Senin, 04 April 2011
Ngolu ni Huria na Mangolu
Pdt Dr Darwin Lumbantobing kembali menyumbangkan karya melalui buku “Noglu ni Huria na Magolu.” Buku ini memuat dokumen tua yang mengisahkan derap langkah kehidupan gereja yang diangkat dari “bericht” (Barita Jujur Taon) periode 1881-1918. Terus terang dokumen ini benar-benar nyaris tak dimiliki perpustakaan di Indonesia maupun perpustakaan STT HKBP Pematangsiantar. Beruntung dokumen berharga ini dapat “diselamatakan” oleh Darwin Lumbantobing setelah melalui perjuangan dan perjalanan panjang ke Jerman. Yang waktu itu dia diundang UEM, menghadiri peringatan 175 tahun Dr Ingwer Ludwig Nommensen, yang diselenggarakan 6 Februari 2009 di kantor UEM, Wuppertal, Barmen, Jerman. Darwin tak menyia-nyiakan kesempatan itu hingga bisa menemukan tumpukan bericht yang disimpan rapi di perpustakaan VEM (Archive-und Museumsstiftung) Yayasan Arsip dan Museum, Wuppertal. Ini pun tak lepas dari kebaikan Wolfgang Apelt, Kepala Bagian Arsip/Perpustakaan VEM membantu Darwin mengumpulkan bericht tersebut. Ada 72 bericht Huria Batak yang disajikan dalam buku ini. Bericht ini berisi kehidupan gereja antara 1902 hingga 1910. Dimulai dari bericht yang dikirim Pdt Daniel Matondang, Januari 1902 dari Huria Simanosor. Di bagian terakhir bericht edisi 25 Juni 1910, dikirim Pdt Markus Siregar dari Huria Lobu Matongga. Bericht ini sekaligus gambaran dari para pendeta yang tekun dan rajin menuliskan kejadian yang terjadi di lingkungan gereja dan juga peristiwa yang terjadi pada masyarakat setempat. Selain “Barita Jujur Taon” dalam buku ini juga diuraikan pengertian teologis; tohonan, rapot pandita, parminnguon, parsorion ni pandita, ngolu partondion ni ruas, pandita maradophon Raja Ihutan. Banyak hal baru ditemukan setelah membaca buku yang diterbitkan L-SAPA Pematangsiantar ini. “Sopot di bona ni parjongjong ni huria Batak, manigor pandohan pandita do dipangke tu partohonan, na mangula manang marhobas di huria. Asa molo tajaha bricht huria sian taon 1862 tu taon 1930, nunga dapot hita di si pandohan pandita manang tuan pandita, jala ndang adong di si pandohan domine. Dung pe hira taon 1940, lumobi dung adong marsiajar sikola pandita anak ni huria Batak tu Batavia adong ma pandohan domine.” (hal.1) Begitu juga berbagai peristiwa, kesaksian warga, pergumalan gereja serta liku-liku kehidupan pendeta—semua ditulis berdasarkan fakta autentik. Kemudian dituangkan ke dalam bericht dengan gaya pelaporan yang jujur. Meskipun sederhana namun mengandung unsur-unsur: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (5W+1H) Inilah membuat bericht yang ditulis para misionaris dan pendeta ini mempunyai nilai plus—karena didukung data yang akurat sehingga menarik dibaca. Begitu juga alur cerita, disajikan seperti gaya penulisan novel yang dibingkai sastra Batak. Pola penulisannya pun seragam. Bahkan warna bahasa Bibel sangat terasa dalam setiap bericht. Jumlah halaman tidak sama. Ada hanya tiga halaman dan ada 10 halaman. Pokoknya, membaca bericht ini tidak bosan—mengalir lancar. Contoh bericht “Parlagutan Sigolang” (Sidjorang, 20 Januari 1902) “Di huta on do inganan ni guru na ruar sian Sikola Tinggi Depok na margoar Jason. Ai anggo guru Willem nunga lao tu Matongga rap dohot tuan Irle. Ianggo haroroan ni raja na di huta on, humombar saotik tu guru i, jadi ndang pola be sadia parkaro binege sian nasida, na marbalik pe ndang adong. Angka dakdanak na metmet pe ringgas do nasida marsurusa tu sikola, asa adong ajaran ni guru i. Sian Sipange pe adong do anak sikola, alai anggo parguru ndang adong.” (hal. 64) Penulis buku ini mengakui, tetap mempertahankan teks aslinya dan tidak merobahnya sama sekali—termasuk ejaan. Boleh saja dipertahakan teks aslinya, tapi hal yang bisa mengganggu bagi pembaca perlu juga dipertimbangkan. Misalnya, merpebaiki (mengedit) ejaan, penulisan kata, boleh-boleh saja, asalkan tidak merubah makna isi tulisan. Apalagi pembaca masa kini sudah asing terhadap ejaan lama. Seperti: radja, djadi, djamita, burdju, djumolo, pardjamita, gindjang dan gandjang. Kemudian; hoeta, goeroe, hoehoet, sintoea, Toehan, maroedjoeng, lamboeng, atoran, minggoe dan hoehoet. Kalaupun kata-kata ini disesuaikan dengan ejaan baru, tidak akan menghilangkan makna dari kata maupun arti dari kalimat. Namun yang pasti, buku yang disusun (dipatomutomu) Pdt Darwin Lumbantobing ini perlu dibaca; pendeta, sintua, mahasiswa teologi, warga gereja untuk menambah wawasan mengenai kehidupan Huria Batak zaman Ephorus Dr IL Nommensen. Buku ini bukan hanya menajikan bericht, tapi juga menguraikan makna kehidupan gereja dan “ngolu ni huria na mangolu” dari sudut pandang teologis. bas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar