. Untuk mimpi ini, King pun rela membayarnya dengan nyawa demi suatu harapan. Pejuang persamaan hak bagi kulit berwarna ini dibunuh lantaran mimpinya cukup mengganggu kenyamanan kelompok masyarakat rasis. Setelah 45 tahun, mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan. Adalah Barack Obama yang mewujudkannya dengan pidato yang menggetarkan, bergerak dengan semangat perubahan. Ia sosok yang dikagumi, bukan hanya oleh negerinya sendiri, tetapi di belahan dunia.” Tidak ada yang tak mungkin terjadi di Amerika ini,” ucap Obama yang pernah tinggal di Menteng Dalam, Jakarta ini. Barack Obama dari Partai Demokrasi mengukir sejarah. Ia terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44 dengan mengusung isu perubahan—“Change We Believe In.” Pemilihan yang cantik, melalui vote yang dikemas rapi sehingga Amerika berhasil memperagakan sistem demokrasi yang pantas ditiru. Tidak ada huru-hara menghadang saat Obama dinyatakan menang. Hebatnya, John McCain yang kalah dengan ikhlas mengakui kekalahannya dan menghormati hasil pemilihan tanpa melakukan protes, apalagi meminta pemilihan diulang kembali. Tidak lama berselang, John McCain tampil di hadapan pendukungnya dan meminta supaya mendukung Barack Obama memimpin AS. Salut! Bagaimanapun, Amerika sudah menyuguhkan contoh berdemokrasi yang berpihak kepada rakyat dan sekaligus sistem demokrasi di negeri Paman Sam ini mengilhami dunia, termasuk Indonesia. Kendatipun Amerika negara yang dihuni penduduk beragam; multiras, multietnis, multiagama dan multibudaya namun pemilihan presiden berlangsung santun dan elegan. Prinsip siap kalah dan siap menang patut ditiru. Sikap seperti itulah yang mendesak harus dilakoni para elite politik di Indonesia, apalagi dalam pemilihan kepala daerah di negeri ini, tiada pemilihan tanpa kericuhan. Brutal dan anarkis. Malah, ada yang ngotot membawa perkara ke Mahkamah Konstitusi karena kalah suara. Memang pengalaman bangsa ini berdemokrasi belum banyak dibanding Amerika Serikat, tetapi janganlah itu dijadikan alasan untuk terus berkubang dalam sifat arogan dan picik. Sangat memalukan, setiap penghitungan suara Pilkada selalu berakhir ricuh. Bukan hanya saling lempar batu, tapi fasilitas pun ikut dibakar dan dihancurkan. Paling konyol, massa masing-masing pendukung mendadak menjadi kerumunan yang kalap dan hilang kendali (lawless crowds) Kadar intelektual melorot ke titik nol, lalu bertingkah seperti gembel. Tidak jelas apa yang hendak diperjuangkan, selebihnya pola pikir yang ngaur tak keruan. Thomas Hobbes, filsuf Inggris, yang terkenal dengan gagasan bidang sosial politik (Leviathan) sudah mengingatkan, manusia yang tidak mempergunakan nalar atau pemikiran dengan tertib akan terperangkap ke dalam sifat bermusuhan. Karena dalam keadaan alamiah, kehidupan manusia didasarkan pada keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu saling berkelahi. Manusia, kata Hobbes, pada dasarnya hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, segala tindakan manusia mengarah pada pemupukan kekuasaan dan hak milik (homo homini lupus) Supaya terhindar dari sifat suka berkelahi (ricuh-pen)harus ada pemerintah yang berwiba menengahinya. Sesungguhnya, bukan hanya pada tingkat Pilkada gelagat yang kurang bersahabat dapat disaksikan. Pada pemilihan presiden pun ketidaksiapan kalah dan menang masih dipertontonkan di negeri ini. Gara-gara kalah jadi presiden, hubungan silaturahmi pun mendadak kurang “mesra,” tidak saling tegur sapa—tidak mau ketemu. Lucunya lagi, berlanjut ke arah saling menjegal dan menjelekkan bahkan sering mengungkit-ungkit kelemahan lawan yang selanjutnya dijadikan isu pelaris kampanye politik 2009. Sungguh naif dan membuat geleng-geleng kepala menyaksikan cara kita berdemokrasi. Apakah ini sebagai tanda, pemahaman kita tentang demokrasi masih sebatas wacana? Belum mampu menyentuh hakekat demokrasi yang sejati—hanya menempal di atas kulit—belum menyatu dengan siprit nasionalisme yang selama ini didengung-dengungkan. Sikap gemar menjelekan dan menjegal dari para elite politik khusus bagi yang bermimpi jadi presiden republik ini juga dipertontonkan dalam iklan di media elektronik. Hampir semua Capres yang ditayangan di iklan itu menyalib di wilayah kelemahan lawan. Berlomba-lomba menyebar pesona kepada petani, kaum miskin, nelayan sereta saling mendahului menarik simpati. Tidak soal biaya menggarap dan tayang iklan itu miliaran rupiah. Dari segi kemasan dan materi, iklan itu cukup berhasil menggugah, maklumlah mengatasnamakan orang miskin, kaum melarat dan terpinggirkan. Pokok semua berpihak pada rakyat miskin. Mudah-mudahan bukan hanya dalam iklan kampanye Capres berpihak kepada rakyat kecil. Tidak salah apalagi malu, rakyat Indonesia belajar dari Amerika soal sistem demokrasi. Keberhasilan warga Amerika Serikat merawat kebhinekaan serta menghormati demokrasi bisa menjadi inspirasi bagi warga dunia, tidak terkecuali Indonesia. Negeri Paman Sam ini sudah membuktikan prinsip utama sistem demokrasi tergantung kepercayaan rakyat yang bebas mengutarakan pendapat. Mereka tidak lagi melihat warna kulit, minoritas atau mayoritas tapi semua dinilai dari kemampuan dan kelayakan berdasarkan logika obyektif bukan melalui kerangka berpikir yang subyektif—lantaran satu agama, satu suku, kerabat dan konco, misalnya. Amerika menunjukkan kepada warga AS dan dunia suatu kampanye pemilihan presiden yang menarik, hasilnya pun mencengangkan dunia. Barack Obama keturunan Afrika-Amerika, ayah kandung dari Kenya itu menjadi orang nomor satu di Amerika—baru pertama kali dalam sejarah kepresidenan AS sejak merdeka 232 tahun silam, presiden kulit hitam masuk ke Gedung Putih. Luar biasa! Kemenangannya pun disambut hangat dengan damai. Lantas, sistem demokrasi di negara Paman Sam ini menjadi inspirasi bagi warga dunia terutama Indonesia. baharuddin silaen pengajar di fisipol uki dan fikom umb jakarat

Tidak ada komentar: