Senin, 04 April 2011

RAKYAT

Siapakah rakyat? Rakyat adalah sebutan lain dari kumpulan orang yang kurang beruntung, miskin dan tak berdaya? Namun jangan silap, julukan rakyat begitu asyik dan menabjukkan, sehingga mampu menggetarkan rasa solideritas. Ketika banyak orang berbicara ketidakadilan, kesewenangan serta kekuasaan—di sana nama rakyat sering disinggung—digembor-gemborkan sambil sesekali diangkat tinggi-tinggi yang memang dipermaklumkan bisa meraup popularitas. Decak kagum pun riuh berhamburan yang dialamatkan kepada yang peduli terhadap rakyat yang senasib dengan orang miskin. Memang, sejak zaman dahulu kala, rakyat adalah topik yang asyik dibicarakan, kedatipun kerap dimanipulasi, yang selebihnya dijadikan tameng dan terompet orang yang rakus kedudukan. Dari zaman sebelum merdeka, zaman orde lama, orde baru, hingga zaman reformasi, rakyat tetap menggiurkan menjadi komoditas orang-orang tertentu. Para sosiolog pun berlomba mengulasnya, seperti Charles Horton Cooley (primary group) dan Ferdinad Tonnies (gemeinshcaft) atau istilah lain community sentiment (sepenanggungan, seperasaan dan saling memerlukan) Kalau saya ditanya, siapakah rakyat? Rakyat adalah kumpulan orang yang terbelit dalam berbagai kemelut sosial. Rakyat adalah orang yang pas-pasan dalam banyak hal. Mereka adalah yang tidak leluasa menikmati arti kemerdekaan. Wajah mereka setiap hari dapat disaksikan dalam gerbong kereta api yang berjejal-jejal dan campur aduk dengan pedagang sayur, rombengan, kambing, pengamen, asongan dan penjual ikan asin. Kalau saya ditanya siapakah rakyat? Rakyat adalah yang hidup di bentaran kali, di kolong jembatan, di gang sempit berlumpur, di pinggir rel kereta api, di bawah jembatan layang yang campur aduk dengan gelandangan, pengemis, waria dan pelacur. Wajah mereka sering terlihat dalam bis yang sarat penumpang, yang nekad bergelantungan di mulut pintu bis. Potret mereka juga tidak jauh dari lumpur Lapindo, yang masih terlunta-lunta di negeri sendiri. Lumpur itu begitu luar biasa menghempaskan serta memojokkan mereka menjadi rakyat yang mendapat siraman bahagia di atas kertas bermetrai. Entah kapan kebahagian itu dikabulkan—mereka pun tidak tau—maklum, mereka hanya sebatas kumpulan angka-angka yang menyandang gelar rakyat yang punya nasib yang remang-remang. Rakyat—kalaupun mereka bekerja upah yang diterima rata-rata di bawah upah minimum. Bahkan ketika tertangkap mencuri cocoa dan mencuri semangka dan pisang nyaris tidak ada yang berminat membela. Hukum bagi rakyat seperti mereka berbanding lurus dengan perbuatan. Mereka benar-benar rakyat yang hanya pasrah, yang tidak pintar mencari dalil hukum untuk beradu argumen. Mereka hanya punya perut yang lapar dan selebihnya sisa semangat hidup yang terus bergelora. Itulah rakyat. Tapi jangan keliru, suatu saat, rakyat adalah pangsa pasar yang menggiurkan bagi mereka yang ingin menjadi pemenang dalam pemilihan presiden, gubernur, bupati, walikota, camat dan lurah. Rakyat disanjung—rakyat didatangi—rakyat disulap jadi tontonan bergengsi melalui reklame yang meriah. Setelah itu rakyat tetap rakyat, tidak ada berubah—tetap meratap—sambil bermimpi menggapai cita-cita agar kelak anaknya bisa lulus ujian nasional dan masuk ke perguruan tinggi. Itu pun hanya mimpi! Lantas rakyat pun dijadikan “bisnis” yang sangat menjajikan. Dikemas menjadi sederet angka-angka, lalu dihitung per kepala, dimasukan dalam rumusan statistik lengkap dengan tabel/kurva dan selanjutnya diformulasi dalam sensus atau cacah jiwa. Ya, hanya sebatas itu, “angka-angka jitu” yang diharapkan mendatangkan rezeki, jabatan dan kuasa. Tak heran berbagai pihak berlomba mencatut nama rakyat. Mengatasnamakan rakyat dan mengatasnamakan orang miskin. Di antaranya, ada yang berteriak—kami didukung rakyat? Suara kami suara rakyat? Kendatipun tidak jelas—rakyat yang mana yang dimaksud? Rakyat yang mana yang mendukung? Anehnya, tak ada rasa malu mengobral nama rakyat demi kedudukan dan upah yang bisa membeli villa, rumah mewah di real estate yang berkelas lengkap dengan mobil Jaguar di garasi. Lalu, apakah arti suatu kesetiakawanan sosial? Benarkah masih ada kesetiakawanan di negeri ini? Kesetiakawanan yang kita kibarkan di langit biru Indonesia—jangan-jangan sudah lapuk dan keropos dimakan rayap sebab hanya sedikit orang yang peduli merawatnya. Mungkin juga, sudah terlalu lama kita terlena dan terbuai dengan sebutan “negeri yang ramah-tamah, beradab dan bermartabat.” Kemudian dengan rasa bangga kita menepuk dada sambil mebusungkan dada dan memekik “ini dadaku?” Benarkah kita bangsa yang ramah-tamah? Benarkah kita beradab? Benarkah kita bermatabat? Kalau benar, bukankah aksi dan tindakan menang sendiri, menghancurkan milik orang lain, main hakim sendiri, membakar, merusak dan menutup rumah ibadah dengan alasan izin—bukankah ini tergolong tidak beradab dan bermartabat? Kenapa kita begitu cepat berubah, berseteru serta tidak ramah-tamah terhadap sesuatu yang berbeda dengan kita? Ini renungan menarik buat anak bangsa dan simaklah nasehat Rasul Paulus ini. “Jagalah supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” (Ibrani 12: 15) baharuddin s

Tidak ada komentar: