Senin, 04 April 2011

OBAMA DI KAIRO

Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama mengajak warga Timur Tengah serta dunia Islam bersama-sama membuka babak hubungan baru. Ajakan itu ia lontarkan di depan sekitar 3000 hadirin yang memadati Auditorium Universitas Kairo, Mesir belum lama ini. Aplaus berkali-kali membahana tatkala Obama empat kali menyetir Al-Quran dalam pidato yang dibuka dengan sapaan assalamualaikum. Sekitar satu jam dia berdiri di podium dengan sikap percaya diri, berupaya membentangkan benang kusut—hubungan Amerika dan dunia Islam—yang kadang kala terperosok ke dalam lorong gelap. Dalam pidatonya yang mempesona dia mepertegas—Islam sejatinya bagian dari Amerika. Sayang, deretan panjang pertikaian telah meretakkan, bahkan tidak jarang harus memutuskan tali silaturahmi Amerika Serikat dengan para sohib di timur jauh. Satu per satu, pertikaian itu dipaparkannya; mulai tragedi 11 September yang membunuh 3000 orang lebih warga Amerika, perang Irak dan perang Afganistan, peristiwa berdarah Palestina Israel, penjara Guantanamo yang menyekap sebagian besar warga Muslim dan senjata nuklir Iran. Memang Obama sendiri tak menyangkal keakraban Israel-Amerika yang mustahil dipisahkan. Tapi dia mengingatkan Israel, hak hidup bangsa Palestina adalah kemustahilan. Ia pun memohon permukiman Yahudi di tanah Palestina harus diakhiri. Tepuk tangan pun bergemuruh, ada 25 kali aplaus memeriahkan pidato Obama dan ucapan I love you dialamatkan kepada sang kampiun asal Kenya, Afrika itu. “Saya datang mencari awal baru bagi Amerika Serikat dan umat muslimin di seluruh dunia. Maka segala permusuhan sebaiknya disudahi saja, ” ujar Obama yang pernah tinggal di Menteng, Jakarta. Tidak lupa ia mengusulkan kepentingan mitra setara yang saling menghormati agar menjadi landasan kokoh terhadap hubungan baru Amerika-Islam. Obama dalam pidatonya menyinggung tujuh pokok penting yang ditawarkan kepada dunia Islam untuk dihadapi bersama: terorisme, konflik Israel-Palestina, senjata nulkir, demokrasi, kebebesan beragama, hak-hak wania dan pembangunan ekonomi. Khusus sikap Amerika terhadap teroris, Obama menyerukan kepada dunia Islam dari Kairo, “Amerika tidak akan pernah memerangi Islam.” Kemudian dia mengutip Quran untuk melukiskan bahwa Islam sesungguhnya menolak kekerasan. Kembali tepuk tangan bergemuruh di dalam Auditorium Universitas Kairo yang dihadiri pejabat tinggi Mesir dan Amerika, petinggi militer, akademisi, wartawan dan tokoh oposisi utama dari Ikhwanul Muslim. Pidatonya di Kairo seolah-olah mengetuk pintu dunia Islam, lalu mencoba meruntuhkan hegemoni kaum Republikan (George W Bush) yang dianggap menelorkan banyak masalah di kawasan Timur Tengah. Sebutlah misalnya; invasi ke Irak pada 2003, skandal penyiksaan dan penghinaan para tahanan Muslim di penjara Abu Gharib di Irak, embargo ekonomi dan senjata hingga pendudukan tak berdasar terhadap negara lain. Begitu pula Iran, yang ikut babak-belur dilindas embargo ekonomi karena urusan senjata nuklir. Namun, pidato Obama di Kairo, ternyata tidak semua pihak menerimanya dengan senang hati. Buktinya, komentar mengalir dari sejumlah musuh lama Amerika. Salah satu Ayman Taha, juru bicara Hamas dalam wawancara dengan kantor berita Inggris BBC mengeritik Obama. “Pidato Obama yang memerangi ekstrimis dan melontarkan isu dua Negara Palestina-Israel tak ada bedanya dengan kebijakan Bush,” ujarnya. “Dunia Islam tak membutuhkan khotbah. Yang kami perlukan adalah perubahan fundamental sikap Amerika terhadap Israel yang mengagresi Libanon dan Palestina,” kata Hassan Fadlallah, tokoh penting Hizbullah Libanon. Selepas berpidato Obama menyampaikan pernyataan kepada wartawan. Obama mengakui, dia adalah penganut Nasrani—juga pendukung kuat demokrasi dan hak asasi manusia. Karena itu ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari segala upaya memperjuangkan masyarakat pluralistik dapat hidup bersama. Ia yakin bahwa apa yang diyakinya dapat hidup di dunia yang interdependen sekarang ini. Tempat berbagai keyakinan yang berbeda harus hidup bersama. “Kita membutuhkan keyakinan yang dewasa—saya sangat meyakini keyakinan saya, tapi saya menghormati kenyataan bahwa bahwa orang lain juga dapat meyakini keyakinannya yang berbeda.” Agar kerinduan hidup bersama itu dapat dirasakan, menurut Obama, harus ada kesepakatan mengenai satu sistem politik yang menghasilkan aturan tentang bagaimana hubungan bersama dilakukan. “Saya tidak bisa memaksakan ketentuan agama saya berlaku pada orang lain. Tidak boleh memobilisasi pihak mayoritas mendiskriminasi kalangan minoritas. Saya tidak bisa mengambil aturan dalam suatu agama dan menerapkannya kepada penganut agama lain,” ujar Obama. Tapi jangan silap, tambah Obama, bukan berarti saya tidak dapat melontarkan argumen berdasarkan keyakinan saya. Contoh, sebagai penganut Nasrani, saya percaya perintah Tuhan tentang larangan tidak boleh membunuh. Sebagai politikus saya mengupayakan undang-undang yang melarang orang membunuh. “Ini bukan berarti saya memaksakan keyakinan agama saya, melainkan memperjuangkan nilai moral yang mungkin diterima juga pihak lain karena bersifat universal,” jelasnya. Dalam wancara itu, Obama meminta umat Islam merenungkan soal keyakikan secara benar dan tepat. Misalnya, tentang syariah. Ia menyadari tidak semua agama punya pandangan sama tentang bagian mana dalam ajarannya yang layak diterapkan pada hukum sekuler. Tetapi, kalau ada yang memaksakan ajarannya harus dijalankan oleh penganut agama atau kelompok lain, ini jelas bertentangan dengan semangat demokrasi. Boleh jadi menyebabkan terjadinya instabilitas, bahkan perilaku destruktif di tengah masyarakat.”Ini adalah hal penting yang perlu diperdebatkan secara internal di kalangan penganut Islam,” ucapnya. Dari pernyataan Obama yang perlu dipahami dan direnungkan saat ini, apabila ada yang merasa dibenarkan oleh agamanya untuk membunuh orang lain, pasti ia telah keliru memahami ajaran agamanya. “Saya kira ini adalah persoalan yang perdebatannya sudah selesai bagi kebanyakan orang, tapi masih ada kelompok kecil yang berpotensi desrtruktif.” Memang sulit dimengerti, kenapa agama merestui pembunuhan terhadap orang lain, bahkan dipermaklumkan karena dianggap di jalan Tuhan. Beberapa buku yang ditulis pemikir Barat seperti Samuel P Huntington, “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Orde” dan Mark Juergensmeyer, “Terror in The Mind of God” membeberkan latar belakang pandangan yang keliru itu. (Kedua buku ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) Samuel P Huntington misalnya, mengurai hubungan Amerika-Islam yang hingga saat ini belum akur, ia melihat akar persoalan—Islam merasa khawatir dan takut akan kekuatan Barat serta ancaman yang ditujukan kepada masyarakat dan keyakinan (agama) mereka. Mereka menggangap, kebudayaan Barat bersifat materialistik, korup, dekaden dan immoral. Mereka juga melihat sebagai kebudayaan yang sangat memikat, sehingga mereka melakukan pelbagai upaya agar tidak berpengaruh terhadap way of life mereka. Serangan yang dilakukan oleh umat Islam terhadap Barat, menurut Samuel, bukan menyerang sesuatu yang tidak sempurna, agama sesat, yang dipandang bukan sebagai “agama kitab” tetapi menyerang seluruh agama. Karena, di mata umat Islam, sekularisme Barat, irreligiusitas dan immoralitas merupakan kejahatan-kejahatan” yang diajarkan Kristen Barat. Tidak jauh beda dengan pandangan Mark Juergensmeyer, malah lebih terbuka menilai “perang ilahi” yang melekat pada semua agama baik Islam, Kristen maupun Hindu, Budha dan Yahudi. Dari contoh-contoh kekerasan agama yang diangkat Mark, kecenderungan kekeliruan itu terletak pada penafsiran yang salah atas ayat-ayat kitab suci, baik oleh pemimpin agama maupun para pengikutnya. Bukan tidak mungkin pelaku teror merasa aman berlindung di balik otoritas kitab suci, seolah-olah kekerasan yang dilakukan adalah mandat dari Tuhan, sehingga mati pun rela demi membela agama Tuhan. “Dalam banyak kasus, gambaran-gambaran ini bukanlah hal baru, tapi merupakan bagian dari warisan tradisi keagamaan yang membentang ke masa lalu. Banyak contoh-contoh peperangan yang dapat ditemukan dalam teks-teks suci,” tulis Mark Juergensmeyer. Memang, menafsirkan ayat-ayat kitab suci dibutuhkan kejernihan berpikir di atas segala-galanya. Mahir melihatnya dari berbagai asfek kehidupan termasuk dimensi tempat, ruang dan waktu. Penulis pengajar di Fisipol UKI dan Fikom Universita Mercu Buana Jakarta

Tidak ada komentar: