Senin, 04 April 2011

SATU MENIT DI RANAH MINANG

Lindu berkekuatan 7,6 skala Richter menggoyang ranah Minang. Ribuan rumah dan gedung luluh-lantak, ratusan orang dilaporkan hilang serta ratusan korban terkubur ditindih puing-puing bangunan. Hanya dalam tempo satu menit bumi menggeliat, kota-kota di pinggir pantai selatan Sumatera Barat porak-poranda diterjang gempa tektonik. Tidak satu pun penduduk Padang yang mengetahui datangnya gempa dan memang sampai kapan pun tidak akan pernah orang tau kapan waktunya gempa datang. Hingga saat ini, alam masih merahasikan waktu dan kekuatan gempa. Para ahli pun hanya bisa membuat perkiraan ilmiah waktu gempa ulangan dengan periodisasi 100 tahun dengan plus-minus 20 tahun. Menurut teori benua terapung—bumi ini sebenarnya tidak diam, tapi bergerak dan kadang menggeliat. Ada kalanya gerakan itu tidak terasa karena skalanya kecil. Hanya pada alat pencatat gempa bumi (seismograph) gerakan-gerakan kecil seperti itu terekam. Bahkan gempa bisa melanda daerah mana saja di negeri ini. Contoh, gempa yang mengguncang Tasikmalaya belum sepenuhnya ditanggulangi, sudah datang lagi menerjang Padang dan Pariaman. Lalu di kawasan mana lagi gempa akan menggeliat? Tinggal menunggu waktu. Memang, secara geologis, Indonesia terletak di antara pertemuan tektonik lempeng Eurasia, lempeng Australia, lempeng Pasafik dan lempeng Oseanik Filipina. Karakter lempeng tersebut tidak pernah diam tapi bergerak terus bahkan bisa bertuburukan. Gempa Sumatera-Andaman, 2004, yang diikuti tsunami di Aceh serta pantai-pantai selatan Asia. Gempa Mentawi-Bengkulu 2007 adalah akibat pergerakan lempeng-lempeng itu. Secara teoritis hanya Kalimantan yang relatif aman dari serangan gempa. Sudah sejak lama diketahui bahwa kawasan Indonesia berpontensi gempa sebab diapit sabuk gempa yang membentang dari ujung Sumatera hingga berujung di lautan dekat Ujung Kulon—pertemuan dua lempeng besar Indo-Austalia dan Eurasia. Bahkan pada peta gempa yang dibikin lembaga asing, pemerintah dan peneliti gempa, sengaja dikasi tanda warna merah membara di wilayah barat Sumatera. Tanda ini sekaligus sebagai rambu-rambu rawan gempa yang harus tetap diwaspadai. Apakah kita hanya pasrah menerima takdir, bahwa negeri ini berada pada arus lalu-lintas gempa paling sibuk di belahan bumi ini? Tentulah tidak! Banyak hal yang dapat dilakukan. Seperti menjelaskan kepada masyarakat tentang jalur gempa yang tidak layak dijadikan tempat pemukiman. Harus dijelaskan dengan bijak, tempat itu sangat berbahaya karena dilalui sabuk gempa. Upaya lain, memindahkan penduduk yang terlanjur bermukim di wilayah rawan gempa ke daerah yang lebih aman. Kalaupun sulit memindahkan penduduk, langkah lain adalah memberi contoh bangunan tahan gempa. Seperti rumah tahan gempa yang dibangun Java Reconstruction Fund (JRF) di Bantul dan Klaten. Paling tidak bangunan yang memperkecil resiko. Misalnya bahannya dominan dari kayu. Beban berat sebaiknya dikurangi, apalagi kalau hanya hiasan interior atau eksterior. Bukan hanya itu, pendidikan mengenai gempa adalah sangat perlu di sekolah-sekolah. Selain biaya murah juga sangat efektif seluk-beluk gempa diajarkan di sekolah. Jangan hanya berlomba pintar matematika, tapi bencana gempa yang mengintai di sekitarnya tidak pernah digubris. Sekolah-sekolah yang berada pada lempeng-lempeng gempa, hendaknya pelajaran geologi (gempa) dimasukkan dalam kurikulum sekolah, seperti yang dilakukan Jepang. Pembelajaran seperti ini sangat penting dalam upaya mitigasi bencana di kemudian hari. Daripada membeli alat-alat mahal belum tentu efektif, lebih baik investasi pada pendidikan. Pengaruhnya sangat bermanfaat bagai masyarakat. Penting juga sosialisasi cara menyelamatkan diri dari berbagai jenis bencana: banjir, gunung meletus, gempa bumi dan tsunami. Pencegahan kerusakan dan jatuhnya korban yang lebih besar perlu dilakukan. Misalnya, izin mendirikan bangunan sudah harus memasukkan faktor keselamatan bangunan dari bencana gempa sebagai salah satu syarat. Gedung bertingkat serta fasilatas umum dan sosial perlu dikenai syarat ini. Kejadian dari Padang kita bisa belajar—banyak korban tewas di tempat umum seperti rumah sakit dan sekolah. Dibutuhkan juga cadangan alokasi dari anggaran negara untuk penanganan bencana. Termasuk sukarelawan yang terlatih dan terampil menangani bencana—menyelamatkan korban di bawah reruntuhan gedung. Semua itu perlu dan sangat dibutuhkan—mengingat negeri ini rentan terhadap bencana alam—sebab itu jauh-jauh hari harus betul-betul dipersiapkan dengan mengikuti prosedur yang benar, tenaga terlatih yang didukung peralatan penyelamatan modern. Kita bangga, setiap terjadi bencana melanda negeri ini, masyarakat saling bahu membahu dan berlomba memberikan sumbangan kepada korban. Semangat kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama masih kokoh berdiri menopang kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika tsunami melanda Aceh, gempa Yogyakarta, Tasikmalaya dan daerah lain yang terkena bencana alam, masyarakat saling bahu-membahu, ini adalah suatu bukti bahwa bangsa kita masih tinggi jiwa sosialnya. Peduli sesama perlu terus dipelihara bukan saja ketika terjadi bencana, tetapi dalam pergaulan sehari-hari hendaknya mewarnai kehidupan kita. bas

Tidak ada komentar: