Senin, 04 April 2011

OH, MALAYSIA

Belakangan ini kebencian warga Indonesia terhadap negara jiran Malaysia terus memanas. Pasalnya, mereka tidak terima sikap Malaysia yang mencaplok karya anak bangsa, bahkan memanfaatkan produk budaya Indonesia demi kepentingan parawisata. Gara-gara ulah itu, caci maki pun berhamburan yang diikuti pembakaran bedera Malaysia. Luapan kekecewaan tidak berhenti sampai di situ, tapi masih terus berlanjut hingga merazia warga Malaysia. Dapat dimaklumi, sikap Malaysia mungkin mengecewakan sebagian masyarakat Indonesia. Ulah negara tetangga ini sudah tidak ketulungan, menzalimi produk budaya Indonesia, termasuk “menyatroni” batik, lagu “Rasa Sayang,” reog Ponorogo dan tari Pendet dari Bali. Tetapi, kuranglah tepat apabila rasa jengkel itu dilampiaskan dengan melakukan razia tehadap warga Malaysia. Apalagi kejadian itu tidak lepas dari keteledoran kita selama ini. Maklum, kita tidak pernah serius melindungi seni budaya bangsa. Kita terlalu santai, seolah-olah tidak akan pernah terjadi apa-apa. Begitu ada yang mengklaim produk budaya kita hasil karya Malaysia, barulah kita kalang kabut dan saling menyalahkan. Baik direnungkan, aksi yang dilakukan seperti Benteng Demokrasi Rakyat di Jakarta, merazia warga Malaysia hanya memperparah hubungan Indonesia dengan Malaysia. Dampaknya, ketertiban umum terganggu bahkan bangsa ini akan dituding kurang beradab. Bangsa yang terkenal ramah dan beradab ini boleh jadi mendadak kurang populer di mata dunia, lantaran menyelesaikan persolan terkesan berlebihan (overacting) Sebab itu, pemerintah harus bersikap tegas terhadap kelompok yang bertopeng nasionalisme tapi justru keluar dari koridor peraturan yang berlaku. Razia jelas melanggar ketertiban, soalnya warga negara Malaysia yang tinggal di Indonesia dilindungi oleh hukum. Mereka datang ke negeri ini tentu seizin pemerintah Indonesia. Tidak boleh tidak, keselamatan mereka pun harus dijamin pemerintah. Bayangkan, kalau terjadi aksi balas dendam terhadap pekerja Indonesia di Malaysia. Harap diingat, ada 1,8 juta tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri itu. Apakah mereka tidak cemas jika warga Malaysia membalasnya dengan perlakuan serupa? Sangat disayangkan, aksi yang tidak pantas terus-terusan kita pamerkan kepada dunia setiap menyelesaikan masalah. Bukan hanya Benteng Demokrasi Rakyat yang demo, mahasiswa pun tidak mau ketinggalan. Lihat saja misalnya, demontrasi yang dilakukan kelompok mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Mereka meminta mahasiswa Malaysia keluar dari kampus. Jangan dianggap aksi itu tidak berbahaya. Dunia pendidikan akan terkena imbas, mahasiswa asing jadi takut kuliah di negeri ini. Begitu pula ekses lain akan terasa pada dunia parawisata. Terus terang, kejadian ini menjadi preseden buruk bagi dunia pariwisata yang tengah dibenahi pemerintah saat ini. Parawisata kita yang sempat ditinggalkan wisata asing, sedang dilakukan upaya-upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dunia setelah bangsa ini beberapa kali dirundung tragedi yang mengerikan termasuk bom Juli di Hotel Marriott, Jakarta. Banyak cara yang santun dan beradab bisa dilakukan terhadap Malaysia yang mengaku produk seni budaya kita milik mereka. Tidak musti merazia, masih tersedia jalur lain yang bisa ditempuh. Jangan dianggap menolak razia terhadap warga Malaysia tidak nasinalistik. Bukan pula, kita rela produk budaya kita “diembat” pihak lain. Kita memang kecewa, tapi rasa kecewa itu bisa disalurkan dengan berbagai upaya seperti merawat dan melindungi seni budaya Indonesia. Bahkan untuk menyelesaikan sengketa budaya sudah ada wadah yaitu Eminent Person Group, dibentuk atas persetujuan Indonesia dan Malaysia. Tentulah sikap pemerintah memperjuangkan karya budaya seni bangsa melalui forum maupun lembaga internasional sangat penting, sehingga karya budaya tradisional mendapat perlindungan hak cipta. Hal ini sekaligus mencegah negara atau pihak lain tidak sewenang-wenang memanfaatkannya demi kepentingan mereka. Tidak musti merazia bukan? bas

Tidak ada komentar: