Senin, 04 April 2011
PESAN BERHARGA DARI CIKETING
Hampir semua pihak menyalahkan pemerintah ketika rentetan peristiwa menimpa HKBP Pondok Timur Indah, Bekasi, Ciketing. Mulai dari lurah, camat, walikota, bupati dan kepolisian dituding tak memihak warga HKBP Pondok Timur Indah. Bahkan disebut-sebut ikut mempersulit mendirikan rumah ibadah HKBP di daerah itu. Puncaknya, St Asia Sihombing ditusuk dan Pdt Luspida Simanjuntak dipukul orang yang tak dikenal. Peristiwa ini pelajaran yang amat berharga bagi umat Kristen dan warga HKBP secara khusus. Ada pesan yang mahal dari balik kejadian itu. Setidaknya bahan intropeksi bagi warga gereja. Agar selain menuntut hak sebagai warga negara yang dijamin memeluk agamanya berdasarkan pasal 29, UUD 1945, perlu juga memperhatikan kewajiban—mematuhi peraturan yang berlaku yang disepakati bersama. Supaya jangan mengaggap diri paling benar. Ingat misalnya peristiwa penutupan sejumlah gereja di Tangerang, Bekasi dan Bandung. Kurang lebih 27 rumah ibadah ditutup akhir 2005. Memang rumah ibadah tersebut tak semuanya gedung yang permanen dan punya surat izin resmi. Terhadap gereja ini yang dipersengketakan adalah rumah tempat tinggal dijadikan rumah ibadah. Inilah yang diributkan kelompok Alinasi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) ketika itu. Harap diingat, bukan izin beribadah (ritual) yang dipersoalkan. Sebab, tidak ada kekuasaan di dunia ini yang melarang umat manusia beribadah atau memuja Tuhan yang dia percaya. Harap maklum juga, tidak ada “izin beribadah.” Karena itu tidak ada hak maupun alasan melarang orang lain beribadah kepada sesembahan yang diyakininya. Begitu juga melarang orang tidak beragama tak ada undang-undang yang memperbolehkannya. Orang berpindah agama pun dijamin haknya. Ateis pun tidak ada yang boleh melarang. Parmalim pun tidak ada yang berhak melarangnya. Semua ini adalah hak individu dan hak asasi (human right) yang sangat dihormati dan dilindungi oleh undang-undang di setiap negara. Termasuk mengekpresikan kebebasan adalah anugerah yang dibawa manusia sejak ia dilahirkan. Kebebasan adalah salah satu nilai yang dijamin dalam agama. Lebih jauh, bagaimana hak individu dan hak asasi manusia dilindungi dan dijamin dapat dilihat dalam “The Universal Declaration of Human Rights” yang dideklarasikan oleh PBB, 10 Desember 1948 melalui Majelis Umum. Anggota PBB terwakili dalam Majelis Umum. Secara geografi wakil dari semua benua yang ada di Asia, Amerika, Afrika dan Eropa. Dari sudut ideologi, wakil dari blok timur (Komunis) dan blok barat (non-Komunis) juga terwakili. Ketika deklarasi itu diputuskan tidak ada satu negara pun yang menolak, kecuali dua negara dari blok timur itu pun karena abstain. Karena itu, apabila ada kelompok atau organisasi tertentu yang melarang umat beribadah dengan dalih izin beribadah, pemerintah atau negaralah yang menghadapinya, bukan individu atau pribadi. Soalnya, sejak awal, negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk memeluk agamnya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya. (UUD 1945, Pasal 29 b) Persoalan, apakah pemerintah cukup responsitif terhadap kasus yang berkaitan dengan pelarangan beribadah? Antara “beribadah” dengan “rumah ibadah” (gereja) dua fakta yang sangat berbeda substansinya. Keduanya adalah fakta yang benar-benar ada—bukan fiksi yang dikarang-karang. Beribadah—religious worship—Yunani: threskeia. Kegiatan yang berkaitan dengan penyembahan kepada Tuhan (of wich godliness, or the love of God, is the informing soul) Kedua fakta inilah yang acap dicampurbaur ketika terjadi masalah terhadap rumah ibadah yang ditutup dan disegel. Fakta ini sering dipahami keliru—jika rumah ibadah disegel/ditutup, maka umat tidak boleh melakukan ibadah. Jika semua gereja ditutup/disegel, apakah umat Kristen tidak boleh melakukan kebaktian? Landasan opini yang terbangun selama ini memang sudah salah, hal itu akibat logika penyimpulan yang keliru. Premisnya sudah benar (mendirikan rumah ibadah harus ada izin) tapi kesimpulan salah (menjalankan ibadah dilarang) maka kesimpulan akhirnya juga ngaco. Jika rumah ibadah (gereja) belum ada izin bukan otomatis umat Kristen juga tidak boleh beribadah? Jika gereja (HKBP) PTI Bekasi, Ciketing, belum ada izin, bukan berarti warga HKBP PTI tak boleh beribadah? Sebenarnya, fakta dari balik peristiwa yang kerap terjadi—rumah ibadah (gereja) yang dipergunakan tempat beribadah belum ada izin resmi. Karena itu, harus dibedakan antara “rumah ibadah” dan “beribadah.” Rumah ibadah adalah berkaitan dengan tempat—sarana—gedung—fisik. Karena menyangkut bangunan perlu ada izin mendirikannya. Sedangkan beribadah adalah kegiatan—ibadah—pemujaan terhadap Tuhan. Apakah menyembah Allah harus ada izin? Izin dari siapa? Apakah beribadah harus ada peraturan bersama menteri? Kalau ada izin beribadah, maka izin berdoa pun harus ada? Tapi ketika mendirikan rumah ibadah (gereja) wajib ada izin, karena sudah menyangkut bangunan, lingkungan dan tata ruang/kota yang diatur berdasarkan peraturan yang berlaku (Peraturan Bersama Dua Menteri) Dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006, yaitu pemohon (yang beragama Krsiten) 90 jiwa dan di luar pemohon (beragama Islam, Hindu dan Budha) 60 jiwa. Ini adalah syarat mendirikan rumah ibadah. Bukan soal izin beribadah. Kalau diperhatikan dengan seksama peraturan bersama menteri ini tidak ada pasal maupun ayat yang melarang warga negara menjalankan ibadahnya di muka bumi Indonesia. Tapi kalau mendirikan rumah ibadah, memang harus ada izin. Itulah yang diatur dalam Perber—peraturan yang diputuskan bersama. Kalau soal dipersulit izin mendirikan gereja inilah yang diungkap. Benar tidak dipersulit? Soal tidak diperbolehkan mendirikan gereja oleh warga setempat, adalah soal lain? Tentu ada alasan penduduk setempat melarang mendirikan gereja di wilayah mereka. Apakah harus kita paksa warga setempat mengizinkan mendirikan gereja di daerah itu? Karena itu, umat Kristen hendaknya lebih arif dan bijak, menghadapi masalah yang berkaitan dengan mendirikan rumah ibadah. Kita sering ribut ketika akses kepada umat Kristen/gereja terganggu, tapi ketika semua berjalan aman-aman atau saat persoalan menimpa umat lain, kita diam, bahkan tak peduli sama sekali! Perlu intropeksi. Jangan-jangan persoalan justru datang dari umat Kristen sendiri? Ini sekedar contoh, di salah satu Perumnas, sejumlah gereja berdiri dari berbagai denominasi dengan bentuk bangunan bervariasi, yang sederhana sampai mewah. Mulai dari ruko, tempat tinggal hingga gedung gereja yang anggota jemaat 10 kepala keluarga hingga ribuan kepala keluarga. Jumlah yang cukup banyak itu bisa mengundang pertanyaan? Sangat wajar bila “kecurigaan” muncul dari penduduk sekitar. Jumlah gereja lebih banyak dari masjid. Apalagi mereka tidak tau membedakan, yang mana GKI, GPIB, GBI, GPDI, Katolik, POUK, GMI, GKPS, GKP, GKJ dan HKBP.Yang mereka tau gereja, tempat umat Krsiten beribadah. Belum lagi jarak antara satu dengan gereja lain hanya satu gang. HKBP dan Batak Gaul Data dari Almanak HKBP 2010, jumlah gereja (HKBP) di Jabodetabek, meliputi tiga distrik sekitar 179, resort dan pagaran. Ada tiga di antaranya dalam proses izin yakni: HKBP Bekasi Pondok Timur Indah, Resort HKBP Taman Mini dan HKBP Filadelpia, Resort HKBP Duren Jaya, Bekasi Timur dan HKBP Pangkalan Jati, Resort HKBP Kebayoran Selatan. Jika dibandingkan dengan jumlah 179 ada tiga (diketahui) dililit masalah berkepanjangan, yaitu soal izin yang belum diperoleh. Ini berarti secara keseluruhan keberadaan gereja (HKBP) boleh dikatakan diterima oleh masyarakat sekitar. Namun, kasus ketiga gereja ini benar-benar menyita perhatian pihak HKBP dan pemerintah setempat hingga Presiden RI. Apalagi setelah peristiwa penusukan dan pemukulan yang menimpa Asia Sihombing dan Luspida Simanjuntak. Tentulah kegigihan dan keberanian Pdt Luspida Simanjuntak serta Pdt Pieterson Purba, Pendeta Resort HKBP Taman Mini, bersama warga HKBP Bekasi PTI memperjuangkan keadilan dan kebenaran selama ini patut dihargai. Namun, pada satu sisi jumlah gereja yang banyak itu adalah berkat, tapi pada sisi lain bisa menjadi petaka. Sebab itu, warga HKBP sebaiknya harus mampu menempatkan diri secara terhormat, berkualitas dan teladan di tengah masyarakat yang majemuk. Pola hidup bersama orang lain yang berbeda agama, suku, adat, budaya, status sosial dan ideologi harus terus dipelihara. Apalagi jumlah warga HKBP termasuk terbesar ketiga setelah NU dan Muhammadiyah. Jumlah itu adalah karunia tapi sekaligus “tantangan” bagi HKBP. Belum lagi krakter orang Batak yang “spontan,” terbuka dan terus terang ternyata belum semua pihak dapat menerimanya. Sebutan Batak bagi kalangan tertentu masih sesuatu yang “aneh,” walaupun bagi masyarakat lain orang Batak perlu diperhitungkan dan sahabat yang baik. Sifat spontan adalah ciri yang melekat bagi orang Batak, baik ketika mendirikan gereja, maupun ketika upacara adat, sifat itu selalu mewarnai kehidupannya. Inilah membuatnya sering menonjol (tandi) dan menjadi pusat perhatian di mana dia berada. Batak di Jakarta dan warga HKBP yang sudah lama di Jakarta seperti warga HKBP Kernolong, Menteng Lama, Menteng, Jalan Jambu, Sudirman, Kebayoran Baru, Tebet, Rawamangun, Petojo dan keturunannya boleh dikatakan sudah lebih “cantik” pola pergaulannya—sudah termasuk kategori “Batak gaul.” Agak berbeda dengan warga HKBP yang baru dan pada umumnya mereka bermukim di daerah pinggiran Jabodetabek. Di antara mereka ada yang belum lama datang dari bonapasogit. Malah jumlah orang Batak warga HKBP cukup banyak di daerah pinggiran dibanding yang di Jakarta. Namun, di daerah inilah sering muncul masalah termasuk ketika mendirikan rumah ibadah. Perlu direnungkan, kenapa ketika umat Islam mendirikan masjid di kampung orang Batak di Tapanuli Utara, tidak pernah ada masalah dan warga pun tidak ada yang keberatan. Tapi ketika orang Batak mendirikan gereja di luar Tapanuli Utara sering ada masalah. Ini menarik dikaji secara mendalam. Apakah ini dapat disebutkan sebagai bukti bahwa peradaban orang Batak itu lebih toleran, terbuka, santun dan tak gampang curiga terhadap perbedaan? Kendati demikian, para pendeta sebaiknya memberikan pencerahan terhadap warga gereja, entah melalui kotbah maupun melalui pendekatan komunikasi personal. Membina pola hidup di tengah masyarakat pluralistik dengan perbedaan yang realistik. Mereka bukan lagi berada di satu komunitas Batak, seperti di Tarutung, Siborongborong, Balige, Porsea, Samosir, tapi sudah hidup di antara berbagai suku, adat, budaya, ideologi, status sosial dan agama yang berbeda. Selain itu, konsep bangunan gereja yang ramah terhadap lingkungan sekitar haruslah menjadi perhatian yang serius bagi HKBP di saat usianya 150 tahun pada 2011. Sebab, gedung gereja yang mewah dengan puluhan miliaran rupiah suatu saat bisa mengundang kecemburuan sosial terhadap warga yang tinggal di sekitarnya. Meskipun mampu membangun gedung gereja yang mewah, tapi adalah lebih baik gereja yang menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Tak terkecuali celah yang bisa memicu gesekan sosial sedapat mungking diperkecil. Sangatlah terpuji, apabila warga gereja yang menjadi contoh menerapkan hidup sederhana, ramah dan penuh kasih serta disenangi orang lain. Pola kehidupan warga gereja mula-mula di Roma menarik diteladani umat Kristen masa kini. “Mereka disukai semua orang.” (Kisah 2:46-47) Penulis baharuddin silaen pengajar di Fisipol UKI dan Fikom Universitas Mercu Buana Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar