Senin, 04 April 2011

Yesus Bagi yang Saleh dan Sekuler

John Shelby Spong penulis buku “Yesus bagi Orang Non Religius” bersikukuh menggugat doktrin yang diimani orang saleh dalam kurun waktu yang cukup panjang. Buktinya, ia tidak meragukan Yesus sebagai Tuhan, tapi ia tidak ingin menyembah suatu Allah yang tidak dapat ditatang atau setia pada suatu tradisi yang mengharuskan mengunci rapat-rapat pikiran. Yesus sebagai seorang wisatawan sorgawi yang datang dari Allah di balik langit melalui suatu kelahiran ajaib dan yang ketika karyanya sudah selesai kembali kepada Allah itu melalui suatu perjalanan kosmik. Bagi John Shelby Spong penulis bestseller “The Sins of Scripture” ini, kisah ajaib itu sesuatu yang secara harfiah tidak masuk akal, tetapi juga sedikit lebih dari uraian teologis yang berbelit-belit dan sukar dipahami. “Mereka tidak mengerti bahwa mereka sebetulnya telah mengubur Yesus di dalam peti dan suatu dunia lain, suatu waktu lain dan suatu tempat lain,” papar Spong. Pada ulasan lain ia mengimbuhkan argumen yang radikal sekitar kelahiran Yesus. Tidak ada bintang di atas Betlehem. Tempat lahir Yesus di Betlehemn bukan sejarah. Nabi Mikha tidak meramalkannya. Sebuah bintang tidak memberitahukannya. Para Majus tidak mengikuti bintang itu. Bintang itu tidak membawa mereka ke istana raja atau ke rumah Betlehem, tempat yang dikatakan oleh tradisi sebagai tempat kelahiran bayi Kristus. Para Majus tidak mempersembahkan emas, mur dan kemenyan. “Semua rincian ini adalah bagian dari sebuah mitologi yang sedang tumbuh yang harus dipisahkan dari Yesus jika kita ingin melihatnya sebagaimana dia adanya.” Tempat kelahiran Betlehem adalah suatu bagian lain dari suatu tradisi tafsir mesianik yang sedang berkembang. Jika sejarah adalah agenda utama kita, pada perayaan Natal kita harus bernyanyi “Hai kota mungil Nazaret” sebab kota inilah yang kuat kemungkinan sebagai tempat di mana orang yang dikenal sebagai Yesus dari Nazaret dilahirkan. “Ada apa dengan Yesus ini, sehingga membuat orang merasa perlu menyelimuti kelahirannya dengan asal-usulnya dari Betlehem dan dengan tanda-tanda dan keajaiban-keajaiban?” (hal. 28) Buku yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Umum ini pun, berupaya membeberkan kisah orang tua Yesus dari sudut pandang Matius, Markus, Lukas dan sumber tertulis yang dinamakan Q (Jerman Quelle—sumber) “Bukankah ia ini anak tukang kayu. Bukankah ibunya bernama Maria?” (Matius 13:55) Bagi Spong ayat ini rupanya menggugah, kenapa musti melibatkan Maria? Apakah nama itu sekedar melengkapi atau mempertanyakan siapakah sesungguhnya Maria? “Hanya dari penulisan ulang oleh Matius atas perikop Markus ini muncul tradisi Yusuf sebagai seorang tukang kayu. Matius melicinkan teks Markus sehingga teks ini selaras dengan perikop tentang kelahiran ajaib Yesus yang baru ia masukkan ke dalam injilnya.” “Saya tidak percaya bahwa orang bernama Yusuf ini, yang menjadi ayah insani yang melindungi Yesus, pernah hidup. Teks-teks yang kita teliti di atas mendukung pernyataan saya ini. Yusuf dari awal sampai akhir adalah sosok mitologis ciptaan murni penulis yang kita sebut Markus.” (hal. 40) “Saya tidak berpikir ada orang yang mengetahui siapa ayah Yesus, termasuk para penulis Perjanjian Baru. Markus tidak pernah mengatakannya. Matius dan Lukas mengatakan bahwa Roh Kudus adalah ayah Yesus sebenarnya. Injil Yohanes, yang sering disebut Injil Keempat, menyingkirkan kisah kelahiran ajaib Yesus, tetapi merujuk pada Yesus sebabagai anak Yusuf pada dua kesempatan (Yohanes 1:45; 6:42)” Menurut penulis buku yang aslinya “Jesus for the Non-Religions” ini, alasan mengapa Yusuf tetap menjadi sosok tidak jelas sepanjang sejarah Kristen, karena ia memang merupakan karakter sastrawi sejak dari awalnya, diciptakan dari mitologi interpretatif yang berkembang. Memang, Spong tidak serta-merta menerima mitos interpretatif yang menyelimuti kehidupan Yesus dari sisi pemahaman tradisionil. “Namun, kendatipun telah mengatakan itu, saya tetap seorang Kristen yang setia. Saya masih meyakini kebenaran yang ditemukan dalam realitas asasi yang saya namakan Allah dan saya masih melihat di dalam Yesus keallahan dan kemanusiaan menetap sepenuh-penuhnya.” (hal. 84) Terus terang, banyak informasi dijumpai saat membaca buku ini, bahkan membuat yang saleh akan geleng-geleng kepala dengan paparan John Shelby Spong yang amat berani. Soalnya, penulis yang juga dosen tamu di berbagai universitas di Amerika Utara ini, hendak membersihkan potret Yesus dari batas-batas agama yang dipahami secara tradisionil. Buku ini bisa dijadikan refrensi perbandingan serta pantas dibaca para teolog, mahasiswa dan pendeta yang melayani di abad 21 ini. (bas)

Tidak ada komentar: